˗'ˏ one ˎˊ˗

- morning -

haruka's pov •

SETIAP pagi, aku sengaja berendam lama-lama. Supaya, Makoto akan mendatangi kamar mandi, memanggilku. Entah kenapa, hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan.

"Berendam lagi?"

Walau samar oleh air yang memenuhi telingaku, aku tahu itu suara Makoto. Akupun muncul ke permukaan air bathtub, menggeleng-gelengkan kepalaku.

Sebuah tangan tersodor di depanku.

"Selamat pagi, Haru-chan," ucap Makoto dengan senyuman ramah yang selalu ditampakannya tersebut.

"Jangan memanggilku dengan sebutan '-chan'!" Aku menepis ucapannya dengan dingin, namun menerima uluran tangannya dengan senang hati.

Makoto tidak pernah menganggap ucapan dinginku itu, dia hanya akan membalas dengan senyum ramah. Begitu aku menerima uluran tangannya, dia menarikku hingga aku berdiri. Tetesan air mengalir di tubuhku, menetes ke atas permukaan air bathtub.

"Berendam dengan celana renang lagi? Astaga," Makoto menggeleng-geleng.

"Soalnya aku tahu kalau aku berendam lama-lama, kamu akan mencariku..." gumamku.

"Kamu bilang apa tadi, Haru?" tanya Makoto.

"Tak ada." Aku pun melangkah keluar dari bathtub dan mengambil handuk. Aku mengeringkan tubuhku yang basah setelah mandi.

"Kalau begitu, aku tunggu di ruang makan ya, Haru," ucap Makoto.

"Hm," balasku singkat.

• • •

PELAJARAN... sesuatu yang menyebalkan bagiku. Aku benci, benci, benci pelajaran. Tapi kalian jangan salah, nilaiku setidaknya lulus KKM. Tapi, ada satu hal dalam pelajaran yang aku sukai: Menatap wajah Makoto yang sedang serius.

Aku sengaja melipat tanganku di meja da membaringkan daguku diatas lenganku. Padahal, mataku melirik ke arah Makoto yang sedang serius mencerna penjelasan sensei di depan. Biasanya Makoto akan mengenakan kacamata saat di kelas, penglihatannya gak parah. Hanya saja, kami berdua duduk di barisan paling belakang, sehingga Makoto mengenakan kacamata supaya dapat melihat dengan jelas.

"Nanase-kun!"

Mendengar namaku dipanggil, akupun duduk dengan tegak.

"Tolong jawab soal nomor 2 di depan, sekarang!" ucap sensei.

Aku menggaruk tengkukku. Sialan, pemandangan indahku terganggu. Aku baru saja hendak berdiri, kala Makoto menyelipkan selembar kertas di atas buku-ku.

Ini jawabannya, aku tahu kamu tidak akan memerhatikan saat sensei sedang menjelaskan. Jadi sudah kukerjakan duluan.

Lalu dilanjutkan oleh penyelesaian soal yang ditulis oleh Makoto.

"Arigatou," bisikku kepada Makoto. Aku berdiri dan menyalin hasil perkerjaan Makoto.

"Ya, benar," ucap sensei. "Silahkan duduk, Nanase-kun. Lainkali, perhatikanlah saya saat sedang mengajar."

Aku malas menanggapi ucapan sensei. Aku hanya berjalan kembali ke kursiku dan duduk, berusaha untuk menerima apa yang dikatakan oleh sensei. Makoto menepuk pundakku, dan menyerahkan secarik kertas.

Untung saja aku bantu :D

Entah kenapa, aku justru tersenyum. Lalu, aku menulisi sebuah balasan di carikan kertas itu.

Makasih...

• • •

• makoto's pov •

AKU sudah seperti ibunya. Ibu siapa? Haruka, tentunya. Haru sudah ku-urus seperti anak sendiri. Orangtuanya jarang dirumah, entah karena apa. Dulu, almarhum neneknya-lah yang mengurusinya. Namun, semenjak beliau meninggal, Haru tak memilikki penuntun lagi. Disaat itulah, aku membantunya.

Makasih...

Begitu tulis Haru. Aku mengangkat alisku, aku hendak melihat wajahnya, namun dia sudah keburu memalingkan wajahnya ke arah luar jendela. Sebuah senyum terukir diwajahku, disertai dengusan kecil.

"Berikutnya, Tachibana-kun."

"Ha'i!"

• • •


SORE di Iwatobi, sore kesukaanku. Terutama, bila aku dan Haru baru saja selesai dari klub. Musim panas sebentar lagi menyambuti Negeri Sakura, membuat keringat membasuhi keningku. Namun, angin menghembuskan kesejukan dari laut.

Aku melihat ke arah Haru yang sedang menatap matahari yang perlahan tenggelam di laut.

"'Aku ingin berenang~', bukannya itu yang sedang kamu pikirkan, Haru?" ucapku kepadanya.

