Perkelahian
POV Ayfa.
Hari itu, malam Minggu. Seperti biasa, Bara ada di kamar indekos bersamaku. Kami bersenda-gurau seperti biasa. Mendadak, ponselku berbunyi. Aku tersentak, karena itu dari Radit. Bara sempat meliriknya, ia juga bisa melihat nama yang tertera di ponsel itu.
"Angkat, tuh!" perintah Bara.
"Ehmm, nggak usah, deh. Nggak penting juga," bantahku beralasan.
"Atau, perlu aku yang angkat?" ucapnya dengan tatapan tajam.
"Iya-iya, aku angkat," keluhku karena tak bisa menolak keinginan pria itu.
"Loudspeaker!" bentak Bara nenyuruhku.
Aku mengangkat panggilan itu dengan perasaan yang was-was.
[Iya, Radit.]
[Fa, kok, kamu sekarang jarang balas pesanku? Apa pacar kamu udah pulang, ya?]
[Ehmm ... iya, nih,] ujarku dengan sedikit cemas.
"Kenapa? Apa masalahnya kalau aku sudah pulang!" bentak Bara tiba-tiba.
[Oh, dia lagi di situ ternyata? Apa kalian tinggal bareng, Fa?]
Bara menyabet ponselku secara paksa.
[Mau aku tinggal di sini atau nggak? Apa masalahnya sama kamu, ha!]
"Bara, udah! Tenanglah." Aku mengambil ponselku kembali.
[Dit, kapan-kapan aja dilanjut. Aku tutup dulu.] Aku segera mematikan panggilan itu, kemudian menatap Bara dengan wajah cemas.
Bara meremas tangannya, ia ingin sekali memukul sesuatu.
"Siapa cowok itu?" tanyanya dengan nada marah.
"Itu Radit, temennya Dara. Dia yang ngenalin ke aku," sahutku beralasan.
"Hah, Dara!" bantah Bara seraya tak percaya.
"Iya."
"Sini ponselmu!" pintanya.
"Kenapa lagi?"
"Mau nelepon Dara, buat nanyak. Cowok itu siapa?" ucap Bara dengan ketus.
Aku merasa, semua kebohonganku akan terbongkar.
"Ah, Sayang Nggak usah, deh. Kenapa sih, kamu nggak pernah percaya sama aku?" rintihku dengan mata berkaca-kaca.
"Hah, kamu mau aku percaya sama kamu? Kalau gitu, blokir dia sekarang!" pinta pria itu.
"Tapi, Sayang."
"Ya udah, aku telepon Dara sendiri," ancamnya seraya mengeluarkan ponsel.
"Iya-iya, aku blokir dia, Sayang," keluhku sembari memblokir semua aplikasi milik Radit.
"Udah, nih!" ucapku dengan lesu.
"Sekali lagi ini terjadi, aku remukin ponsel kamu!" ancam Bara.
Aku menghela napas panjang.
Malam itu kami tidur saling membelakangi. Aku merasa kehilangan Radit, padahal dia bisa membuatku tertawa beberapa hari ini. Di sisi lain, Bara sangat kecewa karena aku membohonginya. Namun, ia tak ingin memulai perkelahian denganku. Karena tau dia akan selalu kalah dariku.
***
Pagi harinya di kampus. Aku baru saja sampai dengan wajah lesu. Namun, kedua temanku malah marah-marah padaku.
Pipit menggebrek buku ke atas meja. Wanita itu, seperti sedang memendam masalah yang berat.
"Aku benar-benar nggak tahan!" umpat Pipit seraya menatapku dengan sinis.
"Pit, sabar. Tenangin diri kamu, jangan gegabah," lerai Dara.
"Ada apaan sih, Pit, Ra?"
"Aku nggak nyangka, punya temen kayak kamu, Fa. Bisa-bisanya kamu --" Dara segera menutup mulut Pipit agar tak meneruskan perkataannya.
"Jangan bikin masalah tambah runyam! Mending kita diam aja, Pit," pinta Dara.
"Haessttt!" Pipit segera pergi meninggalkan ruangan itu.
"Ra, kenapa sih, tuh anak?" tanyaku penasaran.
"Urusin aja, urusan kamu, Fa!" bentak Dara, kemudian pergi menyusul Pipit.
"Kok, mereka berdua jadi aneh gitu, sih."
***
POV Bara.
Tahun ini, universitas kami terpilih untuk mengadakan acara Band award. Acara ini biasanya diadakan satu tahun sekali. Para peserta yang akan mengikuti, bisa dari mahasiswa atau fakultas lainnya.
Aku dan anggota OMAS lainnya sedang mendata para peserta yang akan mengikuti acara itu. Mereka berbaris satu per satu. Mendadak, aku terkejut saat membaca salah satu formulir yang ada di atas meja. Aku mengenali foto pria yang terlampir di kertas itu.
"Raditya Setiawan," gumamku lirih.
"Iya, itu aku," sahut seorang pria berkulit putih yang sudah berdiri tepat di hadapanku.
Aku menatap pria itu dari bawah ke atas. Radit tersenyum sinis padaku, dia melihat name tag di dadaku.
"Jadi kamu, yang namanya Bara?" Radit mengingat saat Ayfa memanggilku di telepon.
Entah kenapa, emosiku langsung memuncak Tanpa pikir panjang, aku langsung memukul muka pria itu. Aku meloncati meja dan ingin menghajarnya lagi. Namun, teman-temanku menghalangi aksiku itu.
"Bara! Apa-apaan kamu?" teriak Linda yang saat itu juga ada di sana.
Karena keributan itu, aku harus dipanggil ke kantor ketua yayasan. Beliau sangat terkejut, kenapa bisa aku melakukan perkelahian seperti itu.
"Apa yang terjadi Bara? Bapak sangat kecewa sama kamu. Kamu itu ketua OMAS, harusnya memberikan contoh yang baik!"
"Maafkan saya, Pak"
"Bara, di sini adalah universitas di mana kita menimba ilmu. Jangan bawa rasa kebencianmu ke sini. Sebagai hukumannya, bapak akan mengeluarkanmu dari juri band award. Renungilah apa kesalahanmu, mengerti!"
"Mengerti, Pak."
Aku menghela napas panjang. Namun, kemarahanku belum cukup reda. Aku masih sangat ingin menghajar pria bernama Radit itu.
***
POV Ayfa
Di kantin, aku duduk di samping kedua temanku. Mereka berdua terlihat lesu.
"Pit, apa kamu masih marah padaku? Padahal, aku nggak tau salah aku di mana? Maafin aku, Pit? Please," rintihku pada wanita berambut keriting itu.
"Kamu ...."
"Udah lah, Pit. Kan, kita ini teman. Nggak baik marah-marahan terus," ujar Dara mengguruinya.
"Iya-iya."
"Oh, makasih Pipit, Sayang," ujarku seraya memeluk wanita itu.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya manteman 🥰🥰🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top