That Song [Akashi!side]

Langkah kakiku yang selalu terlihat tegas dan berwibawa rasanya entah kenapa menghilang. Merasakan setiap langkah kakiku teringat pula akan bayangan tentangmu dan penyesalanku.

Kupikir aku sudah melangkah maju. Namun nyatanya aku masih terdiam di belakang garis start, mataku meneduh menatap cakrawala kelabu diatas kepala. Sama seperti hari itu.

"Ah! Akashi kah, kau mau pergi kemana?" Disaat seperti ini aku bertemu dengan orang yang tidak tepat, mantan anggota klub basketku saat SMP. Ya Aomine.

"Ketempat biasa aku menghabiskan waktu," jawabku.

Wajah yang tadi menampakkan senyum ceria kini tergantikan dengan tatapan iba.

"Kau masih belum bisa melupakannya ya?" Lihatlah tatapan mengibanya yang membuatku muak.

"Mungkin ya, mungkin tidak aku sendiri pun tak yakin akan hal itu," jawabku seadanya.

Tanpa mendengar pertanyaan lanjut dari pemuda mesum itu aku meninggalkannya dan kembali menapakki jalan setapak di hadapanku.

Kilas balik ingatan yang pernah ada muncul kembali, namun kakiku seolah tak memperdulikannya, masih setia menapakki jalan tersebut.

"Sei-kun, aku ingin bisa sepertimu, yang mampu mengatakan semua hal dengan jujur dan tanpa beban."

Bodoh.

Aku tidak setegar itu dalam mengatakannya.

"Apa kau pikir aku sudah memasukki hati seseorang?"

Mungkin, siapapun orang itu pastilah dia termasuk pria yang beruntung.

"Langitnya cerah ya, Sei-kun. Pasti hari ini akan menjadi hari yang membahagiakan bagi semua orang!"

"Ah itu benar, [name:]."

**
.
.
AoiKitahara present

I Hope This Reaches You

The Basketball Which Kuroko Plays has belongs Fujimaki Tadatoshi

Akashi SeijuurouxReaders!

Drama | Romance

Warn: Typo(s), OOC, AU!AfterSchool, absurd, mainstream, etc.

Saya tidak mengambil keuntungan materiil dalam pembuatan fanfict ini, semua murni untuk kesenangan dan menghibur pembaca sekalian.

Recommended song: Monkey Majik - Aishiteru

If you don't like this story please to leave this story okay!

Happy reading!
.
.
**

"Nee Sei-kun, bisa ajari aku soal yang ini? Aku benar-benar bodoh dalam memahami pelajaran matematika seperti ini!" Kau mengacak rambutmu frustasi, ingin rasanya aku tertawa saat melihatnya namun sebisa mungkin kusembunyikan dibalik topeng dingin ini.

"Kau ini sudah kelas berapa [name]? Pelajaran SMP seperti ini kau tidak mengerti?" Tanyaku atau lebih tepatnya menggodamu.

Terlihat kau masuk dalam perangkapku, lihat pipi tirus yang sengaja digembungkan tersebut. Hampir saja aku akan mencubit pipimu itu.

"Sudahlah ajari saja aku!" Kau mengatakannya dengan nada ketus, hei tidak sadarkah kau bahwa saat ini dirimu begitu manis?

"Apa yang kudapatkan setelah mengajarimu?" Ah benar-benar, rasanya menggodamu sepetti ini adalah saat-saat menyenangkan.

"Sup tofu! Aku akan memasakannya untukmu!" Kau mengucapkannya tanpa ragu, ah masakan buatanmu itu selalu kurindukan.

Tatapanku bertemu sebentar dengan manik matamu yang penuh keyakinan itu, dan menghela napas pelan sambil membuka buku catatan matematika milikku yang dengan sigap kau memperhatikan setiap instruksiku dengan serius.

Kutatap rambut panjangmu, helaian yang lainnya nampak jatuh tepat di depan matamu, terlihat mengganggu namun tak kau indahkan sama sekali. Tanganku tergerak untuk menyelipkannya di balik telingamu namun tanganku terhenti saat tersisa jarak 5 cm lagi dari kepalamu.

