Axcel
Axcel menatap rintik hujan yang berjatuhan di luar jendela, tampaknya langit tidak ingin menjadi ramah dalam beberapa hari kedepan. Kepulan asap rokok yang dia hisap melayang di antara kerinduannya pada Annisa. Siapa sangka, jika mencintai bisa begitu menyiksa seperti ini. Padahal orang-orang sering berbicara bahwa jatuh cinta sangat menyenangkan. Namun bagi Axcel cinta adalah hukuman.
Axcel bukan laki-laki yang melankolis. Bangsatnya hujan hari ini membuat Axcel merasa menjadi pecundang yang menjeritkan nama Annisa di dalam keheningan. Dia membiarkan perempuan itu pergi bukan karena cinta telah surut dari pasang usaha untuk saling memiliki. Axcel memang gagal menjaga Annisa dari dirinya sendiri. Karena kalau memang yang dirasakannya benar-benar cinta, seharusnya dia tidak mempermalukan Annisa. Selama ini dia hanya bisa menjatuhkan harga diri perempuan itu. Annisa lugu saat memandang dunia. Perempuan sepertinya tidak akan bisa bertahan pada cinta yang menyakitkan.
Membiarkan kaki perempuan itu berlari menjauh darinya adalah cara agar Axcel bisa mencintainya dengan lebih bebas tanpa batas. Dulu dia berpikir agama adalah satu-satunya penghalang. Tuhan mereka berbeda, cara hidup mereka pun berbeda. Terlalu banyak perbedaan. Sebelum bertemu dengannya, Annisa hanya perempuan yang menjaga seluruh tubuhnya tanpa cela. Annisa benar-benar perempuan yang pantas dijadikan istri, tapi bukankah berlebihan jika laki-laki bajingan seperti dirinya berharap mendapatkan perempuan seperti Annisa?
Setelah sekian lama berpikir. Axcel semakin merasa bukan Tuhan yang menjauhkan Annisa darinya, tapi keputusan-keputusan bodoh yang dia buat yang menjadikan Annisa pergi. Rasa vodka yang membakar tubuh tidak cukup membuat Axcel merasa lebih baik. Ketakutan lebih terasa nyata sekarang.
Bagaimana jika mereka tidak bertemu untuk selamanya? Bagaimana jika dia harus menghabiskan jutaan tahun terpenjara merindukan Annisa? Atau yang lebih buruk lagi, bagaimana jika ada laki-laki lain yang memiliki Annisa? Apakah dia akan benar-benar tetap meyakini membiarkan Annisa pergi adalah jalan terbaik? Bukankah seperti keyakinannya semula, bahwa mencintai seseorang adalah hukuman. Kenapa dia harus menderita sendirian?
Kedua alis Axcel terangkat saat sentuhan jari jemari seorang perempuan memeluknya dari arah belakang, membawanya kembali pada kenyataan. Sudah sejauh ini pun bayangan Annisa tidak bisa dihilangkan. Memang apa hebatnya perempuan itu?
Axcel berbalik untuk melihat teman tidurnya. Perempuan yang kini berhadapannya tanpa busana adalah perempuan tercantik yang bisa dia sewa. Perempuan itu tidak malu-malu menciumnya, menggodanya, mengajaknya kembali bercinta. Tetapi kenapa yang ada di dalam kepalanya hanya Annisa?
Perempuan yang bahkan pernah menyesal tidur dengannya. Perempuan yang berlagak suci dan tak berdosa. Perempuan yang selalu mencari cara untuk kabur darinya. Perempuan yang juga pernah mengatakan ingin mereka menikah. Perempuan yang sama itu pernah tulus padanya. Pernah mencintainya. Mungkin bahkan cintanya lebih dalam dan tak terukur. Axcel terkekeh di tengah-tengah ciumannya bersama Rossa.
"Apa yang lucu?"
Axcel menggeleng. "Aku hanya teringat sesuatu."
"Tentang apa atau tentang siapa?"
"Seseorang yang tidak penting untuk dibahas."
Perempuan itu tersenyum lebar. "Berhenti meniduriku jika yang ada di dalam pikiranmu hanya ada dia."
"Dia?"
"Ya, siapa pun itu. Ada kalanya aku terbawa perasaan, jadi aku sedikit cemburu, siapa yang bisa membuatmu begini?" ucap Rossa sambil bergerak menjauh untuk mengambil pakaiannya yang berceceran di lantai.
"Kita memang sudah dewasa dan bisa melakukan apa pun yang kita mau, semua orang tidak akan bertanya tentang pilihan hidup kita selama kita bisa bertanggung jawab, tapi Axcel, dihadapan cinta, kita hanya anak-anak yang berusaha mendapatkan apa yang kita suka."
