Ch 6. Say sorry (2 END)

Gambar hanya milik pembuatnya.

Happy Reading
.
.
.

"Suzu," Suzu yang sedang membaca buku yang entah apa itu melirik kamu yang sedang menopang dagu sambil menatap kearah orang yang di panggil.

"Apa?" Suzu kali ini berfokus padamu dan mulai meletakan buku yang dibacanya tadi, sebelum itu dia sudah menandai halaman buku itu.

"Ah tidak jadi," Suzu mengernyit sebal.

"Hei aku sudah fokus kepadamu lho, dan sekarang kamu berkata seperti itu, menyebalkan," Suzu cemberut dan kamu hanya memasang ekspresi tanpa dosa.

"Suzu, seandainya aku berkata kasar kepadamu, apa yang akan kau rasakan?" Akhirnya kamu bertanya, Suzu hanya menatapmu aneh lalu kemudian dia menopang dagu sambil berpikir. Suasana di perpustakaan tampak sepi dikarenakan ini sudah waktu jam makan siang, jadi tidak masalah jika kamu dan Suzu berbicara secara normal, tidak berbisik-bisik lagi.

Pletakk

Suzu tiba-tiba menjitak kepalamu, kamu hanya meringis dan melayangkan tatapan protes tapi sebelum kamu protes, Suzu berkata kepadamu dengan nada berapi-api.

"Tentu saja aku akan marah dan menjitakmu seperti itu bodoh," kamu terkesiap mendengar perkataan Suzu.

"Apa yang kau lakukan? Kau membuat orang marah hah?" Kamu tidak menjawab pertanyaan dari Suzu.

"[Yourname]," Suzu tiba-tiba bangkit dan berdiri memegang kedua bahumu, dia menatapmu dengan tatapan penuh keyakinan.

"Hanya satu hal yang saat ini kau bisa lakukan," Suzu berbicara dan kamu hanya menatap Suzu seolah berkata "apa?"

Suzu kemudian tersenyum

"Minta maaflah kepada dia"

.
.
.
.

"

"Minta maaflah kepada dia"

Kalimat Suzu terus berputar-putar di dalam kepalamu.

"Akh masa aku harus minta maaf ke orang seperti dia," kamu mendengus sebal membayangkan ekspresi Ranpo yang pasti akan besar kepala dan menatapmu dengan sombong.

"Aku pulang"

"[Yourname]-chan," ketika kamu memasuki rumah tiba-tiba Hikari berlari dari dalam rumah, wajahnya tampak panik.

"Ada apa Hikari-obasan?" Kamu bertanya dan Hikari hanya memegang kedua pundakmu sambil mengatur nafasnya, padahal dia tadi hanya berlari kecil tapi sudah tampak terlihat lelah.

"Ranpo-san menghilang," ucapannya hanya membuatmu terdiam sesaat.

"Eh?" Kamu bingung.
"Hikari-obasan jangan terlalu khawatir, Ranpo-sankan sudah besar," kamu hanya tersenyum menenangkan. Dalam hati kamu berkata "lebih tepatnya sih dia sudah dewasa".

"Tapi kamu tau sendiri, Ranpo itu tidak tau daerah sini, bibi khawatir, dia juga pergi tiba-tiba, tidak seperti biasanya, dan ini sudah sore," Hikari-obasan berbicara panjang lebar dengan raut kekhawatiran seperti sedang mengkhawatirkan seorang anak kecil. Kamu hanya menghela nafas.

"Yasudah Hikari-obasan diam disini, aku yang akan mencarinya," kamu tersenyum, Hikari menatapmu.

"Tidak apa-apa?" Kamu hanya mengangguk.

"Terimakasih [Yourname]-chan, bibi mengandalkanmu," kamu mengangguk sekali lagi dan segera berbalik ke luar rumah untuk mencari Ranpo.
Hikari hanya melihatmu sambil tersenyum.

.
.
.

Kamu sudah berkeliling tapi tidak menemukan hasil, kamu mulai lelah dan menyerah, ketika tiba-tiba sebuah suara orang berteriak, bukan karena orang itu yang berteriak tapi omongan orang itu.