"Naa Sei-kun, setelah lulus nanti apa yang akan kau lakukan?" Suaramu seolah menyadarkan diriku dari lamunan sedari tadi.

"Melanjutkan kuliah di Universitas Tokyo," jawabku.

"Jurusan?"

"Ekonomi."

"Begitu..."

Alis mataku bergerak keatas sebelah penasaran dengan tujuan hidupmu selanjutnya, "Kalau kau?"

Tangan yang sedari tadi tergerak memberikan garis demi garis bertinta pada lembaran kertas putih berjilid tersebut pun terhenti, kepalamu mendongak menatap wajahku-lebih tepatnya menatap mataku secara instens-.

"Sama sepertimu, hanya saja aku akan masuk jurusan seni."

Entah mengapa, dibalik ucapanmu terasa ada sesuatu hal yang nampak gajil di benakku. Rasanya seperti, sesuatu sedang kau sembunyikan dibalik ucapanmu. Hei seharusnya kau bercerita padaku, kau tak harus memasang wajah menyedihkan seperti itu terus sekalipun kau berusaha menutupinya dengan senyuman ceria yang terkesan dibuat-buat seperti itu.

"Sei-kun. Sudah berapa lama kita berteman?" Entah apa yang kau pikirkan hingga tiba-tiba bertanya seperti itu.

"10 tahun."

"Begitu... nee Sei-kun, bagaimana jika aku mengatakan, bahwa aku sedang jatuh cinta?" Pertanyaanmu itu seolah menyayat dadaku, menggores perasaanku dengan sebuah ujung lancip kaca.

Aku sadar akan tiba saatnya kau menyukai seseorang karna hal itu normal. Namun aku bahkan tak menyadari tentang perasaanku sendiri. Apa yang kupikirkan tentangmu, apa yang kurasakan tentangmu, dan apa yang menjadi dasar atas perasaan aneh memuakkan ini.

"Bukankah itu hal yang bagus? Dan lagi siapa pria yang beruntung itu?" Terkutuklah mulut ini! Aku tak ingin mendengarnya! Tolong [name:] jangan katakan siapa pria itu!

"Aku tau namanya, namun aku tidak mengerti tentang dirinya. Kami berbicara seperlunya saja dan rasanya menyakitkan." Kau menatap ujung kakimu seolah hal tersebutlah yang sangat menarik perhatianmu.

"Begitu..."

Aku tau bahwa aku memang tak pernah bisa benar-benar menahan perasaanku...

"Akashi-san jadilah pacarku!" Kutatap datar gadis yang tengah menembakku itu. Menatap wajahmu bagiku lebih menarik dari pada gadis di hadapanku.

Aku akui ia cantik dan terlihat mempesona namun tetap saja bagiku kau yang seolah layaknya seorang Cleopatra tak dapat disandingkan dengan gadis sepertinya.

"Maaf tapi aku tidak bisa," tolakku halus dan secepat mungkin berbalik pergi meninggalkan gadis itu sendirian.

"Kau menolaknya lagi? Sudah yang keberapa kali gadis-gadis di sekolah kita menembakmu?" Terlihat dirimu yang tengah duduk santai di bangku samping gedung klub voli.

"Ini yang ke-208 kalinya selama setengah tahun."

"Dalam waktu setengah tahun saja sudah banyak yang menembakmu."

"Salahkan wajah yang tampan dan kepalaku yang terlewat jenius ini," candaku sambil menepuk kepalaku sendiri.

"Tch... dia menyombongkan diri," gumammu pelan, mendengarnya aku hanya bisa tersenyum kecil meskipun ingin tertawa lepas dihadapanmu dan hanya untukmu.

Bagiku waktu yang menyenangkan seperti itu apakah mungkin untuk kembali? Kenapa kau seolah tak tergapai [name]? Setiap kali aku berlari, kupikir aku sudah hampir dekat untuk menggapaimu, namun kenyataannya bahkan aku tidak cukup dekat untuk menepuk pundakmu.

"Sei-kun! Apa kau benar-benar Sei-kun yang kukenal?" Kutatap matamu yang terlihat menyakitkan dengan tatapan dingin, kedua lenganmu mengguncang pundakku meskipun tinggi badan kita berbeda.

