18. ILY To the Bone
Risya sama sekali tidak menyangka jika ... apa yang ia rasakan dalam hatinya, dirasakan juga oleh suaminya sendiri.
Risya tahu, masa depannya masih panjang. Ada sebuah impian dan cita-cita yang ingin sekali ia capai. Tapi, apakah sekarang bisa? Apakah dirinya mampu?
Sekarang, bukan hanya tentang dirinya saja. Tapi, tentang rumah tangganya, suaminya. Mampukah dirinya melewati beberapa tanggungjawab yang harus ia jalani? Sepertinya ... Tidak. Dan karena itu, ia memendam segala impian dan cita-citanya.
Apa itu salah? Tidak. Bagi Risya, memendam impian dan cita-citanya bukanlah sebuah kesalahan, karena itu demi kebaikan. Bukannya seperti itu?
Ia tahu, Mas Jo pasti akan membuatnya bahagia. Melakukan apapun yang bisa membuatnya merasa nyaman dan tenang. Berjuang untuknya agar ia merasa hidup dengan baik dengan lelaki itu. Tapi, dengan begitu, ia kembali merasa tidak enak.
Kenapa, sih, dirinya tidak bisa mengenyahkan perasaan itu? Padahal sudah jelas, Mas Jo tidak pernah mempermasalahkan tentang kewajiban yang harus di laksanakan lelaki itu. Dan tidak pernah tidak memberikan hak Risya yang harus lelaki berikan.
Risya berpikir, ia hanya harus menjadi seorang perempuan biasa yang merangkap menjadi istri sempurna di mata Mas Jo. Melayani dan memperlakukan lelaki itu dengan rasa cinta yang ia miliki. Hanya pada perasaannya ia bisa percaya kalau semuanya akan baik-baik saja.
Ketika Mas Jo menyentuhnya untuk yang pertama kali, bisikan kata cinta terucap lirih, penuh dengan perasaan yang mendalam, Risya jatuh pada hati lelaki itu.
Mas Jo ... Memperlakukannya dengan baik. Dengan penuh kasih sayang.
Namun, ia lupa.
Ia jatuh, bukan bangun.
Karena jatuh itu sakit, sedangkan bangun itu menjauhi rasa sakit.
...
Hari ini Tejo mengajak Risya jalan-jalan. Jalan-jalan kali ini, benar-benar jalan-jalan. Jadi, seperti ini. Tejo mengajak Risya main ke luar rumah menggunakan angkutan umum. Dari mulai busway, angkot, hingga KRL.
Mereka berangkat pagi sekali. Pasutri itu kompak sekali, setuju dengan tujuan yang akan mereka singgahi nanti, meski jauh. Mereka menyusuri jalanan kontrakan yang sempit. Menunggu angkutan kota di trotoar jalan. Beruntungnya cuaca tidak terlalu panas.
Setelah menaiki angkot, mereka berhenti di stasiun. Genggaman tangan tidak pernah terlepas sama sekali saat mereka berada di lingkungan umum itu. Hingga mereka duduk bangku sambil menunggu kereta yang akan dinaiki datang, barulah genggaman itu terlepas.
"Kenapa ngotot naik angkot, kereta, sama busway?" tanya Risya. Di sampingnya, Tejo membuka bungkus roti yang lelaki itu bawa di saku jaketnya. Risya tidak tahu-menahu soal roti yang ada di saku jaket lelaki itu. "Kok ada roti?"
Memakan roti itu dengan santai, Tejo menyodorkannya pada Risya. Risya menatap roti yang bagian ujungnya terdapat bekas gigitan itu, akhirnya menggigitnya juga. Rotinya selai blueberry. Enak ternyata.
"Ada, dong, buktinya kamu sama aku lagi makan roti ini," balas Tejo. Menggigit roti itu, lagi. "Dan, biar perjalanan kita lebih terasa istimewanya, Dek."
