7. Kehidupan Saat Ini

Jika biasanya Tejo menjemur baju di teras samping kos—di bawah pohon mangga, tapi karena saat ini sudah ada Risya, maka ia merubah tempat penjemuran pakaian.

Pagi tadi, ia menemukan besi panjang kecil dari samping kosnya. Menyelip antara rumput-rumput yang sudah mulai tumbuh memanjang. Ini hari Minggu, Ghani sudah pasti ada di kos. Dirinya akan meminta bantuan pada anak itu.

Menggedor pintu kos-an Ghani, Tejo berkacak pinggang. "Ghan, bangun! Bantuin gue!" serunya. Dalam hati ia berdo'a agar Risya tidak mendengar suaranya. Jika iya, maka ia akan terkena delikan tajam.

Pintu dibuka oleh Ghani yang menggosok rambut dengan handuk. Lelaki berusia 17 tahun itu menelisik Tejo. "Apa sih, Mas? Gak nyantai banget," gerutunya.

"Bantuin gue bikin jemuran."

"Caranya?"

"Udah, ikut aja!"

Menyeret lengan Ghani, lelaki itu tidak banyak berkata. Namun, langkahnya berhenti di teras kos. "Eh, Ghan, lo punya tali sepatu yang nggak kepakai?"

Ghani berpikir sejenak. "Emm ... Ada, kayaknya. Tapi, warna hitam."

Lagi, Ghani kini terdorong oleh lengab kekar Tejo. "Ambil, Ghan. Harus sepasang, ya! Gue ambil tangga dulu," ujarnya. Lalu melangkah mengambil tangga besi yang ada di belakang rumah Pak Rus—pemilik kos-an.

Di tempatnya Ghani mengelus dadanya, mencoba bersabar. "Udah punya istri, masih aja gak waras." Lalu ia bergegas memasuki kamar, mengambil sepasang tali sepatu.

Setelah mengambil tangga, Tejo meletakan tangga yang berangkap dua itu dengan posisi yang tepat. Jangan tanya kenapa ia repot-repot membuat jemuran gantung dari besi seperti ini, yang jelas bereksperimen lebih seru.

Kan, sudah dibilang. Kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah?

Ghani datang dengan sepasang tali sepatu. Ia menekuk alis saat melihat Tejo berdiri di samping tangga dengan sebelah tangan memegang besi kecil yang panjangnya 1,5 meter.

"Nih, Mas, talinya."

Tejo menepuk punggung Ghani. Kemudian memberi perintah, "Pegang dulu, Ghan, terus lo pegangin tangganya." Ia menaruh besi itu agar menyandar di tangga.

Ghani menurut saja. Ia percaya kalau Allah pasti membalas semua kebaikan dan kesabarannya. Maka, bertambahlah pahalanya. Biasa, untuk tabungan di akhirat nanti.

Perlahan Tejo menaiki tangga. Karena kos memakai baja ringan, dengan mudah Tejo meraih tali sepatu, kemudian memasukanya ke antara baja ringan itu. Mengikat ujung tali sepatunya. Bergegas turun dan menggeser tangga ke arah samping dengan jarak cukup jauh.

"Terus besinya ditaruh di ikatan tali itu, Mas?"

"Iya."

Setelah mengikat tali sepatunya, Tejo menggeser kembali tangga itu. Kini posisinya berada di tengah-tengah. "Ghan, besinya."

Ghani menyodorkan besi itu. Dengan mudah Tejo memasukannya di ikatan tali sepatu yang menyatu itu. Setelah selesai, ia turun.

Ghani memandang dengan baik jemuran yang sudah jadi itu. Lantas berdecak, "Ck, ada aja tingkahnya."

Tejo tertawa dan membawa tangga ke tempat semula. Sedangkan Ghani melipir masuk ke kos-an lagi.

Risya keluar kos dengan membawa keranjang cucian. Ia menaruh keranjang itu di teras. Menatap seluet yang baru. Jemuran? "Sejak kapan ada jemuran? Terus, ini ... Tali sepatu?"

Tejo kembali dan mendapati Risya yang tengah memandangi hasil karyanya. Ia tersenyum bangga. Menghampiri gadis itu yang belum sadar akan kehadirannya. Tiba di samping Risya, ia menepuk dadanya bangga.

"Gimana, Sya? Jemurannya aku yang bikin, lho."

Risya menoleh. "Oohh, jadi Mas yang bikin?"

"Supaya kamu nggak harus rebutan tempat jemuran sama anak kos yang lain. Apalagi kalau hari libur. Tuh, jam segini aja jemuran kayak toko pakaian, penuh." Sambil menunjuk jemuran yang ada di bawah pohon, tangan lelaki itu mengusap kening Risya yang terdapat keringat.

Risya sedikit—catat, sedikit—tertegun merasakan sentuhan itu. Matanya menjelajah ke sekitar, takut ada yang melihat apa yang Tejo lakukan padanya. Meski hanya mengusap, tapi jika dilihat orang lain tidak akan enak. Malu? Mungkin.

"Mas, mandi."

Senyum Tejo luntur. "Males, Sya," ujarnya.

Namun, saat Risya membalas ucapannya, yang lelaki itu lakukan adalah bergegas memasuki kamar untuk mandi.