Aku tidak sanggup menatap mata yang mulai menitikkan setitik dua titik dan semakin deras air mata itu. Tatapan mataku tak berubah seolah tanpa hati melihatmu seperti itu, namun nyatanya aku menahan diriku untuk tidak mendekapmu. Perlahan aku melepaskan kedua lenganmu dari bahuku terlihat air muka penuh kekecewaan disana dan aku mengerti hal itu.

"Maafkan aku... maafkan aku... maafkan aku..."

Kenapa kau yang meminta maaf? Semua yang berawal dariku kenapa kau yang malah meminta maaf? Aku tidak mengerti [name], apakah kau mencoba untuk menghukumku dengan cara ini? Kata-kata itu bukan sesuatu yang harus keluar dari bibirmu. Akhirnya tanpa sepatah kata karna tak sanggup memandangmu lebih lama dengan wajah kusut seperti itu pun aku berbalik pergi.

Kau masih mematung disana, air mata yang menggambarkan kesedihanmu tak berhenti mengalir, aku mulai menjauh dan menghilang di telan eksistensi sekitar, meskipun aku tau bahwa aku bukan Kuroko yang punya hawa keberadaan yang tipis. Tak menyerah kau berlari mengejarku yang sudah berada di sisi lain tanpa memperhatikan sekitar.

"Sei-kun! Kumohon berbaliklah!" Kau berteriak sambil terus berlari.

Kuhentikan langkah kakiku, berbalik menatapmu yang kini semakin dekat. Kini aku dan kau hanya berjarak 1,5 meter. Lihatlah bibir yang sedari tadi melengkung ke bawah mulai membentuk kurva ke atas dan merekah dengan indahnya. Melihatnya membuatku ingin ikut tersenyum.

Kupikir begitu...

Namun kau yang tidak memperhatikan lampu lalu lintas dan dengan nekat menerobos zebra cross membuat sebuah van hitam yang melaju dari sisi kananmu tak sempat menginjak pedal rem. Manik mataku melebar, tangan terentang hendak menarikmu ke dalam dekapanku.

Dan nyatanya aku terlambat...

Gelap, entah apa yang terjadi sehingga aku tidak pernah bisa mengingat kejadian setelah itu. Yang ku ingat, aku sudah berada di ruang tunggu tempatmu bertaruh nyawa, kau langsung dilarikan ke UGD, namun karna keadaanmu yang memprihatinkan tim medis memutuskan untuk mengoperasimu saat itu juga.

Aku berada disana...

Namun sama sekali tak berkutik untuk menyelamatkanmu, dan yang kulakukan hanyalah duduk dibangku ruang tunggu sambil menundukkan kepala, meruntukki kebodohan yang kulakukan sambil terus berdoa untuk keselamatanmu. Dan pikiran aneh pun muncul, jika saja aku tidak meninggalkanmu dalam keadaan seperti itu, jika saja aku memeluk dan menenangkanmu, jika saja aku mendorongmu sesaat sebelum mobil van tersebut menghantam tubuhmu, dan jika saja aku tidak bertindak egois seperti ini hanya karna melihatmu berbicara akrab dengan anggota Shutoku partner dari Midorima, Takao Kazunari mungkin semua ini tak akan terjadi.

Secara tidak langsung akulah yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpamu...

Sebuah ketok palu pun dilayangkan, tanda bahwa hukuman untuk pengemudi van telah ditetapkan. Kutatap pengemudi van tersebut yang tengah memeluk keluarga kecilnya, tak ada kesedihan diwajahnya seolah ia menerima semua hal tanpa mengeluh karna merasa semua adalah murni kesalahannya. Orang tuamu, terlebih ibumu menangis tanpa henti dan disana hanya ada ayahmu yang menenangkannya.

Aku membenci diriku...

Aku benci dengan diriku yang bahkan tak dijadikan tersangka, ini bukan berarti aku seorang masochist. Hanya saja semua memang berawal dariku, dan lagi melihat pengemudi van itu yang hendak di giring memasuki jeruji besi dengan senyum tipis di wajahnya yang nampak dipaksakan membuat diriku semakin tambah merasa bersalah. Aku jadi ingin memukul diriku sendiri.

