Terlalu Mencintai

POV Ayfa.

Saat kami sedang makan, Dara pergi membeli air. Namun, saat wanita itu kembali, ia seperti kesetanan.

"Gawat, temen-temen! Itu, si Bara. Gawat!" Dara berbicara sambil terengah-engah.

"Pelan-pelan napa, Ra. Ada apa, sih? Yang jelas kalau ngomong," ujar Pipit.

"Iya, Bara bikin ulah apa lagi?" tanyaku yang memang sudah tahu kebiasaan pria itu.

"Bara habis mukul salah satu peserta band award. Sekarang, dia lagi diruang pak Ketua."

"Apaaaaaaa?!" Aku dan Pipit terkejut.

Mendadak, aku mendapatkan telepon dari Bara.

"Eh, tunggu. Ini dari Bara," ujarku pada Pipit dan Dara.

"Udah, cepet angkat."

[Iya, Sayang.]

[Kamu di mana? Aku cari di kelas nggak ada?]

[Aku di kantin, nih.]

[Yaudah, aku ke situ sekarang.]

[Ehm, ok.] Aku mengakiri panggilan itu.

"Gimana, Fa?"

"Dia mau ke sini. Ntar, sampai sini aja, baru kita tanya dia," ujarku.

"Ok-ok."

"Tapi aku penasaran, siapa peserta yang dipukul Bara, ya?" tanya Dara.

Mendadak, percakapan kami harus terhenti, karena seorang pria datang mendekat.

"Itu aku, yang dipukul," ujar pria itu yang tak lain adalah Radit.

"Radit!" Kami semua terkejut.

"Apa aku mengganggu kalian?" tanya pria itu.

Kami bertiga tidak ada yang menjawab karena masih terkejut. Namun, pria itu langsung duduk di sampingku.

Tak berapa lama, Bara datang. Ia melihat Radit sudah duduk tepat di sampingku. Itu malah makin membuatnya marah. Ia bergegas menghampiri dan langsung mencengkeram kerah baju milik Radit.

"Apa pukulanku tadi, tidak cukup buatmu!" ucap Bara dengan beringas.

"Sayang, jangan kayak gini! Tahan emosi kamu!" Aku menarik tangan Bara dan memisahkan mereka.

"Ngapain sih, dia duduk di sini?" ucap Bara yang masih kesal.

"Kan, ini tempat umum. Siapa pun boleh duduk di sini," ujar Radit dengan santai, sembari membenarkan kerah bajunya yang kusut.

"Masih berani sombong kamu, ya!" ucap Bara seraya ingin memukulnya lagi. Namun, aku menahannya.

"Sayang, udah lah. Jangan bikin ribut di sini!" bentakku agak keras.

Radit tersenyum sinis. Ia puas melihat Bara yang tak bisa berkutik di depanku.

"Oh, iya Fa. Kok, aku udah nggak bisa ngubungin kamu? Ganti nomer, ya? Atau ... sengaja ada orang yang ngeblokir aku," cibir Radit seraya memandang sinis ke arah Bara.

"Wah, bener-bener di orang," gumam Bara seraya berdiri, lalu mencengkeram leher Radit lagi. Pria itu sudah siap untuk memukulnya.

"Aku bilang sama kamu, jauhi pacarku! Kalau kamu ingin hidup dengan tenang!" ancam Bara dan membuat keributan.

"Bara, kenapa kamu seperti ini? Lepasin dia!" Aku mencoba menahan emosi pria itu.

Radit menatapku.

"Fa, apa kamu lupa? Kalau kamu masih punya janji mentraktirku makan," ujar Radit makin memprovokasi Bara.

(Haduh, nih orang. Di saat kayak gini, bahas masalah itu,) ucapku dalam hati.

"Jadi, kalian berdua masih akan bertemu di belakangku lagi? Iya!" teriak Bara yang tak bisa mengontrol emosinya.

"Sayang, aku bisa jelasin. Kamu jangan emosi kayak gini, ya?" rintihku.

Bara melepaskan Radit, kemudian menarik tanganku dengan paksa.

"Haduh, gawat nih, Ra!" ucap Dara ikut cemas.

"Bisa kena imbasnya kita," sahut Pipit.

Mereka berdua ikut menyusulku.

Bara membawaku ke gudang atas yang sudah tak terpakai. Ia menutup pintu itu dengan rapat. Agar Pipit dan Dara tidak bisa masuk.

"Apa yang mau kamu lakukan?" tanyaku padanya.

Bara langsung mendorong tubuhku ke tepi dinding. Ia menaruh kedua tangannya di antara tubuhku, hingga aku tak bisa bergerak. Mata pria itu beringas, seakan bukan dia yang biasanya.

"Kenapa kamu berbohong padaku? Kenapa!" teriaknya melengking, sehingga membuatku takut.

"Maksud kamu apa?"

Bara mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan sebuah foto padaku. Aku tersentak, tatkala melihat foto itu. Itu adalah saat aku dan Radit makan malam. Aku menggigit bibir bawahku, seakan tak bisa berucap apa-apa lagi. Karena aku tau, jika Bara sudah mendapatkan bukti. Ucapanku tidak akan ada artinya.

"Apa kamu mau mendengarkan penjelasanku?"

"Hah, penjelasan apa lagi? Sudah cukup jelas, bukan? Harusnya malam itu juga kamu ngomong. Jadi, aku nggak sesakit ini. Tapi, kenapa kamu malah berbohong sejauh ini? Apa mau kamu sebenarnya, ha!" bentak pria itu.

Aku merasa diponjokkan. Padahal, aku seperti ini juga karena Bara. Dengan rasa sesalku, aku membalas perkataan pria itu.

"Aku muak sama semua sikap kamu! Aku juga ingin bebas seperti yang lainnya. Aku menderita di samping kamu!" ucapku dengan nada sedikit tinggi.

"Apa aku salah? Karena terlalu mencintaimu? Apa aku salah? Karena takut kehilanganmu? Apa aku salahhh?!" teriak Bara, sembari memukul tembok di samping wajahku hingga tangannya berlumuran darah.

Aku menutup mukaku, menangis menahan ketakutan. Bara yang tau aku menangis langsung meninggalkanku begitu saja.

Aku merunduk dan masih terus menangis. Aku merasa kata-kataku sudah menyakiti Bara. Memang akulah yang salah. Akulah yang berbohong padanya. Aku menyesal. Namun, aku terlambat mengatakan kata maaf. Bara sudah pergi meninggalkanku. Pipit dan Dara menghampiriku, mereka berdua langsung memelukku. Membuatku sedikit tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top