Kemarahan Bara
POV Ayfa.
Di kampus, saat aku baru saja tiba di kelas. Kedua temanku langsung menghujani dengan banyak pertanyaan.
"Kamu semalam ke mana aja, sih? Bikin susah kita aja!" ucap Pipit sembari mengeryitkan dahi.
"Iya nih, kena marah nggak kamu?" Dara ikut mengomeliku.
"Enggak dong, udah beres urusannya," sahutku dengan bangga.
"Yakin kamu? Bara nggak marah sama kamu?" tanya Pipit yang masih tak percaya.
"Nggak, tuh. Kan, aku selalu bisa naklukin dia," ujarku dengan percaya diri.
"Dasar, kamu. Syukur deh, kalau dia nggak marah," sahut Dara.
***
Hari ini, Bara pulang dari Bandung. Mungkin karena dia nggak sabar pengen ketemu aku, dia langsung datang ke kamar indekosku. Padahal, harusnya pulang dulu ke rumah.
Tok, tok, tok! Suara pintu diketuk sangat keras.
"Siapa, ya?" Aku berjalan, kemudian membuka pintu kamar.
"Bara! Kok, kamu bisa di sini?" tanyaku heran.
"Kenapa! Apa aku nggak boleh pulang ke rumah pacarku sendiri?" ucapnya dengan ketus.
"Ehmm, bukannya gitu."
"Aku capek, mau mandi dulu." Ia bergegas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Aku langsung ke dapur melihat isi kulkas. Untung ada kikil sisa kemarin. Aku langsung menumis kikil itu, kemudian memasak nasi juga. Aku menghidangkan semua makanan itu di meja. Sedangkan Bara, baru saja keluar dari kamar mandi. Aku segera mendekati pria itu.
"Sayang, kamu pasti lapar? Aku udah nyiapin makanan buat, kamu," ujarku dengan manja.
Bara tak menanggapinya lalu duduk di atas ranjang. Aku merasa sedikit aneh, kemudian pria itu menatapku dengan tajam.
"Mana ponselmu?" pintanya dengan nada kesal.
"Ponsel? Buat apa?"
"Udah sini, kasih aja!" bentaknya dengan nada tinggi.
"Iya-iya, nih!" Aku memberikan ponselku padanya.
Bara mengecek semua isi di dalam ponselku. Dari panggilan, pesan, WA, FB, Mesangger, LINE, IG, semuanya bersih, seperti memang sengaja dihapus.
"Bersih banget," cibir pria itu.
"Maksudnya?" Aku pura-pura tak mengerti dengan perkataannya.
Aku mendekati pria itu seraya bergelantungan di lehernya.
"Sayang ... kenapa, sih? Apa aku bikin salah? Kalau emang aku punya salah, aku minta maaf, ya? Aku nggak mau kamu kesal kayak gini terus," ujarku merayunya dengan lembut.
Bara sedikit menahan emosinya.
"Ya udah lah, kita makan aja!"
"Ehmm, ok," ujarku dengan tersenyum.
Bara menikmati tumis kikil yang aku buat. Itu adalah menu favorit dia. Saat sedang makan, ia menyuruhku mengambil sesuatu di dalam tas miliknya.
Aku bergegas membuka tas Nike milik Bara yang berwarna hitam, lalu sebuah beruang kecil, coklat dan kaos terbungkus rapi di sana. Aku menutup mulutku karena terkejut.
"Sayang, apa ini buat aku?"
"Ehmmm," sahut pria itu dengan singkat.
"Oh ... makasih. Aku suka banget." Aku menghampiri pria itu dan langsung duduk di pangkuannya.
"Aku sa ... yang banget, sama kamu," ujarku sembari mencium bibir pria itu.
"Hah, kamu ya? Bilang sayang kalau ada maunya," cibir Bara.
Aku turun dari pangkuannya dan mengeluarkan kaos pemberiannya tadi, kemudian langsung memakainya.
"Pas banget, Sayang. Kamu selalu tau ukuranku," ujarku sembari terkekeh.
"Apa sih, yang nggak kutau dari kamu!" sahut pria itu sembari meneruskan makan.
Ia menghela napas dan tak jadi membahas masalah pria yang ada di foto bersamaku kemarin.
***
POV Bara.
Hari itu, setelah ujian. Ayfa ada les privat dengan Ibu dosen. Aku punya kesempatan untuk bertemu Pipit dan Dara. Tampak mereka berdua sedang merapikan buku-buku karena akan segera pulang.
"Pit, anterin aku pulang bisa?"
"Ehmm, ok. Aku juga mau ke mall disamping rumahmu itu, kok."
Aku mendadak masuk ke kelas dan mengagetkan mereka berdua.
"Bara!" teriak mereka berdua agak cemas.
"Duduk kalian!" Wajahku seperti ingin memakan orang.
"Duh, ada apa lagi ini?" gumam Dara.
Aku mengeluarkan ponsel, lalu memperlihatkan sebuah foto pada mereka. Keduanya tersentak.
"Kalian tau siapa cowok ini?"
Pipit dan Dara melihat foto itu, lalu mereka saling berpandangan.
"Radit!" ucap mereka.
"Siapa namanya?" tanyaku pada mereka.
"Namanya Radit, kami bertemu dia saat di klub malam," sahut Pipit keceplosan.
"Hah! Kalian juga pergi ke klub malam rupanya!" bentakku karena kaget.
"Bara, kami hanya ketemu Radit sekali. Setelah itu, kami nggak ketemu dia lagi. Cuman waktu itu, Radit yang minta nomernya Fafa. Kami juga nggak tahu, kalau mereka diluar saling ketemu. Tapi, aku yakin. Fafa nggak akan macem-macem, kok. Fafa juga bilang ke Radit, kalau dia udah punya pacar. Kamu jangan emosi dulu ya, Bara," jelas Pipit berusaha menenangkan emosiku.
Namun, aku malah semakin marah. Karena merasa dibohongi. Aku langsung menggebrak meja, membuat mereka berdua ketakutan.
"Berani-beraninya kalian bohongi aku!"
"Bara, kami nggak bohongin kamu," rintih Dara.
"Aku minta sama kalian, jangan katakan apa pun pada Fafa. Biar aku sendiri yang mengurus masalah ini. Ngerti kalian!"
"Iya, kami ngerti."
Aku pergi berlalu meninggalkan mereka berdua. Emosiku benar-benar memuncak. Namun, aku tak ingin memulai pertengkaran dengan Ayfa. Aku ingin, dia sendiri yang mengatakannya.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman. Biar author makin semangat nulisnya 😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top