Setelah operasi itu, kau tertidur pulas. Ada beberapa kerusakan dalam tubuh mungilmu yang mengakibatkan dirimu seperti sekarang ini... koma. Pintu ruanganmu berdecit pelan dan mulai bergeser. Dari dulu aku membenci rumah sakit. Entah itu suasananya, aroma antiseptik yang menyengat hidung, ruangan bahkan seluruh tempat yang didasari warna putih ini membawaku pada kenangan saat melihat mendiang ibuku yang menghembuskan napas terakhirnya disini... dirumah sakit.

Kusingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahmu. Selang oxygen, infus, dan beberapa alat penunjang kehidupan yang tak kumengerti terpasang ditubuh mungilmu, menutupi segala pesona dan kecantikan yang selalu terpancar dari dirimu. Meskipun begitu, bagiku kau tetaplah gadis yang paling cantik. Cepatlah buka matamu dan aku akan menjelaskan semua hal, dan aku akan mengatakan perasaanku yang sebenarnya padamu. Maka dari itu...

Kumohon cepatlah bangun...

Hari yang kulalui seolah melambat, seperti sebuah film yang diputar berkali-kali tanpa perubahan sedikitpun. Saking lambatnya waktu yang sudah terlewati selama 3 bulan ini terasa seperti 13 tahun dengan seluruh kebiasaan yang tak ada gunanya. Aku ingin menangis kencang namun aku tak mengerti caranya. Ah benar aku hanyalah pria menyedihkan jika seperti ini. Saat aku tengah mengganti bunga pada sebuah vas di bufet kecil disamping ranjangmu, terlihat sebuah pergerakan kecil namun pasti menyita pandanganku.

Manik mata yang kupikir tak akan pernah terbuka untukku pun bergerak tak nyaman dibalik kelopak mata yang biasa terdiam tersebut. Aku pun dengan sigap menekan bel pemanggil perawat, dan tak butuh beberapa lama. 3-4 perawat pun tiba dengan di dampingi seorang dokter, masuk dengan tergesa-gesa. Katakan bahwa ini akan menjadi kabar gembira.

Setelah memeriksamu, dengan senyum yang merekah ia mengatakan bahwa beberapa saat lagi kau akan segera sadar. Aku tak bisa menahan senyumanku dan perasaan yang bahagia terus menerus. Kau membuka matamu, rasanya seperti melihat sebuah keajaiban. Namun keadaan tubuhmu tidak membaik, akibat dari kecelakaan itu membuat ginjal serta beberapa organ dalammu rusak parah.

Jika bisa... jika bisa aku rela memberikan ginjal dan seluruh organ dalam yang kau butuhkan, namun aku sadar kau pasti tak akan sudi menerima milikku. Kupikir kau akan membenciku tapi kenyataan berbanding terbalik dengan ekspetasiku, saat melihat wajahku kau tersenyum cerah meskipun sebatas menarik ujung bibir sedikit, itu saja sudah lebih dari cukup membahagiakanku.

.
.

Aku berdiri beberapa meter dari sebuah pohon sakura yang tengah mekar, angin musim semi berhembus seakan menerbangkan seluruh ingatanku akan semua hal tentangmu. Hanya sebatas senyuman tipis yang dapat kuperlihatkan.

.
.

Saat itu kulihat bukannya semua peralatan yang tak kumengerti itu berkurang malah sebaliknya, ingin rasanya mencabut paksa semua alat itu dari tubuhmu, namun kuurungkan niatku karna aku tau bahwa peralatan yang kau benci itulah yang tetap membuatmu hidup selama ini. Kau memandangku dengan wajah polosmu.

Kulit yang biasanya putih cerah merona kini menjadi pucat, wajah itu terlihat kusam sekarang, lengan yang berisi kini mulai mengecil. Mengingat setiap detail dirimu membuat dadaku sesak bukan main. Tanganmu menggapai beberapa helaian rambut poniku yang mulai panjang saat aku sedang sibuk mengupas apel untukmu. Kudongkakkan kepalaku menatapmu, menyentuh tanganmu.

"Ada apa?" Tanyaku, tangan yang sedari tadi mengupas apel pun terhenti.

"Ponimu mulai panjang, kupikir kau harus memotongnya," jawabmu pelan.

