19. Tak-Tik Para Bucin (Laki-laki)
Maaf, keasikan whatsapp sama temen malah lupa mau update padahal udah ngetik, huaaaa
Sebelum baca part ini, aku mau tanya.
Setuju gak kalau nama Tejo aku ubah jadi nama asli dia? Johan, jadi biar dibacanya lebih enak?
Aku kok makin ke sini makin gak klop sama nama panggilan dia :"(
Happy reading!
Sudah satu bulan berlalu, mereka semakin hangat. Perlahan kebiasaan-kebiasaan baru mulai mereka jalani. Syukurnya mereka bisa menjalankan kebiasaan baru itu. Seperti; Risya yang setiap hari harus masak pagi dan malam, Tejo yang setiap hari kerja--kecuali akhir pekan--dan pulang saat maghrib. Juga, kebiasaan yang lainnya.
Risya jadi punya teman sekarang, Ziya. Istri dari salah satu teman Tejo itu merangkap menjadi seorang kakak untuknya. Jika kepribadiannya yang agak kaku saat bertemu orang baru, maka tidak dengan Ziya.
Beberapa kali Ziya bermain ke kontrakan, atau Risya yang bermain ke rumah Ziya. Jelas, jika Ziya sedang senggang dengan kuliahnya. Saat bertemu juga, Ziya kerap menjelaskan bagaimana dunia bangku perkuliahan. Mewanti pada Risya jika perempuan itu akan kuliah tahun depan.
Saat itu juga, Risya hanya mengangguk. Menanggapi secukupnya, lantas berterima kasih. Lalu, ia harus bagaimana lagi selain seperti itu?
Seminggu yang lalu, Tejo juga memberikan beberapa nama kampus yang ia rekomendasikan pada Risya--termasuk kampusnya dulu. Rencana-rencana masa depan untuk Risya seakan disusun dengan apik oleh lelaki itu. Iya, untuk masa depan Risya.
Menata masa depan untuk perempuan itu adalah hal yang wajib untuk ia lakukan. Sejak kata 'SAH' terdengar tegas, ia berjanji untuk membahagiakan perempuan itu. Memberikan apa yang seharusnya perempuan itu dapat.
Jika kata Alm. Ibunya Risya, Risya bisa diajak bahagia meski dengan cara yang sederhana, maka Tejo tidak akan melakukan itu sepenuhnya. Ia ingin membahagiakan Risya dengan cara yang luar biasa. Tidak salah, kan?
Sebagai laki-laki, egonya akan tersentil jika ia tidak bisa membahagiakan Risya, atau tidak memenuhi kebutuhannya. Walau sekarang masih berkecukupan, ia yakin, ke depannya nanti akan selalu ada rezeki yang berlimpah. Aamiin.
Pun dengan Risya, karena Tejo sudah memberikan apa yang membuatnya bahagia, ia juga melakukan hal yang sama. Yaitu, dengan cara melayani suaminya sebagai mana mestinya.
"Mas, handuknya taruh di gantungan kayak tadi Mas ambil!" seru Risya dari dapur. Ia sedang memasak nasi goreng untuk pagi ini. Meski ini hari sabtu, jika tidak malas gerak ia akan memasak.
"Iya, Sayang." Yang menyahut antara melakukan akan melanggar.
"Kemarin ngomong iya juga, tapi dilanggar, nggak dilakuin."
Enyah saja kau, Johan!
Tejo yang baru keluar kamar mandi itu, menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu kamar mandi. Karena dapur dan kamar mandi dekat, ia bisa leluasa menikmati pemandangan ketika Risya sedang memasak. Memakai daster, rambutnya dijepit dengan beberapa anak rambut yang menjuntai. Ya ampun, menikah muda tidak seburuk yang ia bayangkan juga, ya. Hahaha ....
"Aku lepas, nih, handuknya? Belum pakai baju, lho, kalau kamu mau lihat, sih, nggak papa." Menggoda Risya memang seru. Apalagi jika wajahnya sudah memerah, lalu mendumel.
Tanpa menoleh, Risya memukul penggorengan dengan keras. "Lanjutkan, Mas, lan-jut-kan!" tekannya.
Oke, Tejo langsung pergi ke kamar untuk memakai baju. Meninggalkan Risya begitu saja.
...
"Sambalnya pedas banget!" ungkap Tejo sambil mengibaskan tangan di depan mulut.
Risya menatapnya heran. "Enggak, kok, gak pedes sama sekali," jawabnya santai. Langsung mendapat delikkan dari lelaki di hadapannya itu.
"Pedes, Dek!" seru lelaki itu dengan tegas. Risya langsung terkejut. Tangannya menggantung di udara sambil memegang sendok.
