Pergi Ke Rumah Bara

POV Ayfa.

Dua hari sudah berlalu, Bara tak membalas semua pesan yang kukirimkan. Ia pun tak mengangkat telponku sama sekali. Bara juga tak masuk kuliah, karena jabatannya sebagai juri sudah dicabut oleh ketua yayasan. Dia sudah tak perlu mengurusi acara band award itu lagi. Aku duduk diam di kursi sembari merenung. Pipit dan Dara tak ingin melihatku berlarut-larut dalam masalah ini.

"Eh, Fa. Sana gih, jenguk si Bara! Tega banget kamu nih," cibir Dara.

"Iya, Fa. Kan, emang kamu yang salah. Aku yakin Bara pasti mau maafin kamu," sahut Pipit.

"Iya-iya. Ntar, sore aku ke sana."

"Nah, gitu dong. Jangan lupa bawa sesuatu, ya? Jangan cuman tangan kosong," saran Pipit.

"Siap, Bos." 

***

Aku membeli buah pear kesukaan Bara. Aku tersenyum sembari menenteng tas kresek berwarna putih itu, lalu bergegas menuju ke rumah pria itu.

"Eh, Non Fafa. Mari masuk, Non!" sapa satpam di rumah Bara, yang memang sudah mengenalku.

"Eh, iya Pak. Bara ada dirumah nggak?"

"Ada, Non. Den Bara nggak pernah ke mana-mana, kok," ujar pria itu.

Aku berjalan menuju ke pintu rumah bertingkat tiga itu. Rumah Bara sangatlah luas, dihiasi taman di depan rumahnya. Ada danau buatan untuk tempat ikan koi juga.

Namun, mataku tertuju pada sesosok wanita berambut panjang yang berdiri di depan pintu. Ia membawa keranjang buah yang sangat mewah.

"Linda, ngapain kamu di sini?" tanyaku pada wanita yang tak lain adalah Linda.

"Ngpain lagi? Ya jenguk Bara, lah. Kan, dia temen aku sekelas," bantah wanita itu dengan sinis.

Dari dalam rumah, seorang wanita separuh baya datang menghampiri kami berdua.

"Oh, Nak Linda. Kamu datang menjenguk Bara, ya?" sapa Siska, ibunya Bara.

"Iya, Tante," sahut Linda sembari tersenyum.

Wanita itu terkejut melihatku ikut berdiri di sana.

"Kamu di sini juga? Bara nggak mau keluar dari kamarnya. Percuma aja, kamu ke sini!" ucapnya dengan ketus.

Aku merasa sangat berkecil hati. Wanita itu selalu bersikap dingin padaku. Aku tau apa sebabnya. Aku ini orang miskin, tidak seperti Linda yang dari keluarga kaya. Siska selalu saja menentang hubunganku dengan Bara. Namun, Bara selalu bisa membantah dan lebih memilihku daripada ibunya sendiri.

Aku sangat kecewa karena tak disambut ramah oleh Siska. Aku pun memutuskan untuk pulang saja. Kakiku sudah mulai berjalan keluar dari pintu rumah Bara. Mendadak, Bara keluar dari kamarnya dan sekilas melihatku pergi. Bara tahu, ibunya hanya mengundang Linda masuk ke rumah.

"Bara, kamu udah keluar kamar, Sayang?"

"Mama selalu saja seperti ini. Kenapa tak bisa menerima Fafa dirumah ini!" Bara pergi meninggalkan mereka berdua.

"Bara!" ucap Siska sembari memanggilnya.

Pria itu, tak menghiraukan panggilan ibunya dan malah menyusulku. Ia langsung menarik tanganku.

"Kamu sudah sampai di sini, kenapa langsung mau balik! Kan, kamu belum ketemu sama aku," ujar Bara.

"Bara ... aku," ujarku dengan mata berkaca-kaca.

Bara membawaku masuk ke rumahnya lagi.

"Bara, kita mau ke mana?" tanyaku pada pria itu, yang masih menggiringku entah ke mana.

"Udah, ikut aja kamu."

Kami berdua melewati Siska dan Linda yang sedang terduduk di sofa.

"Bara! Kenapa kamu bawa dia masuk?" ucap Siska yang tak suka, karena aku masuk ke rumah itu.

"Mama ngobrol aja, di sini ama Linda. Aku nggak akan ganggu. Aku mau bawa Fafa ke kamarku," sahut Bara dengan tegas 

"Hah, berani sekali kamu, Bara!" bentak Siska.

Bara tak mempedulikan ibunya dan terus menarik tanganku. Kemudian, masuk ke kamarnya. Linda menatapku dari kejauhan dengan sangat kesal.

Bara menyuruhku duduk di atas ranjang. Kemudian, ia mengambil kursi dan menyeretnya untuk duduk di hadapanku.

"Apa kamu datang untuk menjengukku?" tanya Bara.

"Terus siapa lagi? Mang Udin, ya?" 

"Ini buah, buat aku, ya?"

"Ehmm, tapi nggak sebanding sama yang dibawa Linda," gumamku sembari merunduk.

"Aku lebih suka pemberianmu, kok," ujar pria itu, sembari mengambil buah dari tanganku.

Aku merapikan rambutku agar terlihat sempurna di depan pria itu.

"Bara," panggilku dengan lembut.

"Iya."

"Kok, pesan ama teleponku, nggak dibales sama sekali?" tanyaku padanya.

"Lagi nggak pengen aja," sahut pria itu dengan datar.

"Maafin aku, ya? Emang aku yang salah. Aku nggak seharusnya berbohong sama kamu. Aku minta maaf," ujarku dengan tulus.

"Aku udah maafin kamu, kok," jawab Bara sedikit ketus.

"Kok, kayaknya kamu masih marah sama aku?"

Bara langsung mendekatiku.

"Kalau aku masih marah sama kamu, ngapain aku bawa kamu ke kamarku," cibir pria itu.

"Ehmm, gitu ya?" Aku merunduk, merasa Bara masih merasa kesal padaku.

Suasana hening beberapa saat.

"Bara," panggilku lagi dengan suara yang lebih lembut.

"Apa lagi?"

"Apa yang harus aku lakukan, biar kamu nggak kesal lagi sama aku?"

Bara menjentikkan jari di pipi kanannya, seolah menyuruhku untuk menciumnya.

(Yaelah, kenapa nggak dari tadi, sih.) pikirku dalam hati.

Aku langsung melayangkan kecupan manis ke pipi pria itu. Namun, mendadak Bara menoleh. Sehingga, aku malah mencium bibirnya.

"Bara ... usil banget, deh!" ucapku seraya memukul dadanya dengan pukulan ringan.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya manteman 🥰🥰🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top