Chapter 4 - Night Changes
"AH!" Kedua tanganku langsung menutup mulut.
Duhai, Kawan, pernahkah kau memekik sendirian karena teringat hal-hal yang memalukan? Yup, tepat sekali. Ini adalah kesepuluh kalinya aku berteriak sejak pertama kali membuka mata pagi ini. Untung saja Sesshoumaru tidak mendengarnya, hanya salah seorang pegawai toko tempatku berada sekaranglah yang menyadarinya.
Perempuan paruh baya itu bertanya, "Apa ada yang salah, Nona?"
Sambil memasang topeng ceria aku membalas halus, "Ah, tidak. Kue-kue ini sangat imut sekali, rasanya sungguh sayang untuk dimakan." Mendengar itu, ia mengiakan dan menunjukkanku berbagai macam kue best-seller yang mereka miliki. Aku menurut kala dipandu ke sudut lain ruangan, meski mataku selalu menemukan cara untuk melirik ke arah Sesshoumaru tiap lima detik sekali.
Saat perempuan itu menjelaskan sejarah berdirinya toko tersebut, aku malah sibuk mengamati Sesshoumaru. Biarpun ia dilayani oleh perempuan muda berambut cokelat ikal sebahu dengan tampang menawan dibalut dress maid yang imut, tetap saja ia seakan tidak tertarik. Fokusnya terus tertuju pada berbagai kudapan manis yang dipajang di etalase.
Tiba-tiba, kecurigaanku tadi malam goyah sudah. Batinku berbisik bahwa Sesshoumaru bukanlah tipe pria yang senang menebar cinta ke sembarang wanita. Barangkali ini adalah rahasianya, Sesshoumaru adalah sweet tooth alias penggila gula.
Secara spesifik, pria bertubuh tegap itu sedang sibuk memilih Mille-feuille (CuBette), pai berukuran kecil berisi lapisan krim dan cokelat dengan hiasan pita nan cantik. Penganan itu sangat populer sebagai suvenir dari Osaka akhir-akhir ini. Waktu berselang, akhirnya ia memborong satu kotak untuk setiap varian yang ada.
Lega dengan apa yang aku saksikan, aku tersenyum pada wanita ramah yang sejak tadi setengah kuacuhkan. "Aku akan mengambil yang rasa wine dan teh hijau panggang," ujarku seraya menunjuk dua kaleng bundar berisi permen konpeito (permen tradisional berukuran mini dan berbentuk bulat).
"Akan kami siapkan."
"Terima kasih."
Untuk yang kesekian kali, secara otomatis, mataku memindai di toko kue dan permen yang teramat terkenal itu. Setelah menemukan sosok yang kucari, aku mendekatinya. Sesshoumaru baru saja menyerahkan dua pak permen pada gadis yang melayani.
Kedua alisku sedikit berkerut melihat kardus kecil merah putih yang bagian atasnya seperti tenda sirkus. Dari bagian yang transparan, terlihat permen jeli beragam warna yang wujudnya persis kacang merah.
'Ada yang ingin menggelar pesta? Stok camilan sebulan di rumah?' komentar itu kutelan. Aku memilih untuk bungkam dan mendampinginya saja.
Itu yang kulakukan sejak pagi. Jam sepuluh, kami sarapan di restoran hotel dengan kebisuan, yang mendominasi hanyalah bunyi lembut benturan garpu dan pisau pada piring.
Seusai berbelanja oleh-oleh, kami kembali masuk ke mobil yang dipinjamkan Totosai beserta pengemudinya. Selain tasnya, Sesshoumaru menenteng dua kantung kertas besar. Barang bawaannya ia taruh di dekat kaki. Ia meraih gawai canggihnya, lalu sibuk mengetik surat elektronik. Mobil mewah itu melaju perlahan. Waktu menunjukkan pukul dua belas lewat dua puluh menit. Kami segera menuju tempat berikutnya, bandara.
Dan aku ... lantas merasa terpinggirkan.
Para peneliti berkata bahwa wanita adalah makhluk yang pelik untuk dimengerti hanya karena berbeda cara berkomunikasi dengan lelaki. Bukankah itu tidak adil? Padahal, kenyataannya, kaum laki-laki juga terkadang bisa sangat sulit dipahami. Contoh sederhananya kasusku, Sesshoumaru.