"Mandi aja males, gimana mau bahagia-in aku?"

Lelaki itu, kalah telak!

Risya terkikik geli di tempatnya sambil menggelengkan kepala. Dirinya tidak sadar jika ucapannya barusan ada suatu harapan terselip di sana.

...

Malam harinya, tidak disangka oleh Risya, anaknya ibu kos mengetuk pintu kos. Beruntungnya Tejo sedang di kamar mandi—berwudhu. Dirinya lah yang membuka pintu itu. Awalnya terkejut, hanya saja saat gadis yang seumuran dengannya itu menyebut namanya, senyum ramah yang ia tunjukan perlahan luntur.

"Syabil, Kak."

"Gak usah panggil Kak, aku dan kamu seumuran." Nadanya terdengar sedikit tidak suka(?) Ah, entahlah, Risya memang agak aneh.

"Aku bawa brownis, ibu yang buat tadi, terus dibagi-bagi ke anak kos."

Risya merima piring beling itu. Menatap brownis cokelat sebentar, lalu menatap Syabil kembali. "Sampaikan ke ibu, makasih brownisnya."

Syabil mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Makasih juga oleh-oleh dari Tegal yang kemarin Mas Jo kasih," ujarnya.

Tunggu dulu, apa tadi? Mas?

Risya menahan diri untuk tidak kesal. Lagipula, panggilan Mas kan memang sudah biasa nemplok di diri Tejo. Lantas kenapa dirinya jadi kesal saat mendengar perempuan lain menyebut nama lelaki itu dengan embel-embel Mas?

Kemudian, saat Syabil pamit, Risya segera menutup pintu, bertepatan dengan Tejo keluar dari kamar mandi. Tetesan air wudhu yang jatuh dari rambut dan wajahnya membuat Risya terpaku beberapa saat. Sebelum akhirnya berdehem dan menaruh piring itu di atas tikar.

"Siapa, Sya?"

"Syabil." Hanya dijawab nama saja.

"Ngantar apa?"

"Brownis."

"Dari?"

"Ibu kos."

"Oohh, udah itu aja?"

"Ya, terus apalagi?"

Memakai sarung, Tejo kebingungan melihat respon gadis itu. Tidak biasanya Risya seperti ini. Menggelar sajadah dan memakai peci, ia berdiri menghadap kiblat. Tapi, kemudian menoleh ke belakang sejenak.

"Makan brownisnya, biar gak cemberut terus."

Sebelum membalas, Tejo sudah memulai sholatnya. Membiarkan Risya dengan moodnya yang—sepertinya—sedang turun. Maklum, gadis remaja itu baru mendapat jatah bulanan tadi sore.

Risya mengambil satu potong brownis. Masih hangat. Kemudian menggigitnya. "Enak," ucapnya. Seketika wajah Syabil terlintas. "Untung yang buat ibunya," lanjutnya bergumam kecil.

Menghabiskan dua potong, ia menyandarkan tubuhnya di tembok. Menunduk menatap jemari tangannya yang ada di antara kedua kakinya. Ia memainkan jemari tangannya sendiri. Menunggu lelaki itu selesai beribadah.

Ketika kakinya disentuh dengan telapak tangan yang dingin, ia mengerjap. Sepasang mata menatapnya dalam. "Kamu kenapa?" tanya lelaki itu.

Risya menekuk kedua kakinya saat Tejo beringsut duduk mendekat. "Gak papa," jawabnya.

"Perutnya sakit?"

Risya tidak menjawab.

Masih dengan peci dan sarung yang melekat, Tejo mencomot satu potong brownis, memakannya dengan dua kali gigit saja. Kemudian meraih jemari tangan Risya yang sangat kecil dalam genggamannya.

"Sakit apa nggak?"

Dijawab gelengan singkat.

"Sya ...."

Kepala itu mendongak. Masih bungkam dengan tatapan teduhnya.

"Boleh peluk?"

Lelaki itu tidak butuh persetujuan, karena ia mempunyai hak untuk memeluk atau mendapatkan pelukan. Direngkuhnya tubuh itu dalam dekapannya. Melingkarkan kedua tangan di belakang punggungnya. Mendekap hangat apa yang ingin ia dekap sejak dua minggu terakhir.

Tanpa lelaki itu sadari, Risya membeku dengan rasa takut kehilangan yang kian semakin nyata. Meraba dada, jantungnya ... Berdetum dengan keras. Berharap lelaki yang memeluknya ini tidak mendengar suara detak jantungnya yang menggila.

Namun, harapannya pupus saat lelaki itu mengeratkan pelukannya dan menyerukan wajah di lehernya bergumam kecil, "Jantungnya disko, Sya. Sama kayak jantungku."

Risya mati kutu saat itu juga.

...

Masih flat, sabar ya^^

Vote dan komen jangan lupa. Dan JANGAN LUPA NABUNG BUAT PO NOVEL AKRESHA YUKKKKKKKK

Follow akun instagram @Regupublisher dan @Enungg20 buat info lanjutnya. Jadi di wattpad aku lagi jarang update hihihi, ini aja update karena ada yang iingetin

Indramayu, 15 juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top