3. Before Married 2 (Flashback)
Seorang gadis masih terisak pilu di samping gundukan tanah merah yang masih segar. Di atasnya ada banyak kelopak bunga bertaburan. Serta nisan yang bertuliskan sederet nama ibunya. Ia tergugu pilu meratapi hidupnya saat ini.
Kenapa harus sekarang ibunya pergi?
"Bu, bangun. Risya gak mau ditinggalin sama Ibu. Udah cukup ayah yang ninggalin Risya, Ibu jangan. Bu, ayo bangun. Risya sama siapa di sini?"
Dengan tersenggal-senggal ia terus meracau. Meremas gumpalan tanah yang ada digenggamannya. Keningnya bersandar pada nisan sang ibu.
"Dunia itu kejam, Bu, Risya gak akan bisa menghadapi ini sendirian tanpa Ibu. Meski ada Allah, tapi Risya mau ditemani Ibu."
Risya merasa kalau tidak ada gunanya lagi ia hidup. Percuma juga, ayah dan ibunya sudah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Lantas untuk apa dan siapa ia bertahan?
"Udah, ya, nanti ibumu sedih lihat kamu menangis terus. Aku antar pulang, ya?"
Risya melupakan kehadiran seorang laki-laki yang belum juga pergi dari pemakaman. Menemaninya dalam diam. Ia kemudian menjauhkan diri dari nisan sang ibu. Menatap lelaki itu yang duduk di sisi makam ibunya.
"Aku tahu, ini bukan hal yang mudah untuk dijalani, nggak mudah diikhlaskan. Tapi, kasihan ibu kamu. Di dunia dia udah merasakan sakit, di akhirat sana jangan sampai dia merasakan sakit lagi."
"Sekarang kamu pulang, aku antar. Nanti aku akan menjelaskan sesuatu sama kamu."
Memberi usapan dan satu kecupan pada nisan sang ibu, Risya beranjak meninggalkan pemakaman. Diikuti lelaki itu dari belakang.
><
"Udah tenang?"
Kepala gadis itu terangguk dua kali. Menunduk dalam. Menatap jemari tangannya yang memilin ujung kerudung. Dalam hati ia masih menerka siapa sosok lelaki yang duduk di seberangnya ini.
Setelah sampai di rumah, ia membersihkan diri. Lalu kembali menemui lelaki itu yang duduk di depan teras rumah. Dan mereka duduk berdampingan dengan disekat oleh meja.
"Mau aku beliin makanan?"
Risya menggeleng.
"Nanti malam mau ada tahlilan?"
Kembali menggeleng.
"Kenapa?"
Gadis itu malah bungkam.
Tejo mengembuskan napasnya dengan berat melihat respons gadis itu. Ia jadi berpikir kalau dirinya akan sedikit kesulitan meluluhkan gadis itu untuk perjanjian yang harus ia jalankan. "Aku dan ibumu udah buat sebuah perjanjian," ucapnya.
Berhasil. Gadis itu menoleh. Memberikan tatapan sendunya. Namun masih bungkam. Enggan bersuara.
"Aku akan menikahi kamu, Sya."
Tejo sudah tahu siapa nama gadis itu. Risya, namanya. Namun, gadis itu belum mengetahui siapa namanya.
Tepat setelahnya, Risya kembali menangis. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Terisak pelan. "Ke-kenapa?"
"Kamu nggak mau sendirian di dunia ini, kan?" tanya Tejo. Menatap penuh ketidak tegaan melihat gadis itu menangis.
Kepala gadis itu menggeleng.
"Aku akan temani kamu. Kamu nggak akan pernah sendirian."
"A-aku nggak mau menikah."
"Tapi, kamu juga nggak mau sendirian kan, Sya?"
"Ta-tapi gak mungkin aku menikah sama kamu, yang bahkan nggak aku kenal sama sekali."
"Ya, makanya kenalan."
