I Swear, I Hate Him Forever
April, 3rd, 2030
Bahkan sampai detik ini, aku membencinya.
Aku akan terus membencinya sampai akhir hayatku.
"Mama."
Tarikan kecil pada ujung bajuku dari energi yang dihasilkan oleh sesosok manusia mirip jelmaan boneka yang tingginya tidak lebih dari perutku membuatku yang semula sibuk memotong bawang hingga berkeringat teralihkan memandangnya. Gadis kecil dengan pipi tembam penuh dengan cokelat itu memandangku dengan berlinang air mata, sontak jantungku bagai terjatuh ke lantai. Mengabaikan isakan kecilnya, aku berjongkok, memutar tubuhnya ke sembarang arah untuk memeriksa adakah goresan kecil yang membuatnya terluka.
"Di mana yang sakit? Kau terjatuh di mana? Apa kau mengambil gunting yang Mama letakkan di atas meja rias? Kan sudah Mama bilang, nak, gunting itu benda tajam, kalau mau pakai gunting bilang Mama dulu!"
"Bukan gunting," isaknya, kemudian disusul gelengan kecil.
Bahuku melorot.
"Aku benci Oppa," lanjutnya. Satu detik kemudian tangisnya makin nyaring. (kakak)
Aku menghela napas. Lagi. Empat tahun setelah aku melahirkan putriku, sepertinya tiada hari tanpa isak tangis yang disebabkan oleh kakak yang hanya jauh lebih tua dua tahun darinya. Kadang aku bertanya-tanya, apakah setiap saudara kandung yang jaraknya terpaut sedikit selalu bertengkar seperti ini? Bagaimana kalau sampai menua mereka selalu bertengkar? Manalagi kakaknya bandel minta ampun.
"Dia ambil cokelatku, Mama!" ingusnya meler ke mana-mana, dan semakin merata ke seluruh permukaan wajahnya saat lengan kecilnya mengusap ingus itu, berusaha menyeka, tapi berujung naas.
Kuhapus jejak air mata di pipinya dengan telapak tangan. "Sudah Mama bilang, kalau punya cokelat jangan dimakan di dekat Oppa. Tahu sendiri Oppa selalu suka menggodamu."
Gadis kecilku mengangguk-angguk patuh.
Lalu dari arah pintu dapur masuk sesosok tinggi besar dengan mata menyipit. Aku berani bertaruh ia baru bangun tidur. Sambil mengucek-ucek mata, laki-laki yang tadi hendak membuka kulkas itu terheran melihatku dan anaknya yang di matanya mungkin terlihat menyedihkan. Aksi menatap itu hanya berlangsung tidak lebih dari lima detik sebelum ia kembali melanjutkan aktvitasnya membuka kulkas dan menarik keluar satu botol air mineral dingin.
"Kenapa lagi dia?" tanyanya dengan nada acuh setelah selesai mengembalikan botol ke dalam kulkas dan menutup pintunya.
"Anak laki-lakimu berulah lagi," kataku dengan nada, ayolah aku sudah lelah.
"Papa, aku benci Oppa!" gadis kecilku memekik, menyetujui perkataanku barusan.
"Karena?"
"Dia merebut cokelatku."
"Memang sesama saudara harus saling berbagi."
"Papa!"
"Choi Beomgyu!"
"Apa?"
Aku meniup poni sebal, lantas menyembunyikan entitas kecil ini ke belakangku, melindunginya. "Kau selalu menyebalkan, ya. Kenapa kau membela Beomjin terus, sih? Dia nakal, Beomgyu. Bagaimana jika nanti di sekolah dia merebut semua barang teman-temannya?"
"Ayolah, Shin Ryujin, Beomjin melakukannya karena ia iseng."
"Iseng dengan tega membuat Gyuryu menangis terus?"
Dapat kurasakan cengkraman kecil pada celanaku. Aku memeluk entitas Gyuryu dengan erat menggunakan satu tangan.
Beomgyu menghela napas, menyandarkan punggungnya pada pintu kulkas. "Tidak begini cara mendidik anak yang benar, Ryujin. Ketika kau membelikan cokelat untuk Gyuryu, kau harus mengajarkannya berbagi dengan Beomjin. Kau mau melihat Gyuryu menangis terus karena Beomjin selalu menjahilinya? Percayalah dia hanya ingin mendapatkan perhatianmu. Kau seperti menganak-tirikan Beomjin, kau tahu?"