Perempuan itu menatap sambal yang ada di piring kecil. "Kalau pedas gak usah dimakan," lirihnya. Lantas, menyuapkan nasi ke dalam mulut dan menunduk. Nafsu makannya mulai menghilang.
Tidak disangka oleh Tejo, Risya malah beranjak sambil membawa piring, padahal nasinya masih banyak. Meletakan di westafel, lalu mengambil gelas yang berisi air putih dan segera memasuki kamar. Perasaan perempuan itu sedang sensitif.
"Salah, ya?" gumam Tejo. Ia lalu menatap piring makannya, nasinya masih seperempat lagi, ia harus menghabiskannya. "Habiskan dulu, baru ngejar Risya. Nanti, kalau gak dihabiskan, Risya sedih," ujarnya.
Ia juga keheranan kenapa Risya sensitif, biasanya tidak seperti ini. Ia melihat kalender yang menggantung di dinding, pertengahan bulan. "Hooo ... Pantesan sentimen," katanya. Berpikir kalau Risya sedang mendapatkan tamu bulanan.
Selesai makan, Tejo menyusul Risya ke kamar sambil membawa piring berisi nasi dan lauk karena tadi perempuan itu hanya makan sedikit. Ketika memasuki kamar, ia bisa melihat Risya duduk di bawah tempat tidur beralaskan karpet. Tubuhnya perempuan itu sandarkan di tempat tidur. Menekuk kedua kaki ke atas.
Saat Tejo duduk di sampingnya, lelaki itu mengusap kepalanya sejenak. "Makan lagi, ya, tadi baru sedikit lho," ucapnya.
Tanpa menoleh, dijawab dengan gelengan kepala saja.
Meletakan piring di atas karpet, Tejo meletakan dagu di atas lutut perempuan itu. Sebelah tangannya mengusap kepala Risya, sedangkan sebelahnya lagi menggenggam salah satu tangan perempuan itu. Hal itu membuat Risya menatapnya.
"Maaf," ucapnya dengan pelan.
Tidak membalas, tapi merubah topik. "Masih pedas?"
"Maafin dulu." Mencium punggung tangannya. Merubah posisi menjadi pipi yang ia taruh di atas lutut.
Mengalihkan tatapan, bergumam, "Hhmm."
Kini mengendus lutut yang terbalut daster rumah. "Eggak dimaafin," paparnya dengan sedih.
"Gak ada yang marah juga."
"Tapi, kecewa."
"Bukan."
"Pasti sedih karena usahanya nggak dihargai sama aku. Maaf, ya."
"Gak sedih."
"Masih pedas, butuh obat penawar pedas." Mulai menggoda. Wajahnya membelakangi Risya. Perempuan itu hanya dapat melihat belakang kepalanya saja. Mode pura-pura merajuk.
Terdiam beberapa saat, Risya mengangkat sebelah tangan untuk mengusap rambut lelaki itu. "Apa obatnya?"
Senyumnya tercetak. Karena posisinya membelakangi wajah Risya, otomatis perempuan itu tidak akan melihat senyumnya. Menormalkan raut wajahnya agar tidak tersenyum--digantikan dengan tampang sedih, ia membalikkan wajah ke arah seperti semula--menghadap Risya.
Segera ia menarik kepala perempuan itu mendekat. Beberapa detik, lalu menjauhkannya kembali. Ia tersenyum lebar. "Obatnya itu, udah nggak pedas lagi, deh," tuturnya, lalu terkekeh kecil.
Risya tersenyum malu. Memukul kecil lengan lelaki itu.
Memeluk Risya, Tejo mendusel nyaman di sana. "Jangan marah, ya. Mas minta maaf sama adek," ucapnya tulus. Ketika mendapatkan balasan peluk dari Risya, ia tersenyum. Semakin mengeratkan pelukannya.
"Iya." Singkat, namun melegakan.
"Makan, ya?" Belum merubah posisi.
"Ada gitu orang makan, tapi posisinya pelukan?"
Barulah melepas pelukan sambil menyengir lebar. "Istri mas emang yang paling sholehah, pinter masak, rajin, dewasa, penurut. Paket komplit, limited edition!" pujinya.
Yang dipuji semakin malu dengan jantung yang berdebar gila.
...
Yg kemarin minta update, nih udah lunas ya❤
Maaf baru sempat up, soalnya kemarin agak sibuk👐
Masih ditunggu vote dan komen ssegudangnya
Part ini pendek, dan part besok udah mulai masuk konflik
Part ini baper gak sih???????
Follow ig Nung, yuk!!! @enungg20
Indramayu, 20 agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top