(Sebelas). F

"Fajaaar?" Suara Raya semakin parau, sudah setengah jam dia memanggil -manggil nama itu dengan putus asa. Tubuh menggigil kedinginan, air mata kalut bercampur dengan air hujan yang menetes dari atap yang bocor.

Masih belum ada jawaban, untuk pertama kalinya, dia mengakui membutuhkan suami palsunya itu, untuk pertama kalinya juga dia merasa tak ingin kehilangan secepat ini, dia gamang dan takut. Apa yang dilakukan Fajar adalah demi menyelamatkannya, laki-laki itu bisa saja menyelamatkan dirinya terlebih dahulu, namun dia memilih Raya untuk diselamatkan lebih dulu.

Raya berdiri mencoba mendobrak atap tua yang mulai lapuk, berhasil, cahaya bulan mulai masuk menerangi ruangan walaupun samar samar. Hujan masuk semakin deras menyiram tubuhnya yang memang sudah basah.

Mata Raya menangkap pergerakan air, satu tangan yang memakai jam tangan hitam yang diyakini adalah milik Fajar mulai menggapai anak tangga kayu. Raya merasa hidup kembali, kepala Fajar muncul di antara air yang keruh dan bercampur lumpur. Dia melepaskan nafasnya dengan lega, mengambil oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru parunya.

"Ya tuhan. Ya tuhan . Aku akan membantumu naik."

Raya mengulurkan tangannya, menyambut tangan Fajar, membantu Fajar agar naik lebih tinggi. Fajar menyambut tangan itu, tubuhnya meninggalkan air yang masih menggenang dua meter diatas lantai.

Baru saja dia menginjak kayu plafon, Raya langsung menghambur kepelukannya sambil menangis hebat.

"Aku kira kau sudah mati." Raya memeluk Fajar semakin erat, dia merasa sangat lega dan bahagia. Fajar tidak menolak, dia membalas pelukan Raya, mereka sama-sama bersyukur bisa selamat dari hantaman banjir yang berasal dari sungai yang meluap.

"Ayo cepat! kita harus naik ke atap supaya mudah ditemukan dan di evakuasi." Fajar menarik lengan Raya, membimbing wanita itu lebih dulu. Raya menggapai atap, Fajar membantu mendorong pinggulnya agar Raya mudah untuk menyeret badannya.

Fajar menyusul naik dengan cepat, nafas mereka tersengal. Mata Raya terbelalak, kampung langsung berubah menjadi danau, sekilas mereka melihat beberapa warga juga sudah naik ke atap, dan ada beberapa rumah yang tenggelam.

Raya menutup mulutnya, bencana ini tak bisa dikira betapa mengerikannya.

"Ya tuhan! Rumah yang berada di sana tidak tampak lagi, Fajar "

"Iya, sungai menghanyutkan beberapa rumah, aku yakin banyak warga yang terseret."

Raya menutup wajahnya.

"Kalau saja kau tidak menyelamatkan ku, aku akan menjadi salah satu korban yang hanyut, bahkan mungkin akan mati." Raya terisak kembali, jika selama ini dia ingin mati, namun sekarang dia ingin hidup, entah untuk alasan apa.

"Sudahlah, " jawab Fajar, Raya menatap pria tinggi itu, wajah dingin misterius di tempa sinar bulan, rambut basah berantakan dan beberapa lumpur mengotori kulitnya, namun tidak mengurangi kadar ketampanannya.

Tampan? kenapa baru kali ini Raya menyadari ketampanan laki-laki itu setelah beberapa tahun saling mengenal.

"Terimakasih," lirih Raya.

"Sudah menjadi kewajibanku."

"Kenapa?" pancing Raya.

"Maksudmu?" Fajar memandang lekat wajah Raya.

"Kenapa kau lebih memilih menyelamatkan ku lebih dulu?"

"Ada dua nyawa padamu, nyawamu dan nyawa bayi mu," jawabnya tenang, namun sukses membuat Raya terdiam, dia tak pernah berfikir sejauh itu.

"Kenapa kau menjadi peduli? kita tidak sedekat itu untuk saling berempati."

Fajar memandang lelah Raya.

"Hentikan fikiranmu yang menganggap aku ini adalah orang yang jahat, Raya. Kita hanya belum saling mengenal, jawab Fajar.

"Kau memberi waktu padaku untuk lebih mengenalmu?" tanya Raya, sejenak dia menyesali pertanyaannya.

"Tak ada gunanya, Raya. Kita berada di jalan berbeda," tegas Fajar.

Raya terdiam, dia tak ingin mendengarkan apa-apa lagi saat ini. Fajar benar, mereka berada di jalan yang berbeda. Raya mendekatkan dirinya kepada Fajar, menelusup masuk kedalam pelukan laki-laki itu. Tubuh Fajar menegang.

Raya berbisik lirih. "Biarkan seperti ini!" Raya merapatkan diriya semakin dalam. Fajar tak menolak, dia hanya terdiam dengan pandangan lurus, kenapa Raya berubah secepat ini? dia tidak siap dengan perubahan Raya, dia tak ingin mereka menjadi akur.

Fajar memejamkan matanya, di atas atap, di bawah sinar bulan, Raya seolah menyerahkan hidupnya padanya. Wanita ini, bukan siapa -siapa baginya, bukan kekasihnya, bukan istri sebenarnya, bukan sahabatnya, dia tak ingin punya ikatan apapun dengan Raya, karena dia adalah anak pria itu, pria yang telah menghancurkan hidupnya.

"Fajar," panggil Raya mendayu, dia menengadahkan wajahnya, mata sayunya mengarah ke wajah Fajar. Dia seperti menunggu, menunggu sesuatu yang mungkin takkan didapatkannya, namun dia bersorak gembira, ketika Fajar mendekatkan wajahnya dan melakukannya dengan Ragu.

*****

Sudah tamat di karya karsa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top