Haru menoleh ke arahku dengan ekspresi datar yang selalu ditunjukannya. Walau, yang hendak dia sampaikan kepadaku bukanlah ekspresi dingin seperti itu. Aku bisa membaca pikirannya, aku tahu apa yang hendak dia katakan.

"Begitu sampai rumah, jangan langsung berendam loh~" ucapku.

"Kamu bukan ibu-ku, dasar," ucap Haru.

Aku mendengus. "Tapi aku udah berjanji sama almarhum Nenek untuk menjaga dan mengawasimu, Haru."

Kami berjalan menyusuri jalan, ditemani semilir angin musim panas yang menyengat. Aku ingin seperti ini, selamanya. Berjalan bersama di bawah sinar mentari, itu saja sudah cukup bagiku. Tak ada percakapan yang penuh cinta, itu tak apa. Aku hanya ingin ini berlangsung selamanya.

Namun, desahan kesal kuhembuskan dari mulutku kala kami sampai di depan rumah Haruka. Kenapa kami tadi berjalan dengan cepat, ya?

"Kalau begitu, sampai esok, Haru," ucapku hendak meninggalkan rumah Haru.

Namun, tangan Haru menahanku untuk pergi. Aku tersentak, dan aku melihat ke arahnya.

Wajahku menjadi merah padam, tak tahu hendak melakukan apa. "Ha-Haru?" cicitku dengan lemah.

Sadar apa yang sedang dia lakukan, Haru melepaskan tangannya yang tadi menahan pergelangan tanganku.

"Gomen," ucap Haru dengan pelan dan lemah.

Jujur, aku sedikit kecewa. Padahal, aku kira dia akan mengatakan sesuatu seperti: 'Tolong temani aku malam ini'. Tunggu, astaga! Apa yang aku pikirkan!?!? Ukh, otakku semakin mesum saja.

"Iya, tak apa kok," ucapku dengan nada kecewa. "Kenapa? Kamu ada masalah?"

Haru menggeleng. "Īe."

"Soredewa mataashita," akupun berjalan meninggalkan rumahnya, mengibaskan tanganku kepadanya.

"Iya," kicaunya dengan lemah.

Dia kenapa? Apakah dia sakit? Jangan-jangan demam? Atau sakit perut karena keseringan makna ikan makarel? Ukh... apa yang harus aku lakukan!? begitu benakku.

Malamnya, aku jadi tidak bisa tidur sama sekali sebab memikirkan Haruka. Jika dia sakit, almarhum nenek pasti akan marah besar samaku. Aku bergidik ngeri memikirkannya. Aku harap, Haru tidak apa-apa.... mungkin.

• • •

TIAP pagi, biasanya aku akan mengetuk pintu terlebih dahulu, baru aku akan masuk lewat pintu belakang. Namun aku tahu ada yang tidak beres pagi ini. Itu mengapa aku segera menerobos lewat pintu belakang.

Aku mengetuk pintu kamar mandi, membukanya. Benar kataku, Haru tidak ada di dalam bathtub.

"Haru?" panggilku.

"Ma... Koto?"

Aku mendengar suara Haru yang lemah yang berasal dari kamar tidurnya. Aku pun segera berjalan dengan cepat menuju kamar Haru. Aku melihatnya terkulai lemas diatas kasur.

"Haru-chan?" ucapku, kaget melihatnya. "Duh, itu makanya jangan sering-sering berendam di malam hari. Lihatlah, kamu menjadi demam," cerocohku. Aku memegang keningnya dengan telapak tanganku, suhu tubuhnya sangat tinggi.

"Maaf..." gumamnya dengan lemah. Mata biru lautannya melihat ke arahku dengan lembut.

Aku menghelakan napasku, meletakkan tasku disamping meja teh kamar Haru. "Kalau begitu, aku hari ini tidak akan masuk sekolah juga."

"Ta-tapi... Makoto. Nanti kamu ketinggalan pelajaran..." ucap Haru.

"Sudah, mending aku ketinggalan pelajaran daripada membiarkanmu terkulai lemas tanpa daya disini!" tegasku. "Mengerti? Kamu tidur sajalah, aku akan memasak."

• • •

haruka's pov •

JARANG-JARANG Makoto akan memasak di rumahku. Aku bisa mendengar desingan penggorengan yang berasal dari dapur. Serta suara rebusan dan didihan air yang juga memenuhi indra pendengaranku.

Mataku terasa berat. Sebaiknya aku tidur saja... tapi aku merasa kurang nyaman. Kaosku basah oleh keringat, kompresku juga sudah menghangat. Tapi... tubuhku menolak untuk bergerak sedikitpun. Biarlah, alam mimpi sejenak lagi menghampiriku. Aku... ingin tidur.



A.N

Chapter pertama udah selesai!! UWUWUW

#ProudOfMe

Aku sangat menikmati menulis cerita ini, sangat, sangat, sangat, sangat menyenangkan! Aku jadi kepikiran mau membuat cerita ReiGisa, tapi ntar yang ini dianggurin pula. Suatu hari lah... suatu hari.


Sampai chapter berikutnya!

-Mochii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top