"Ah benar, aku terlalu sibuk jadi jarang memperhatikan penampilanku."

Kau tertawa kecil, "Sei-kun, sebentar lagi natal."

Aku menatap keluar jendela mengikuti pandanganmu pada sebuah kristal putih dan dingin yang mulai berjatuhan diluar ruangan.

"Benar. Mau pergi bersamaku?" Kugenggam tanganmu sambil tersenyum kecil.

"Memangnya boleh?" Terlihat raut wajahmu yang ragu.

"Tenang saja, aku akan membawamu diam-diam." Setelah kuucapkan hal itu wajahmu tersenyum penuh kebahagiaan.

"Hontou? Arigatou Sei-kun." [1]

Dan sejauh ini. Inilah ucapan terima kasih terindah dan menenangkan, bukan saat kau berterima kasih karna meminjam pekerjaan rumahku, bukan juga saat aku membantumu belajar. Dan setelah ini aku punya tujuan yang pasti yaitu, mengungkapkan perasaanku.

"Furitsumoru konayuki ga mau

Akiramekaketa yume ga mata namiutsu ano hi no mama de

Kawaranai egao mitsumeta

Somaru hoho ni fureta kaze ga soratakaku
nuketa

-itsumo mite ita. chikai you de tooku te.
itsudatte, todokanai-

Doushite? to toikaketa koe mo yureru

Yurayura minamo ni ukanda tsuki wa nanimo

Kataranai tada no boukansha
「onaji ne」 nigiru te ga itai" [2]

Senandung lembut yang membuatku terpaku didepan pintu ruang rawatmu. Suaramu begitu lembut dan menenangkan, ah lagu yang indah. Kubuka ruang rawatmu dan menemukan dirimu yang sedang menatap keluar jendela. Entah sedang menatap refleksimu ataukah pemandangan diluar ruangan aku tak tau.

.
.

Angin berhembus menerpa helaian rambut dan membelai wajahku ketika mengingatmu yang bernyanyi dengan merdu tersebut. Kupejamkan mata saat membayangkan tentangmu dengan rinci. Waktu berlalu begitu lambat bagiku, rasanya baru kemarin aku mendengarmu bernyanyi dan menggeggam erat tanganmu.

.
.

2 hari sebelum natal keadaanmu semakin memburuk, tentu saja aku tidak di izinkan untuk membawamu pergi dan memenuhi janjiku.

Namun aku tetap membawamu...

Aku datang kerumah sakit saat jam besuk sudah berakhir, melepaskan segala peralatan aneh itu dari tubuhmu, beruntung kau sedang tidak di infus sehingga lebih memudahkanku melepaskan peralatan itu. Kupakaikan mantel kesayanganmu dan kulilitkan syal berpattern kotak-kotak marun, tak lupa kaus kaki, sarung tangan, dan penutup telinga untuk memastikan agar kau tidak kedinginan nantinya.

Setelah siap aku menggendongmu dipunggungku.

"Jika kau mengataiku berat, kupukul kau." kau mengatakannya dengan pelan.

"Kuharap kau lebih banyak makan," ucapku sedikit berbisik.

Ringan...

Tubuhnya pun berbeda.

Tidak bisakah setiap hari kau tidak perlu berubah... [name]? Tidakkah kau menyadari bahwa ini membuatku sakit?

Aku tidak ingin melihatmu lebih buruk lagi dari ini...

"Hei, kau mau kemana? Ke taman? Apapun yang kau inginkan akan aku kabulkan."

"Ah! Sepertinya kita akan membeli kado dulu untuk sedikit merayakan keluarnya kau dari rumah sakit."

"Ah bukannya keluar tapi kabur kan." Aku tertawa kecil dengan candaanku sendiri.

"Sei-kun arigatou," ucapmu pelan membuatku menghentikan langkah.

"Ah, setelah ini kau harus segera sembuh." Aku tersenyum lembut.

"........." kau bergumam kecil hingga aku tak mendengarnya.

Setelah itu aku kembali berjalan diantara banyaknya eksistensi disekitar kita. Aku pun masih terus berbicara banyak hal denganmu yang tanpa kusadari tak ada jawaban darimu satu pun. Aku terus melangkahkan kakiku dengan air mata yang terus mengalir sambil masih berbincang sendirian. Menuju tujuan akhir, kesebuah taman pertama kali kita bertemu.

