I'd Rather Die: 11

【TWINS】

══⛧⌒*。

(3rd person's POV!)

.
.
.

/kriet..

pintu kamar dibuka oleh sosok albino bersurai pendek itu, ia masuk kedalam kamar tanpa meminta izin dari sang empunya kamar karena sudah terbiasa. meskipun sekali-dua kali ia harus mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Feb?" panggilnya sembari menutup kembali pintu kamar, lalu menghampiri kembarannya yang duduk dipinggiran kasur sedang memainkan ponselnya.

Feby mendongak dan mendapati kembarannya disana, lalu tangannya menepuk-nepuk tempat disampingnya, memberi isyarat agar kembarannya itu duduk terlebih dahulu.

setelah Giin, kembarannya itu benar-benar duduk disana, Feby langsung menyenderkan dirinya pada bahu Giin.

Giin yang terlampau paham membiarkan kembarannya itu bersender dibahunya, lalu ia mengelus surai Feby yang seiras dengan surainya.
"masalah apaan lagi? cowokmu?" tanya Giin, Feby membalas dengan gelengan.

"bukan Ray, tapi mantannya" balas Feby, membuat Giin menaikkan sebelah alisnya heran. kenapa kembarannya ini malah repot ngurus mantan cowoknya?.

"aku gak ngerti, berkenan untuk jelasin?" ucap Giin, susah biasa ia menanyakan akan berkenan atau tidaknya Feby ketika menceritakan sesuatu yang benar-benar tidak ia ketahui.

Feby mengangguk, lalu menceritakan sedikit konflik tentang dirinya dan mantan Ray, Anna, yang belum sepenuhnya selesai.

.
.
.

beberapa menit berlalu, Giin menyimak kejadian yang Feby ceritakan dengan fokus.
cerita selesai, Feby menghela nafas dan membanting tubuhnya keatas kasur bernuansa putih-biru miliknya.

"paksaan, ya?" gumam Giin, Feby hanya membalas dengan deheman.

Giin ikut merebahkan dirinya disebelah Feby, "jadi, kamu mau selesain ini kapan? I mean.. if you need more help, aku dengan senang hati bantu kamu" tawarnya, sorot matanya menatap sosok kembarannya itu yang sedang dilanda rasa gelisah.

alih-alih membalas, Feby malah tertawa kecil. terdengar seperti tawa paksaan.

"Ray chat aku tadi, he said that he want to solve this problem without me. dia gak mau aku ikut campur tangan dulu sementara" ujarnya sambil memeluk guling kesayangannya. ehe.

"kamu bales apa?" tanya Giin.
"belum"
seusai Feby menjawab Giin, keheningan seketika melanda. keduanya sama-sama menatap langit-langit kamar. tapi keheningan itu seketika buyar karena seruan Giin.

"HAH? BELUM DIBALES??" seru Giin yang terkejut sampai-sampai bangun dari posisi tidurnya menjadi posisi duduk.

Feby yang ikutan kaget juga ikutan duduk gara-gara Giin masih dengan guling yang setia dipeluknya.
"GAK USAH TERIAK GITU DONG, KAGET"

Giin terkekeh sambil mengusap tengkuknya, "maaf, maaf. lagian kamu bukannya bales cowokmu, malah didiemin" ucap Giin.

"bingung mau bales apa" balas Feby yang kembali memainkan ponselnya, membuat Giin kesal dengan tingkah lakunya itu.

Giin merebut ponsel yang ada digenggaman Feby, sang empunya ponsel terkejut memohon ponselnya dikembalikan.

"kamu dari tadi main hp tapi belum ngabarin dia, gimana kalau dia mikir apa-apa? kalau aku jadi Ray sih udah marah, ya" jelas Giin yang enggan mengembalikan ponselnya, membuat Feby menggeram kesal pada kembarannya itu.

"aku kasih solusi dulu, mau gak?" tanya Giin, Feby yang masih kesal hanya membalas deheman singkat.

Giin lantas menghela nafasnya, "kamu tanya ke Ray, alasan dia mau selesain sendiri itu karena apa. baru kamu bisa bilang 'iya' atau 'gak', begitu dek"

penjelasan yang sangat amat mudah dimengerti bukan? tapi dengan tambahan kata 'dek' diakhir, membuat albino kembar yang berjenis kelamin perempuan ini semakin kesal dan langsung merebut ponsel yang tadi diambil Giin.

"panggil 'dek' sekali lagi, keluar dari kamar aku" ujar Feby sambil menunjuk kearah pintu kamarnya.

"daripada kamu misuh-misuh ngusir aku, mending kamu chat itu orangnya. aku mau turu, dadah" sesaat setelah itu, Giin bangkit dari kasur Feby dan berjalan menuju kamarnya sambil melambaikan tangan.

.

.

.

/tok tok tok..

ketukan pintu terdengar di indra pendengaran lelaki bersurai putih, Giin. dengan segera ia turun dari kasurnya dan menuju pintu depan.

dibukanya pintu oleh Giin dan terlihatlah seseorang dengan bersurai hitamnya yang persis menutupi sebelah matanya sebagai ciri khasnya, Giin sempat terheran sejenak lalu mempersilahkan orang itu masuk.

"mencari Feby, Ray?" tanya Giin begitu Ray melangkahkan kaki memasuki rumahnya.

"iya" balasnya singkat.