Risya menjauhkan tangannya. Menatap Tejo yang kini terkekeh melihatnya. Apa? Terkekeh? Yang benar saja! Memangnya orang yang habis menangis pantas ditertawakan apa?
Tejo menyodorkan sapu tangan miliknya. "Kamu tambah jelek kalau nangis bombai. Hapus dulu." Dan diterima oleh gadis itu. Senyum Tejo merekah.
"Mau ta'arufan dulu sama aku?" tanya lelaki itu, lagi. Masih tidak menyerah.
Risya menoleh. "Aku bilang aku nggak mau menikah," katanya.
"Tapi, aku harus nikahin kamu, Sya."
"Kalau emang kamu mau menikah, silakan. Tapi, bukan dengan aku."
Tejo menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia masih menatap gadis itu yang kini menatap ke arah depan sana. "Ibumu minta sama aku buat menikahi kamu kalau beliau udah nggak ada. Aku nggak tahu gimana wujud dan rupa anak ibu, tapi aku menerima itu. Perjanjian itu dibuat dengan kesadaran penuh. Eh, tahunya anak ibu itu kamu. Aku pernah lihat kamu nangis waktu itu di depan resepsionis," jelasnya.
"Aku masih kecil, nggak pantas menikah sekarang," elak Risya.
"Gitu, ya?"
Mereka diam. Banyak topik pembicaraan, namun sepertinya kosa kata yang mereka punya telah lenyap entah ke mana. Pada akhirnya, Tejo dengan mantap kembali bersuara.
"Sya, ayo menikah."
Risya balik menatapnya dengan perasaan geram. "Maksa banget, sih!" Yang tidak disadarinya kalau air matanya itu sudah kering.
Tejo hanya menampilkan senyum terbaiknya.
Tunggu dulu, jadi ini dirinya sedang melamar gadis berumur 18 tahun?
Keren, pujinya dalam hati.
><
Di rumahnya, ada Mas Faiz beserta istri dan anak. Ada Mbak Bunga beserta suami dan anaknya juga. Kediaman bapak ramai. Menunggu kehadiran dua sosok orang yang akan datang.
"Assalamu'alaikum," ucap Tejo memasuki rumahnya diikuti Risya dari belakang yang menundukan kepala.
Semua orang yang ada di ruang tamu membulatkan matanya tidak percaya. Jadi, Tejo benar ingin mengenalkan calon istrinya kepada mereka semua?
Ya, sebelumnya Tejo memang sudah bilang kalau akan mengenalkan calon istri kepada keluarganya. Hal itu membuat ibu terkejut. Bahkan Mas Faiz dan Mbak Bunga tidak percaya adiknya memiliki calon istri.
Tapi, sekarang? Wah, hebat!
Ibu berdiri lalu diikuti yang lain. Ibu berjalan menghampiri Tejo dan Risya. Menatap Tejo penuh selidik. "Mas, kok bisa?"
Dan hanya dijawab, "Namanya juga jodoh, Buk."
Ibu berdiri di samping Risya yang kini mendongakkan kepalanya. Menatap ibu dengan diam. Ibu kemudian tersenyum kepada Risya.
"Oalah, cah ayu. Namanya siapa, Dek?" (Anak cantik)
"Ri-risya, Bu." Gadis itu menjawab sopan.
"Alus lho iki suarane. Mas, kok bisa mau sama kamu?" Ibu menatap Tejo. (Halus lho ini suaranya)
"Buk!"
Ibu terkikik geli. Merangkul Risya dan menuntunnya untuk duduk di sofa. Ia mendudukan Risya di samping dirinya. Gadis itu masih menunduk malu.
"Jo, kok bisa, sih?" Pertanyaan itu dari Mas Faiz.
Tejo duduk di samping bapak yang asyik menatapnya penuh menuntut penjelasan. "Ya, bisalah, Mas. Wong Mas Faiz aja bisa nikah sama Mbak Fia kok," sahutnya.