Pada awalnya, Sesshoumaru seperti bongkahan es di permukaan samudera atlantik, dingin, berbahaya, patut kuhindari. Tak lama, karakternya menjelma bagai menara Eiffel, menara Tokyo, atau bahkan Piramida di Mesir, elegan dan mengagumkan. Kini, aku tak mengenal metafora yang setara dengan tingkah lakunya.
Baru beberapa puluh menit lamanya ia mengatakan ingin mengenalku lebih dekat dan menyatakan acara minum tadi malam itu adalah kencan pertama kami. Akan tetapi, dalam sekejap, ia sudah amnesia dan lebih memilih menghabiskan waktu untuk berbincang hangat dengan seorang wanita di telepon. Ia seperti tak memedulikanku dan melupakan ucapannya begitu saja.
Kesungguhannya dalam menjalin bhubungan itu perlu dipertanyakan. Jika memang berkencan, mengapa ia tidak berani memberikanku kecupan selamat malam? Alih-alih merasa dipermainkan, aku malah kesal pada diri sendiri. Aku merasa tak sadar posisi karena berani mengharapkan bulan jatuh ke pangkuan.
"Kagome," panggil lelaki bersurai putih keperakan itu tiba-tiba.
"Iya," sahutku dengan senyum profesional seorang sekretaris, sambil diam-diam memperhatikan bahwa ia sudah memasukkan gadget canggih itu kembali ke saku jas hitamnya.
"Maaf karena kita tidak sempat pergi ke Takama."
Aku menggeleng pelan, "Tidak apa-apa," ucapku. Sebenarnya, aku pun lupa tentang restoran soba yang direkomendasikan oleh Totosai kemarin.
CTO tampan itu menggeser duduknya hingga tubuhnya mengarah padaku. "Mengingat jadwal keberangkatan pesawat, kita masih bisa makan siang di tempat yang nyaman sekitar bandara. Bagaimana menurutmu?" nadanya teduh, sinar matanya memancarkan perhatian.
Netra emas itu laksana menarikku ke semesta lain, di mana hanya ada aku dan Sesshoumaru. Tidak ada tempat bagi wanita mana saja maupun makhluk berjuluk Kagura. Ilusi itu cukup menguras atensi. Aku butuh waktu sedikit lebih lama untuk mencerna dan menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan, "Kurasa itu ide yang bagus." Aku mengerjap, lalu meralat, "Sejujurnya, aku masih kenyang. Tapi jika Anda sudah lapar, kita sebaiknya makan siang terlebih dahulu."
"Sesshoumaru ini tidak lapar." Aku merespons dengan anggukan. "Apa ada tempat yang masih ingin kau kunjungi di Osaka?" tanyanya lagi, masih memandang tanpa jeda.
Degup jantungku tak karuan. Susah payah aku menarik napas. Pipiku terbakar. Seakan ditelanjangi oleh tatapannya, aku lantas menunduk. Hanya dua kata yang meluncur dari mulutku, "Tidak ada."
"Lain kali kita harus menyiapkan lebih banyak waktu jika berpergian bersama."
'Eh, lain kali?' Aku menoleh tak percaya. 'EHHHH?!'
Mungkinkah ... Semua penelitian itu benar adanya? Apa selama ini aku yang terlalu emosional hingga tidak bisa berpikir dengan jernih? Bisa saja yang menelepon tadi malam adalah sahabat lamanya. Akan tetapi, mengapa harus tengah malam? Sangkalan jitu mendadak muncul. Hei, bumi itu bulat, Kawan, waktu di belahan dunia lain sudah pasti tidak sama dengan di Jepang, ya, 'kan? Benakku bersorak-sorai akan datangnya pertanda baik. Secara mental aku melakukan tarian kemenangan.
Sedetik kemudian aku tak sanggup berpikir.
Titik interes Sesshoumaru tak lagi ke mataku. Pandangannya turun. Aku pun menirunya, memusatkan minat pada bibirnya.
Teramat perlahan, Sesshoumaru menghapus jarak.
Kedua mataku sudah terpejam. Aku menanti ...
Penantian itu berakhir tatkala dering khusus yang tak pernah menyentuh telingaku sebelumnya kini berkumandang.
Lekas-lekas pria itu meluruskan badan, lalu menerima panggilan penting tersebut.