Risya menekuk alis. Saat roti itu disodorkan lagi ke mulutnya, ia memakan lagi. Rezeki, mubadzir kalau dibuang. Apalagi yang memberikannya orang yang dicintai. Pokoknya jangan dibuang! Kelewat sayang!
"Istimewanya apa?"
Mengusap sudut bibir Risya yang terdapat selai roti tertinggal, lelaki itu menebar senyum tipis. Lantas, berkata, "Kalau mau tahu jawabannya, kamu harus nikmati perjalanan kita hari ini. Siap?"
Mengalihkan tatapan karena gugup, kepala Risya mengangguk pelan.
Selai blueberry semakin bertambah manis dalam mulutnya.
...
Tujuan pertama adalah Kota Tua. Semalam, Tejo memang menginterogasi Risya. Bertanya tempat apa yang belum atau yang ingin perempuan itu kunjungi. Dijawab jujurlah oleh Risya.
"Aku belum pernah ke Jakarta sama sekali, Mas, jadi ya semua tempat yang menarik di Jakarta aku belum kunjungi."
Terbahaklah Tejo mendengar jawaban istrinya sendiri. Gemas, lho, sumpah.
"Mau, tek--" Tejo mengangkat kedua tangannya di udara, seakan ingin menyakar.
Risya melotot. "Apa?!"
Lelaki itu langsung memegang kedua pipi perempuan itu. Menekannya. "Mau tek sayang-sayang! Huh! Gemessssss!"
Dan di sinilah mereka berada. Di Kota Tua. Kota Tua ramai, apalagi akhir pekan seperti ini. Risya menatap takjub tempat ini. Orang-orangnya. Bangunan museumnya. Dan banyak lagi.
Mereka berdiri di depan gedung Museum Fatahillah. Banyak orang berdiri untuk berfoto. Ada juga yang bermain sepeda dengan memakai topi bundar yang lebar di kepalanya. Ya Allah, indah sekali keramaian ini.
"Suka?"
Tanpa menoleh, dijawab, "Suka banget. Masya Allah, kenapa gak dari awal-awal ngajak aku ke sini, sih, Mas? Tahu gini, aku semangat dari awal!"
Terkekeh dan mengusap kepala perempuan itu, Tejo merasakan perasaan yang amat sangat melegakan dalam dadanya. Akhirnya ... Ia bisa membuat lengkungan sabit yang indahnya tidak bisa digantikan dengan apapun. Dan itu, dirinya sendiri yang menjadi alasannya.
Apa yang lebih membahagiakan selain bisa membuat orang yang kita sayangi bisa tersenyum dengan lebar dan kitalah di balik senyum itu tercipta?
Di sebelah kanan Taman Fatahilah, ada panggung cukup besar di sana. Alunan musik pengiring pagi ini mulai dimainkan. Jika sore atau malam hari, mungkin akan lebih seru.
"Kamu mau naik sepeda?"
Yang ditanya masih asyik memandangi sekitar. Dan yang bertanya keheranan karena pertanyaannya tidak dijawab.
"Dek?"
Masih diam.
"Risya-yang!"
Oke, menoleh. "Hah? Kenapa, Mas?"
"Kamu itu ngelihat apa, sih? Laki-laki ganteng, apa gimana? Diajak ngomong nggak nyahut!" dumelnya.
Padahal Risya bukan fokus sama orang ganteng. Perempuan itu mana bisa membedakan mana yang ganteng dan mana yang tidak.
"Ya, maaf, aku kan lagi menikmati pemandangan lho, Mas, pe-man-da-ngan!" tekan perempuan itu.
Tejo menggandeng tangan Risya untuk mengikuti langkahnya. "Kita masuk ke Museum Fatahillah, yuk!" ajaknya.
Akhirnya mereka menjelajahi isi Museum itu. Dari lantai 1, hingga lantai 2, mereka mengamati sekitar. Dari jendela lantai 2, Risya melihat dengan jelas Taman Fatahillah yang--konon katanya--dulunya adalah alun-alun.
