Pertemuan
Hujan berjatuhan seperti harapan yang belum sempat mekar. Suara gemuruh mengundang rasa kegembiraan yang kian padam. Ada sesuatu yang menjadi tanda tanya besar di dalam benak Axcel. Bagaimana dan seperti apa, seandainya kemungkinan yang paling mustahil dapat dia raih dengan keegoisannya untuk memiliki perempuan itu. Logikanya mungkin hilang jika saja dia benar-benar mengejar Annisa. Semua yang telah dia jaga pada batas kewarasannya akan terlanggar begitu saja seperti saat mereka masih bersama.
Dia akan mengkhianati dirinya sendiri dengan atau tanpa berusaha mendapatkan Annisa. Tentu saja dia percaya bahwa cinta sering kali membuat luka, dia telah melukai harga diri Annisa lebih daripada yang bisa dia kira, jika hanya luka yang dapat dia berikan, cintanya hanya akan berakhir sia-sia. Axcel sadar dia bukan laki-laki yang suci, dan merasa tak cukup pantas untuk memiliki Annisa. Maka di sini lah dia berakhir sekarang.
Pemikiran semacam itu akan tetap menahannya untuk berpikir jernih. Mereka akan hidup dalam dunia yang berbeda. Di dalam garis-garis perbedaan itu tidak akan menjelaskan apa-apa selain ketidak mampuan diri untuk menentang aturan Tuhan. Sesungguhnya Axcel tidak ingin mengkambing hitamkan Tuhan atas apa yang telah dia putuskan. Dengan kepergian Annisa, sedikit banyak membuat hubungan mereka semakin jelas ke arah mana bermuara. Dia tidak perlu repot lagi untuk menjauhkan perempuan itu dari sisinya.
"Aku harus memperkenal diri sebagai apa saat bertemu orang-orang nanti?"
Pikiran Axcel buyar saat pertanyaan Rossa terarah padanya. "Terserah padamu. Semua orang itu tidak mengenalku."
"Kamu serius? Jadi aku boleh memperkenalkan diri sebagai pacarmu? Atau calon istrimu?"
"Silahkan saja, kita hanya mampir sebentar dan menyapa pengantin, lalu pergi."
Rossa tersenyum lebar sembari menatap anak-anak tangga menuju aula Epicentrum yang terkenal kemewahannya. Dia sudah berpakaian pantas untuk menemeni Axcel menepati janji kepada ibunya. Dengan make up dan pakaian yang dia kenakan sekarang, Rossa tidak akan mempermalukan Axcel. Mereka berdua tampak seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada kecurigaan yang ditimbulkan malam ini. Meski bukan dari kalangan berada, Rossa akan selalu memberikan service terbaik untuk pelanggannya, apalagi kali ini Axcel hanya memintanya untuk menjadi teman di acara pernikahan.
"Apa ibumu tau kamu membawaku? Aku yakin dia tidak akan tinggal diam jika yang kamu bawa ke pesta pernikahan koleganya bukan pacar melainkan pelacur sepertiku."
"Jelas dia akan cerewet dan bertanya terus menerus."
Rossa tersenyum lebar. "Bagaimana jika orang-orang itu bertanya pada ibumu tentang aku? Reputasimu dipertaruhkan."
"Apa itu penting?"
Rossa mengangguk. "Setidaknya itu penting untukmu. Satu-satunya orang yang tidak mudah untuk kita tipu adalah ibu kita, dan mungkin juga dirimu sendiri."
"Maksudnya?"
"Perempuan yang selalu kamu pikirkan. Bukannya kamu mengkhianati perasaanmu saat mengajakku ke sini?"
"Kalau aku merasa begitu, aku pasti ragu tidur denganmu."
"Hmm benar. Setahun ini kamu selalu jadi pelanggan setiaku."
Axcel hanya diam saja mendengar perkataan Rossa. Kini dia hanya harus masuk ke dalam gedung pernikahan itu dan pulang. Kalau bukan karena ibunya, dia tidak akan mau repot-repot berbasa-basi dengan kalangan atas yang sudah pasti memiliki banyak standar jemu. Namun saat mata Axcel menangkap sosok yang selalu dipikirkannya selama ini, dia lupa alasannya untuk melanjutkan hidupnya yang monoton. Detak jantungnya kembali terdengar lebih nyaring dari jeritan di dalam kepalanya. Langkah Axcel terhenti pada anak tangga terakhir, dunianya terjeda beberapa saat sampai Rossa kembali menariknya pada realitas yang ada sekarang.
"Axcel?"
"Ya?"