"Jadi, adek ini beneran calon istrinya Mas Jo?"
Risya mengangguk. "Iya, Buk."
Ibu tersenyum sumringah. Memeluk Risya. "Kok bisa sih mau nikah sama Mas Jo?" Ia melepaskan pelukannya.
Risya melirik Tejo yang memperhatikannya. Tidak hanya Tejo, semua yang ada di sana kini menatapnya. Kemudian ia menggeleng pelan. "Nggak tahu," jawabnya.
Tejo mendesah kecil. Jawaban dari Risya tidak membuatnya terkejut sama sekali. Ia sudah mengira kalau Risya akan menjawab jujur dengan apa yang ditanyakan padanya.
"Lho? Mas, ini kok nggak tahu? Kamu becanda, ya?"
"Bu, aku gak becanda. Risya beneran calon istriku lho."
Ibu kembali menatap Risya. "Adek yakin mau nikah sama Mas Jo? Mas Jo belum punya pekerjaan, baru aja kemarin lulus kuliah. Adek umur berapa emangnya?"
Risya menatap ibu. "Risya, umur delapan belas, Bu. Baru lulus SMA juga."
"Mas, jadi selama ini kamu punya pacar, tapi nggak pernah dikenalin ke bapak sama ibu? Terus setelah udah lulus langsung menikah, gitu?" todong ibunya.
Tejo memijat pelipisnya yang berdenyut. Kerumitan, aku datang, katanya dalam hati.
><
Para laki-laki sedang di teras samping rumah. Sedang melihat burung milik bapak yang kicauannya tidak berhenti-henti. Sedangkan para perempuan berada di ruang tengah yang lebih santai. Ada televisi juga.
Rumah bapak hanya berlantai satu, tapi luas dan besar. Memiliki empat kamar. Dan masing-masing kamar ada kamar mandi sendiri.
"Udah lama kenal sama Jojo?" Mbak Bunga bertanya pada Risya yang sedang bermain dengan anaknya dan anak dari Mas Faiz.
Ibu dan istri Mas Faiz sedang di dapur. Sedang membuat minum dan bubur bayi. Ini sudah siang dan sudah waktunya untuk anak-anak mereka makan.
Risya mendongak. Lantas menggeleng kecil. "Baru ... Emm, dua hari," jawabnya.
"Apa?!"
Risya mengerjapkan matanya beberapa kali. Apa dirinya salah berbicara? Kan dirinya hanya menjawab dengan kenyataan yang ada? Jadi, tidak salah, kan?
"Terus, kenapa kamu langsung diajak nikah? Maksud mbak ... Aduh, gimana, sih! Kok bisa?"
Mbak Bunga nampak heboh. Ia tidak paham dengan jalur yang dipakai adiknya untuk dapat menikahi seorang gadis yang ada di dekatnya ini. Kenapa adiknya mudah sekali mendapatkan seorang gadis dalam waktu dua hari? Yang benar saja!
"Ceritanya agak rumit, Mbak. Barang kali nanti Mas Jo cerita sama ibu, mbak tanya aja sama ibu, ya? Maaf, Risya belum cerita sendiri ke mbak langsung."
Lantas Mbak Bunga menepuk pundak Risya. "Oohh, nggak papa kok."
Mbak Bunga kian semakin menimbun pertanyaan dalam pikirannya. Dan Risya, berusaha menerima keputusan yang harus ia jalani mulai dari sekarang.
Risya tahu Mas Jo tidak akan main-main. Ia akan percaya kepada lelaki itu. Dan jika kelak nanti Mas Jo mematahkan kepercayaannya, ia akan berusaha untuk memaafkan lelaki itu.
Karena dirinya, tidak memiliki siapapun di dunia ini selain Mas Jo yang berbaik hati kepadanya.
...
Hmm, gimana?
Aku mau ngilang setelah ini, hibernasi
Indramayu, 6 juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top