"Aku mencintaimu... [name]," ucapku ditengah isak tangisku.

Hari itu, ditengah-tengah salju yang turun. Aku berdiri berhadapan dengan sebuah batu nisan keluargamu. Bahkan langit pun menangisi kepergianmu, butiran salju itu seolah mengiringmu menuju nirwana, meninggalkan kepingan ingatan antara kita. Dan meninggalkanku sendirian...

.
.

Langkah kakiku terhenti, didepan pohon sakura yang mekar dengan indahnya. Mengingat kenangan beberapa tahun sebelumnya membuatku tak sadar kini sudah berada disini. Kugali tanah yang sedang kupijak sekarang, menggalinya hingga menemukan sebuah kotak bewarna putih. Membukanya dan menemukan beberapa benda-benda serta 2 buah surat. Benar, ini kapsul waktuku denganmu dulu saat kita berusia 14 tahun. Pertama kubuka surat milikku, membacanya sambil tertawa kecil dengan isi yang banyak menceritakan tentangmu, ah benar disinilah awal aku menyukaimu. Aku pun berlanjut membuka surat milikmu. Manik mataku melebar membacanya, setitik dua titik air mata mulai berjatuhan.

Untuk diriku 10 tahun yang akan datang.

Kuharap kau dimasa depan memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanmu. Perasaan yang kau miliki untuk Sei-kun. Aku yakin dan percaya perasaanmu itu tidak akan pernah berubah, karena apa? Dia adalah anak laki-laki yang dulu pernah memberimu bunga. Bunga akasia. Bunga yang sangat kau cintai. Dan setelah membaca pesanku ini, kuharap kau bisa bersama dengan Sei-kun. Sekarang hanya ini yang bisa kulakukan.

Sei-kun...

Aku mencintaimu...

Air mataku menetes diatas kertas itu, kupikir cintaku bertepuk sebelah tangan. Kupikir kau mencintai Takao Kazunari. Aku... aku menyesal sampai saat terakhirmu tidak mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Akhirnya aku mengingatnya, ucapan terakhirmu saat itu. Gumaman kecil yang kupikir aku tak mendengarnya. Dan sekarang aku yakin kau mengatakannya.

"Daisuki..."

-FIN-

[1] Benarkah? Terima kasih!

[2] Ray - Ebb and Flow

Translation:

Salju pun turun dan menumpuk di sini..
Mimpi yang pernah kulupakan kini mulai bergerak
seperti di hari itu..
Memandang senyum yang tak pernah berubah..
Angin yang menghembus pipi yang basah ini
kemudian bertiup ke langit..
-Aku selalu melihatmu, kau begitu dekat tapi
juga jauh dan selalu saja tidak tergapai-
"Mengapa?"- suara yang menanyakan hal itu pun
bergetar..
Berayun-ayun, bulan yang terbayang di air tak
menjawab apa pun..
Jika tetap hanya sebagai teman biasa..
"Itu sama saja"- tangan yang kau genggam pun
terluka..

A/N:

Aneh kah? Yappari *cry* entah kenapa Aoi baper, dan lagunya Monkey Majik itu keren banget! Niatnya sih pengen masukkin Aqua Timez - Sen no yoru wo koete tapi pas dipikir-pikir kayaknya kurang pas buat ceritanya. Beberapa setting cerita itu ada yang beda karna disela-sela flashback Aoi selipin setting beberapa tahun setelah kejadian itu (dia bingung ngejelasin). Dan fict ini di dedikasikan untuk Natsu-san sebagai permintaan maaf belum bisa publish fict yang dijanjiin (tukang php dan saya tau itu TTATT). Oke di akhir kalimat.

Arigatou gozaimasu!

Mind to Vote and Comment? ^^

☆ID Line: kitara_aoi☆
♡Instagram: kira_aoin♡
♥Twitter: @Shely_Lya♥
♬SoundCloud: AoiKitahara♬
♔Facebook: Shellya Swarna Dewi♔
♠Akun fanfiction: AoiKitahara♠







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top