Rossa mengerutkan kening dan meniti arah pandang Axcel yang tertuju pada sepasang pengantin baru. Tidak ada yang aneh dari pasangan itu, selain mempelai laki-laki yang menggunakan kursi roda dan mempelai perempuan yang cantik jelita. Sepasang pengantin baru yang diliputi kebahagiaan memang selalu bisa menarik perhatian tamu undangan. Entah karena pemilihan bajunya atau kecantikan mempelai wanitanya. Rossa yakin, opsi terakhir yang menarik perhatian Axcel.
"Mau pulang saja?"
"Kenapa?" tanya Axcel yang berpura-pura tidak mengerti maksud Rossa.
"Belum terlambat untuk jadi pecundang," ucap Rossa sambil tertawa kecil dan menepuk pundak kokoh Axcel yang sekarang terlihat menyedihkan. "Kita akan diam seperti ini terus atau bagaimana?"
"Maaf, ya tentu kita harus masuk dulu."
"Yakin?"
"Tentang?"
"Pilihanmu. Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi kalau dugaanku benar mempelai wanita itu adalah perempuan yang selalu kamu pikirkan. Tidak ada salahnya jika kita pulang saja. Aku tidak mau melihatmu berlumuran air mata."
Axcel mendengus. "Kamu punya indra ke enam?"
Rasanya Rossa ingin tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Axcel apalagi saat dia melihat ekspresi wajah laki-laki itu yang seakan-akan lupa caranya untuk bernapas. Axcel adalah dokter yang baik, meski memiliki kepribadian bajingan, Rossa tidak pernah melihatnya seperti sekarang. Jika bukan karena cinta yang telah membutakan matanya, lalu alasan apalagi yang bisa membuat Axcel mendadak terlihat seperti laki-laki normal melihat perempuan?
Rossa menyelipkan tangannya pada lengan Axcel, dia memberikan kekuatan agar mereka melangkah maju karena tampaknya sekarang bukan hanya Axcel saja yang kehilangan pijakan pada kedua kakinya, tapi juga mempelai wanita yang pandangannya terpaku pada Axcel seorang. Antusiasme menjalar di hati Rossa, dia sungguh penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika sudah bukan lagi karena cinta, setidaknya dia bisa tau alasan mereka berpisah. Kini dia dan Axcel berhadapan dengan mempelai yang berbahagia. Rossa tersenyum lebar dan memberikan selamat. Mempelai laki-laki yang dia tidak tau siapa namanya merespon lebih dulu dengan senyuman yang sama lebarnya dengan Rossa.
"Anda beruntung punya istri yang cantik. Selamat atas pernikahan kalian."
"Semua orang bilang seperti itu, tapi saya masih tidak percaya bisa menikahinya. Terimakasih sudah datang."
Rossa tertawa. "Semoga pernikahan kalian bahagia dan segera diberikan keturunan."
Mempelai laki-laki itu menggenggam tangan istrinya dengan erat. Seperti takut ada seseorang yang akan mencurinya. "Kami tidak terburu-buru. Istri saya ingin melanjutkan kuliah. Dia harus mengambil spesialis kedokteran."
Mulut Rosa mengerucut dan kepalanya mengangguk-angguk. "Sangat mengagumkan. Perempuan secantik dan sepintar anda pasti banyak membuat laki-laki jatuh cinta." Rossa sangat tulus mengatakan pujian itu untuk Annisa. Karena dia mengerti alasan kenapa perempuan yang kini mengenakan gaun putih itu dapat membuat Axcel menjadi terlihat menyedihkan. Kecantikan alaminya memang memukau.
Sedangkan Annisa hanya bisa menarik bibir selebar yang mampu dia lakukan. Karena sekarang dadanya terasa begitu sakit dan hampa pada saat yang sama, dia jadi lupa alasannya berada di pelampinan ini. Tetapi genggaman tangan Eric mampu membuatnya bertahan untuk tidak melarikan diri dari hadapan laki-laki yang sekarang menatapnya penuh tanda tanya serta tuduhan yang terasa menembus dada. Dia tau, apa yang akan dikatakan laki-laki itu seandainya mereka hanya berhadapan berdua saja. Tetapi kini baginya hidup yang telah dia pilih akan dimulai pada garis awal yang berbeda. Dia bukan lagi Annisa, dan Axcel bukan lagi bagian dari kehidupannya. Genggaman tangan Eric membuatnya yakin pada pilihan ini.
"Perkenalkan, dia istri saya, Ivy."
❤️🔥❤️🔥❤️🔥
Maaf ya aku telat update. Semoga kalian masih setia nunggu cerita ini. Jangan lupa selalu vote ya setiap selesai baca ceritanya hehehe.
See you soon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top