Berkenalan
POV Ayfa.
Hatiku rasanya sedih sih, tapi dikit. Saat melihat Bara masuk ke bus, aku berputar-putar kegirangan. Aku bisa bebas darinya selama dua minggu. Tiba-tiba, ponselku berbunyi.
[Ngapain kamu muter-muter di situ, ha? Seneng kamu, sekarang bebas dari aku!] bentak pria itu yang masih bisa melihatku dari kejauhan.
[Oh, enggak, Sayang. Kakiku kesemutan, nih. Makanya loncat-loncat.] sahutku sambil nyengir.
[Awas kamu, ya! Udah, pulang sana!]
[Iya, Sayang.]
Aku menutup ponsel dan bergegas pulang.
Sesampainya di kamar indekos, aku masih begitu senang. Aku berguling-guling di kasur dan memeluk guling, seakan aku sudah merasa bebas.
"Achhhh, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega," gumamku sembari tersenyum puas.
***
Di kampus, aku menceritakan kabar tentang kepergian Bara pada kedua temanku.
"Serius kamu, Fa? Jadi, Bara pergi ke bandung selama dua minggu?" tanya Pipit.
"Iya, Pit. Akhirnya, baru sekarang selama lima tahun aku ngerasa bebas kayak gini," celetukku.
"Terus, kamu mau ngapain aja, selama dua minggu ini?" tanya Dara.
"Taraaaaaa!" Aku mengeluarkan sebuah kertas yang agak panjang.
"Apaan, tuh?"
"Ini adalah jadwal yang akan aku lakukan selama dua minggu ini, hehehe," ujarku sembari terkekeh.
"Niat banget kamu, fa!"
"Iya, dong."
"Wah, ke clubing. Yakin kamu, Fa? Kalau Bara sampai tau, bisa mampus kita," gerutu Pipit.
"Iya, Fa. Kan, kamu tau, matanya Bara itu ada di mana-mana," sahut Dara.
"Tenang aja, aku udah siapin banyak alasan, kok. Yang penting, kalian berdua harus bantuin aku."
"Yah ... kita lagi yang kena," gerutu Pipit.
***
Akhirnya, aku dan kedua temanku. Benar-benar pergi ke clubing. Kami bertiga baru aja sampai dan duduk di kursi, mendadak Bara menelepon.
"Duh, mampus aku! Kenapa harus sekarang, sih?" Aku bingung harus berbuat apa.
"Siapa, Fa? Bara, ya?" tanya Pipit.
"Iya, nih."
"Wah, gawat!"
"Ayo keluar bentar, di sini berisik," pintaku pada mereka berdua.
Aku dan teman-temanku segera berlari keluar, kemudian mengangkat panggilan Bara.
[Kenapa lama banget, sih? Lagi ngapain kamu] nada suara Bara mulai meninggi.
[Aku tadi dikamar mandi, Sayang. Ini aku lagi dirumahnya Pipit, ngerjain tugas,] ujarku berbohong padanya.
"Hahh, sial! Kenapa mesti aku?" gerutu Pipit sembari menunjuk dirinya sendiri.
[Tugas apa? Bukannya kamu mau exam, kenapa ada tugas lagi?]
(Mampus aku, ini orang teliti banget, sih!) umpatku dalam hati.
[Ehmm, tugas singkat, kok. Pak Lukman yang ngasih tadi pagi. Kalau nggak percaya, coba ngomong sama Pipit sendiri,] aku segera memberikan ponsel itu ke Pipit.
"Ah, sialan kamu, Fa!" umpatnya dengan lirih.
Aku memohon-mohon kepada wanita itu agar berbohong juga.
[Iya Bara, ini kita lagi ngerjain tugas. Kamu nggak perlu khawatir. Aku bakal jagain pacar kamu dengan baik, kok.]
[Ya udah, kasih ke Fafa!]
"Nih!" ucap Pipit mengembalikan ponselku dengan cemberut.
[Iya, Sayang.]
[Jangan pulang malam-malam. Terus, langsung telepon aku, ya?]
[Iya, Sayang,] Aku segera mematikan ponselku.
"Hampir aja, kita mampus," gumamku sembari bernapas dengan lega.
"Gara-gara kamu nih, Fa!" bentak Dara.
"Ah, udah. Yuk, kita masuk lagi," ujarku dan menggiring kedua temanku itu.
Mereka bertiga tampak minum-minum. Kemudian, dari arah lain tiga pria diam-diam sedang mengawasi mereka. Dara bisa melihat itu.
"Eh, girls. Kalian ngerasa nggak? Itu cowok-cowok yang di sana, kayaknya merhatiin kita, deh," ujar Dara.
"Mana sih, Ra? Yakin kamu?" Aku mencari-cari dan akhirnya melihat para pria itu.
"Lumayan juga tuh, cowok," gumamku.
"Jangan macem-macem kamu, Fa. Nggak pernah dimakan harimau, ya?" celetuk Pipit.
"Kalian nggak tau, ya. Kalau aku bisa naklukin harimau."
"Yah, sombong ni anak," cibir Dara.
Beberapa saat kemudian, terlihat para pria itu berjalan mendekati mereka.
"Boleh gabung nggak?" ujar salah satu dari pria itu.
"Boleh, kok," ujarku begitu saja.
"Kenalin, namaku Radit. Ini temen-temenku." pria itu menjulurkan tangannya.
"Aku Fafa, ini Pipit dan Dara temenku." Aku ikut menjabat tangannya.
Radit menatapku dengan tatapan tajam, seolah-olah pria itu menginginkanku.
"Boleh minta no ponsel kamu nggak?"pinta Radit tiba-tiba.
Pipit mendekatiku lalu berbisik.
"Eh, Fa jangan diladenin, geh!" bisiknya padaku.
"Sebenernya, aku udah punya pacar. Tapi, kalau untuk temenan aja, aku nggak papa," jelasku pada pria itu.
"Nggak papa, kok. Jadi temen pun, aku mau," sahut Radit sembari tersenyum.
Akhirnya aku memberikan nomer ponselku pada pria itu, Pipit dan Dara merasa cemas.
***
Saat pulang dari tempat clubing, di dalam mobil Pipit marah-marah.
"Eh, Fa, apa nggak keterlaluan kamu? Pakai ngasih nomer segala. Kalau Bara sampai tahu, bakal diancurin ponsel kamu!" ancam Pipit.
"Bara nggak akan tahu, kalau kalian nggak ngomong. Lagian, aku cuman bebas dua minggu ini doang. Masak sih, kalian nggak kasihan sama aku," rintihku pada mereka berdua.
Dara menghela napas.
"Iya-iya. Tapi, jika ada masalah. Awas kamu ngelibatin kami," ancam Dara.
"Siap, Bos. Beres," ujarku sembari terkekeh.
Jangan lupa dukung author dengan ninggalin jejak ya, terima kasih 😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top