Aku juga menegakkan posisi tubuh, membuang muka ke jendela. Aku menutup indra penglihatan rapat-rapat dan mengunyah bibir bawah. Di detik-detik berikutnya, aku sudah memasang rupa normalku. Namun, aku tak tahan untuk tidak memandang Sesshoumaru melalui ekor mata. Saat mencuri pandang itulah aku merasakan ada sepasang mata yang mengawasi, ketika aku menghadap ke depan, mataku bersirobok dengan sang pengemudi di kaca spion tengah.
Tangan kiriku terangkat untuk memegang dahi. 'Ck.'
Demi meredam malu, aku sibuk meluruskan rok A-line selutut bermotif bunga dan merapikan kaos putih model sabrina yang kukenakkan. Menit bergulir, kupikir-pikir, tidak seharusnya aku bertingkah seperti ini. Aku wanita dewasa, zaman sudah modern, tidak ada salahnya merefleksikan hubungan percintaan di area publik. Toh, yang (hendak) kami lakukan di dalam mobil hanya sebatas kecupan atau ciuman (itu jika berlanjut).
Rasa malu teratasi, aku bisa kembali mengangkat kepala. Disaat yang sama, Sesshoumaru seakan hendak mengakhiri percakapan entah dengan siapa di seberang sana.
"Kira-kira tiba sore nanti."
Moralitasku tandas oleh rasa penasaran. Aku memasang telinga baik-baik.
Baritone-nya datar, "Ini bukan waktu yang tepat."
Kedua tanganku di atas paha. Berpura-pura abai, wajah berpaling pada kelebatan diorama dibalik kaca.
"Hn."
Aku berusaha menangkap suara si penelepon, nihil. Aku tidak bisa menerka apakah itu suara wanita atau pria?
Momen berikutnya, sepintas, tapi teramat jelas. Aku yakin kupingku menangkap bunyi yang mengalahkan langkanya populasi panda raksasa di dunia. Barusan aku mendengar Sesshoumaru tertawa!
"Baiklah," imbuh pria itu.
Kepalaku tertunduk, bahuku lunglai.
Nadanya penuh kasih, "Aku menyayangimu."
Tanpa bercermin pun aku sadar bahwa aku menoleh kaku seperti robot. Sebelum Sesshoumaru menutup panggilan tersebut, aku melihat satu nama wanita baru di layar gawainya.
Lagi-lagi, pupus sudah asa yang kupunya.
'Kemarin Kagura. Sekarang, Rin, ya?'
.
~SessxKag~
.
End notes:
- Setelah sekian lama akhirnya lanjut juga :') Gomen~
- Semoga kalian suka bacanya, karena aku pribadi fun bgt saat nulis bab ini.
- Terima kasih banyak untuk semua yang udah baca dan review. Khusus untuk yang udah ngebagi semangatnya *pelukdanciumjauh^^
Oh, btw, kayaknya ga adil bgt kalo Kagome doang yg dibikin jd bucin di cerita ini. So, biar adil, next chap giliran Sesshou X) di bawah ini sedikit sneak preview-nya.
.
.
.
Konyol.
Apa yang pria tua itu katakan membuat telingaku panas. Hanya karena menjadi orang tua, tidak berarti mereka harus bersikap sok tahu dan merasa berkewajiban mencampuri urusan anaknya yang sudah lama memasuki usia dewasa, bukan?
Sesshoumaru ini tidak butuh pertolongan seperti yang ia pikirkan. Hanya karena pria itu berhasil menarik hati puluhan wanita dan menikahi dua di antara mereka, bukan berarti ia menjadi ahli cinta yang dapat menjodohkanku dengan salah satu anak kenalannya.
Tidak.
Aku, Sesshoumaru, sudah cukup bahagia dikelilingi oleh wanita-wanitanya. Aku cukup puas dengan keadaanku yang sekarang, bebas, tanpa ikatan. Jika kau bertanya, maka aku akan dengan sangat tegas mengatakan bahwa keputusannya untuk mendekatkanku dengan satu dari sekian banyak kaum hawa sangatlah menggelikan.
Akan tetapi, mungkinkah berbicara dengan teman imajinasi sepertimu juga merupakan suatu tanda bahwa semua sangka yang dimiliki pria tua itu benar adanya? Tanda bahwa diriku yang kasmaran untuk kesekian kalinya benar-benar terbuktikan?
Entahlah, yang jelas aku sedang ingin berbicara panjang lebar. Oleh sebab itu, dengarkanlah! Ini penuturanku ...
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top