Aku membisu. Kata-kata Choi Beomgyu barusan menohok ulu hatiku terlalu dalam. Padahal maksudku memanjakan Gyuryu daripada Beomjin selama ini karena di mataku Gyuryu hanyalah gadis kecil yang lemah. Kupikir Beomjin adalah anak laki-laki tegar yang suka berpetualang, jauh dari kata iri, dan hanya ingin hidup untuk menjahili adiknya saja. Tapi ternyata kata-kata Beomgyu seratus persen benar, dan seratus persen membuatku merasa bersalah berkali-kali lipat kepada Beomjin.
"A-aku..."
"Aku mencintai kalian semua," ucap Beomgyu lirih, maju mendekat kepada kami, lalu menarik kami ke dalam dekapannya. Lembut suara bisikannya mengalun di telingaku, disusul kecupan kecil pada pipiku. "Aku mencintaimu, Shin Ryujin."
Dia Choi Beomgyu, laki-laki pertama yang kubenci dalam hidupku. Laki-laki nomor satu paling kuhindari dalam sejarah masa laluku. Semakin keras usahaku untuk menjauhinya, rasa-rasanya Tuhan semakin ingin kami menjadi lebih dekat. Semenjak peristiwa aku melihatnya saling menempelkan bibir dengan Lee Chaeryeong di kantin sepuluh tahun yang lalu, aku baru sadar, bahwa ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh pepatah-pepatah romantis mainstream yang sering kudengar dari dulu hingga kini.
Dari benci menjadi cinta.
Aku tidak yakin kapan aku mulai mencintai sosok laki-laki menyebalkan sok ganteng ini (dan sialnya kalau dilihat-lihat ia memang ganteng betulan, sangat malah!). Yang kutahu, aku membencinya. Bahkan setelah kejadian sepuluh tahun lalu yang begitu menyakitkan itu, aku benar-benar yakin aku menghindarinya. Tapi hasil yang kudapat setelah aku menghindarinya adalah...
...takdir tidak pernah berubah.
Beomgyu mengetuk pintu kontrakan bobrokku (aku menyewa kontrakan itu karena biaya hidup di Seoul serta biaya kuliah yang sangat mahal tidak memungkinkanku untuk menyewa sebuah apartemen elit). Aku tidak mengira awalnya dia Choi Beomgyu, karena itu malam-malam. Seingatku aku sedang stres memikirkan skripsi kemudian seseorang mengetuk pintu kontrakanku. Was-was aku membawa teflon untuk menggetok kepala orang brengsek yang iseng mengetuk pintu kontrakan seorang gadis malam-malam begini. Tapi alih-alih penjahat atau orang brengsek, nyatanya orang itu Choi Beomgyu yang empat tahun lalu bersekolah di SMA yang sama denganku. Manusia yang paling kubenci seumur hidupku.
Malam itu kami bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dan malam itu dia tiba-tiba mendorongku masuk dan melakukan semuanya.
Dia memperkosaku.
Setelah kejadian itu, aku hamil, dan mau tidak mau Beomgyu harus bertanggung jawab. Dan aku berani bersumpah dia adalah satu-satunya orang yang tersenyum sumringah sampai aku takut bibirnya akan robek saat melihatku berjalan di altar dengan perut agak buncit. Baik aku, orangtuaku, maupun orangtuanya, semuanya berwajah muram. Hei, ini pernikahan aib! Kami bahkan tidak pernah berpacaran dan tahu-tahu aku menikah saja begitu dengan alasan hamil. Untung skripsi dan sidangku berjalan lancar, kalau tidak mungkin sekarang Choi Beomgyu sudah berubah menjadi abu di rumah persemayaman.
Lihat? Lengkap sudah alasanku untuk membencinya.
Dan aku sangat membencinya sampai mencintainya.
"Aku bersumpah membencimu selamanya, Choi Beomgyu," balasku tak kalah pelan, mengecup pipinya kilat.
Dapat kurasakan Beomgyu tersenyum saat tangan kekarnya yang memelukku dan Gyuryu makin erat. "I love you too."
Saat menikmati momen romantis itu dengan syahdu, tahu-tahu muncul satu entitas yang wajahnya sangat menyebalkan, mirip dengan wajah Choi Beomgyu, bahkan lebih mirip dengan Choi Beomgyu versi SMA.
Dia berteriak nyaring dengan mata melotot, "Mama! Aku juga mau cokelat, tahu! Bukan hanya Gyuryu saja! Aku benci Mama!"
.
.
.
Setelah sekian lama kaku nulis aku belajar nulis lagi.
Setelah baca tinggalkan jejak ya, hehehe.
-Milleny Aprilia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top