"Kamu mau pergi sekarang?"
"Waktuku sudah habis, bukannya kamu juga ada shiff malam?"
"Rossa, apa kamu menerima pekerjaan selain menemaniku di atas ranjang?"
Kerutan kening perempuan itu terlipat. "Tentu saja, apa pun yang kamu butuhkan selain membunuh, aku bisa lakukan."
"Temani aku ke acara makan malam besok."
"Besok?"
"Ya. Ada acara pernikahan private yang harus aku hadiri. Hanya makan malam formalitas. Sebenarnya aku tidak ingin datang, tapi ibuku memaksa, jadi aku harus tetap ke sana."
"Dasar anak mama."
Axcel tersenyum lebar. "Aku jemput jam lima di apartemenmu."
"Oke."
Axcel membiarkan Rossa pergi, dan kini dia kembali sendiri. Diambilnya kaos abu-abu yang semula dia kenakan sebelum bercinta. Sisa-sisa aroma parfum Rossa tertinggal di sana. Selain menjadi teman tidurnya, perempuan itu juga sudah menjadi sahabatnya. Di hadapan Rossa dia bisa menjadi dirinya sendiri, meski hubungan mereka hanya sekedar berurusan soal ranjang. Rossa tidak pernah berusaha ikut campur dengan banyak hal yang bersifat pribadi.
Kini Axcel perlu mengisi perut sebelum bekerja. Shiff malam akan jadi sangat panjang jika dihabiskan tanpa makan. Dia tidak ingin membuang waktu menjadi laki-laki melankolis yang merindukan kekasihnya sedangkan beberapa saat lalu dia berada di puncak kenikmatan bersama perempuan lain. Mungkin benar kata Annisa, bahwa dia munafik.
Bisa saja dia mengejar Annisa. Dia bisa dengan mudah melacak keberadaannya, tapi sudah setahun berlalu untuk apa memutuskan suatu hal secara serampangan hanya karena perasaan sesaat yang menyesatkan. Belum lagi jika ibunya tau, semua akan semakin runyam.
Tepat sesaat setelah dia memikirkan ibunya, ponsel Axcel berdering.
"Hallo?"
"Kamu dimana?"
"Apartement, lagi mau cari makan."
"Jangan lupa besok datang, ya."
"Hmm."
"Kamu kerja hari ini?"
"Shiff malam."
"Ibu mau minta tolong, besok pagi setelah kamu pulang kerja, ambil hadiah untuk dibawa makan malam. Sudah ibu siapkan semuanya, kamu cuma tinggal bawa dan bilang ke Pak Candra bahwa itu hadiah dari kita."
"Oke."
"Kamu harus dateng loh ya, jangan sampai enggak, Pak Candra menikahkan anak tunggalnya. Dia itu teman lama papamu."
"Ya, ya, ya, semua saja temannya papa."
"Cel?"
"Kenapa lagi, Bu?"
"Belum ada kabar dari Annisa?"
Axcel memandang sekilas jam tangannya sebelum menjawab pertanyaan. "Belum."
"Kamu gak mau nyusul dia, Cel? Ibu punya alamatnya. Kamu bisa cuti seminggu untuk pergi ke Dubai, selama setahun ini kamu kerja terus, masa gak bisa mengusahakan untuk ketemu Annisa?"
"Kalau orangnya gak mau ketemu, kenapa harus memaksakan kehendak."
"Cel, yang namanya perempuan itu suka dikejar. Kamu sebagai laki-laki harus punya inisiatif dong."
"Axcel sudah melamar dia, tapi dia menolak, terus Axcel harus apa lagi?"
"Ya terus usaha sampai dapet."
Axcel berjalan melewati trotoar depan gedung apartemennya. Tidak jauh dari sini ada jajaran warung makan yang bisa dia pilih untuk mengisi perut. Jika dipikir-pikir, dia tau ini kebiasaan buruk, memilih-milih makanan membuatnya selalu kesulitan.
"Cel, kamu denger ibu?"
"Denger."
"Jodoh itu gak jatuh dari pohon rambutan. Jadi jangan karena ditolak sekali, kamu langsung nyerah. Besok kamu dateng sama siapa?"
"Temen."
"Perempuan?"
"Hmm."
"Cel, ibu maunya yang jadi menantu ibu cuma Annisa ya, selain itu ibu black list."
❤️🔥❤️🔥❤️🔥
See you next week guys!!! Jangan males untuk vote cerita ini ya, biar aku semangat nulisnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top