Menjelang dzuhur, mereka baru keluar Museum Fatahillah. Masih ada beberapa Museum lagi yang akan mereka kunjungi. Kali ini, Tejo mangajak Risya untuk duduk di Taman Fatahillah terlebih dahulu.
"Mau di sini sampai sore, atau habis ini pindah ke tempat lain?"
Angin berembus menerpa kulit mereka berdua. Risya mengeluarkan tisu yang ia bawa dari rumah. Mengusap wajahnya yang berkeringat karena di dalam museum tadi panas. Ia memberikan tisu itu juga pada lelaki di sampingnya.
"Aku ikut Mas Jo aja." Yang berarti sama dengan 'terserah'.
Biasa, semua perempuan mah sama kalau soal hal seperti itu.
Tejo menoleh. Ia sudah selesai mengelap keringatnya. Kini ia menatap Risya. Menatap wajah perempuan dari samping. "Dek," panggilnya.
Risya menoleh. Sedetik kemudian, ia terpaku. Lelaki itu merapikan beberapa helai rambut yang keluar dari kerudung.
"Pada ke luar, nih, rapikan dulu. Kamu diem."
...
Sore hari, pukul 15.10 menit. Mereka menaiki sepeda berwarna hijau cerah. Risya memakai topi berwarna pink, sedangkan Tejo tidak. Dengan lelaki itu yang menyetir, Risya merentangkan kedua tangannya, menikmati rasa senang.
Pada sore hari, Kota Tua semakin ramai. Mereka akhirnya memutuskan untuk seharian di sana. Tejo memutuskan demikian karena ia sendiri bingung mau mengajak Risya ke mana.
Sore hari, bintang tamu yang mengisi panggung adalah penyanyi yang suaranya memiliki ciri khas. Risya tidak tahu itu siapa. Namun, saat bertanya pada suaminya, dijawab, "Itu Pamungkas. Aku suka lagu-lagunya. Apalagi yang One Only sama To The Bone."
Karena ramai, bersepeda pun tidak bisa kencang lajunya, atau tidak bisa bebas bergerak. Banyak orang berkeliaran, oleng sedikit langsung nabrak.
Menggerakan pedal sepeda dengan pelan sambil menikmati lagu Pamungkas, Tejo melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Karena sewa sepeda dibatasi, akhirnya waktu sewa habis.
"Kita duduk aja, ya, sambil dengerin Pamungkas nyanyi."
Setelah mengembalikan sepeda dan topi, mereka duduk di antara orang-orang yang menikmati suara Pamungkas. Tejo tidak melepaskan genggaman tangan mereka berdua. Malah menaruh di atas pahanya. Sesekali tangan kirinya yang bebas menepuk punggung tangan Risya yang ada dalam genggamannya.
Kebetulan lagu To The Bone sedang dinyanyikan. Senyum lebar lelaku itu tercipta jelas.
"Mas, suka sama penyanyinya?"
Dijawab dengan tidak terima, "Ya nggaklah! Dia laki-laki, masa aku suka!"
Iya, sih, benar. Tapi, kan, bukan itu maksudnya Johan!
"Aku suka lagu-lagunya, apalagi lagu yang dinyanyiin sekarang."
"Judulnya?"
"To The Bone."
Risya tidak tahu artinya. Ya sudah, diam saja.
I want you to the bone ... oh, oh, oh, oh, oh
I want you to the bone ... oh, oh, oh, oh, oh
Risya hanya menatap lelaki itu dari samping dalam diam. Menatap rahang, lalu naik ke atas sampai sudut matanya.
"Sya?"
Risya mengerjap. "Ya, Mas? Kenapa?"
"I love you, to the bone. More and more. I love you, now and forever."
...
Part 18, done!
SIAPA YANG BAPER? SIAPAAAAAAAA
YA AMPUN, INI AKU NGETIK APAAN COBAAAAAA
MON MAAP, NUNG KALO HALU SUKA KELEWAT INDAH
Indramayu, 11 agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top