"Hei coba lihat di sungai itu, ada orang yang mencoba bunuh diri," kamu yang berada di atas jembatan kecil yang di bawahnya terdapat sungai yang tidak terlalu besar tapi cukup dalam mendapati seseorang yang kamu kenal sedang berada di dalam sungai tersebut.

"Ranpo-san," kamu berteriak lalu segera turun ke bawah untuk menuju sungai tersebut, tanpa pikir panjang kamu berenang ke sungai tersebut dan menarik Ranpo yang sebenarnya tidak tenggelam, dia seperti menggendong sesuatu. Lalu ketika sudah berada di tepi kamu dan Ranpo segera mengambil nafas dan terbatuk-batuk, kamu melihat Ranpo yang sedang mengatur nafas lalu tiba-tiba kamu memukulnya.

"Bodoh. Apa yang kau lakukan? Kau mau bunuh diri hah?" Kamu menatap Ranpo sengit dan yang di tatap hanya menatapmu heran.

"Aku hanya menolong seekor kucing ini," kamu melihat yang ada di dalam gendongan Ranpo, seekor kucing yang bulunya terlihat basah, kalau di lihat dengan teliti sepertinya kucing itu ialah kucing peliharaan.
Tiba-tiba seorang gadis kecil menghampiri kamu dan Ranpo.

"Arigatou Onii-san karena sudah menyelamatkan kucingku," gadis kecil itu tersenyum dan membungkuk kearah Ranpo dan kearahku.

"Kalau begitu sampai jumpa," gadis kecil itu berlari menuju kerumunan orang yang melihat adegan penyelematan Ranpo tadi, dan disitu sudah ada seorang wanita yang sudah jelas itu pasti ibunya.
Seketika kerumunan orang yang berada disitu pergi karena menganggap tidak ada apa-apa lagi.

Kamu menatap Ranpo yang sedang merapikan rompi dan baju kesayangannya yang basah. Entah kenapa, ada angin apa tiba-tiba kamu merasa sedih dan tanpa kamu sadari kamu berjalan kearah Ranpo dan memeluknya. Sedangkan yang di peluk tampak kaget dan menegang beberapa saat karena baru pertama kali merasakan sensasi ini.

"Maaf," Ranpo tidak mendengar suaramu karena wajahmu yang terbenam di dada Ranpo.

"Apa?"

"Aku bilang maaf, bodoh," wajahmu mendongak kearah Ranpo dan disitulah Ranpo menyadari bahwa kamu menangis.

"Kau menangis?" Kamu tiba-tiba tertegun.

"Aku menangis? Eh?" Batinmu bertanya-tanya, Ranpo hanya menatapmu dalam diam. Kalian berdua terdiam dalam posisi itu.

"Bingung--"

Kamu mendongak menatap Ranpo begitupun sebaliknya dia menatapmu dengan menunduk, menatap langsung ke mata masing-masing.

"Aku bingung harus apa ketika seorang bocah perempuan memelukku seperti ini," Ranpo bersuara, kamu terdiam dan seketika kamu menyadari bahwa kamu memeluk Ranpo.

Kamu melepas pelukanmu dengan cepat dan kamu merutuki kebodohanmu.

"Apa sih yang aku lakukan?" Batinmu sebal.
"Ingat [Yourname] kau seharusnya hanya memeluk Dazai ketika dia sedang bunuh diri, bukan si Detektif itu," kamu mengucap dalam hati.

Ranpo melihatmu yang sedang asyik dalam dunia sendiri.

"Bocah"

Kamu tersadar dari lamunanmu.

"Ayo pulang," Ranpo berjalan meninggalkanmu.

"Oh ya," Ranpo berbalik. "Jangan lupa ambil belanjaannya disitu," Ranpo menunjuk belanjaan yang tergeletak tidak jauh dari tepi sungai. Lalu kemudian dia berjalan lagi.

Kamu melongo.

"Aku menyesal menolongnya, lebih baik tadi aku tenggelamkan saja dia, ke laut kalau perlu," gumammu sebal.

"Aku masih mendengarnya bocah," kamu mendengus mendengar suara Ranpo yang menyahut.

Kedua orang itu tidak menyadari bahwa inilah awal benang merah mereka saling terkait.

To be continued
.
.
.

Adakah yang masih nunggu. Mohon maaf atas keterlambatan ya.
Mohon Vommentnya jika ada yang masih menghargai saya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top