"dia sedang dikamarnya. biar kupanggil, kau duduk saja dulu" ucap Giin, Ray menuruti nya dan berjalan ke arah sofa sedangkan Giin menuju ke kamar Feby.

.
.
.

"gak mauuu!!"
"itu dia nungguin kamu dibawah, feb"
"dia gak ada bilang ke aku mau kesini atau apa, aku gak mau turun!"
"setidaknya temui dia sebentar.."

hening ia dapat sebagai respon dari kembarannya itu, Giin menghela nafas.
"ya sudahlah" balasnya, lalu keluar dari kamar Feby dan menutup pintunya.

...

"Ray"

Ray yang tadinya memainkan handphone nya menoleh, mendapati Giin disana.

"Feby nya, mana?" tanya nya spontan.

"coba temui sendiri saja", respon Giin membuat Ray terheran.

"dia gak mau turun, katanya kau tidak memberitahukannya sama sekali terkait kedatanganmu ini. atau tidak, kau coba saja chat dia untuk turun" jelas Giin yang menggusak rambutnya lelah, lalu duduk disofa.

"... baiklah"

"Giin, dia tadi lagi ngapain?" tanya Ray.
"hm? lagi galau, sepertinya"
"maksud dari 'sepertinya' itu apa.."
"entah, sebenarnya aku tidak mengerti"

hening seketika melanda, Giin yang sedang bersender disofa terdiam, begitu pula dengan Ray yang asik dengan ponselnya sendiri. Giin merasa ia melupakan sesuatu, tapi apa itu?.

oh, ternyata itu.

"YA TUHAN, LUPA!" ujarnya panik, membuat Ray terkejut dan reflek menoleh kearah Giin.

"ada apa?" tanya Ray. Giin bangkit dari duduknya.

"duh, maaf ya, Ray. bukannya ku suguhi minuman terlebih dahulu, jadi mau minum apa?" ucap Giin.

"tidak usah repot-repot.."

"santai saja. aku akan segera kembali, aku ingin memanggil bocah itu lagi sekali"

Ray mengangguk, "baiklah"

.
.
.

/tak.
secangkir teh hangat diletakkan di meja tamu oleh puan bersurai putih yang memiliki poni persis menutupi sebelah matanya, terlihat raut kesal diwajahnya.

"kenapa aku gak boleh ikut selesain, huh?" tanya nya selepas menaruh cangkir dan duduk disofa, memangku dagunya kearah yang berlawanan, enggan menatap sang pujaan hati.

Ray menarik senyum kecil, "terimakasih" ucapnya, tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan tadi.

"aku bertanya, ya" ucap sang puan ketus, mengundang reaksi dari sang lawan bicara berupa kekehan kecil.

karena posisi mereka berdua sedikit berjauhan meskipun masih duduk di satu sofa, Ray  bergeser mendekatkan diri bersampingan dengan Feby yang masih memalingkan wajahnya.

"lihat aku dulu dong, cantik" ucapnya, hanya dibalas oleh keheningan.

"cantik, hadap sini" ucapnya lagi, mencoba membuat kekasihnya itu berbicara empat padanya. tetapi masih saja dibalas keheningan.

detik berlalu, menit pun berlalu, sekitar dua menit Feby diam tanpa ada niatan menoleh kesamping sekalipun. Ray pun diam, tidak mencoba membujuknya lagi.

ia menjadi heran, ingin rasanya ia menoleh.
disisi lain, Ray sedikit kesal karena ia di abaikan. ia berniat menaruh kepalanya dibahu sang puan. tapi hal itu bersamaan dengan Feby yang juga menolehkan wajahnya kesamping, lalu..

"hei一 hmn?!"

kedua oknum terkejut. karena ketidak sengajaan, indra perasa mereka bertemuan.
beberapa saat kemudian mereka kembali sadar, Ray dengan segera menarik wajahnya menjauh sejenak. sementara sang puan yang wajahnya memerah padam, menyentuh bibirnya dengan telapak tangannya yang sedikit bergetar. keduanya terdiam, dengan wajah yang memerah.

"m-maaf.. aku tidak sengaja.." Ray membuka suara, ia menundukkan kepala tidak berani menatap puan dihadapannya.

"tidak.. a-aku yang maaf.." balas Feby dengan amat gugup, enggan menatap Ray pula.

kemudian Giin datang dengan membawa nampan berisi sepiring kue dan secangkir teh. ditaruhnya nampan itu dimeja dan menatap heran dua sejoli dihadapannya ini.

"maaf lama, kirain Feby gak turun. jadi aku sekalian bawain cemilan, tapi ternyata Feby udah buat minumnya" ucapnya.

dirinya masih heran, "kalian kenapa? kenapa kalian pada diam? hoi, kalian dengar ucapanku, bukan?" ujarnya.

menyadari ada rona tipis dipipi kembarannya, Giin memproses sejenak.
oh! ternyata itu.

"... apa-apaan, jangan bilang kalian.."

dengan sigap Feby menutup mulut Giin dengan tangannya, "SHHH KAMU DIAM" ujarnya terdengar panik.

"a-ah, terimakasih.. sudah kubilang tidak usah repot-repot.." ucap Ray mencoba menarik senyum meskipun batin masih berisik akibat kejadian tadi.

Giin yang sudah dibebaskan mulutnya dari bekapan tangan Feby memicingkan mata pada mereka berdua,
"kalian berdua.. sangat mencurigakan".

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

-✰ғʙʏʀᴀʏ81.

1250 word.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top