Tiga Puluh Satu
Jeanette-- Marilyn-- Marry-- Levi memikirkan nama-nama itu dengan begitu serius selagi tangannya bermain di atas perut (Y/N); mana lagi nama yang lebih cocok jika anak ini perempuan? Ah. Bagaimana kalau ternyata laki-laki? Levi kembali ke posisi semula, merebahkan tubuh di sebelah kekasihnya.
Separuh pengar, dia memandang wajah (Y/N) yang sedang tertidur. Baginya perempuan itu tampak seperti lukisan di bawah sorot sinar rembulan yang menembus masuk melalui kaca jendela, dan Levi tidak henti-hentinya mengakui hal itu dari lubuk hatinya yang paling dalam.
"Oi," Levi mengecup matanya yang tertutup, turun ke bibirnya, lalu kedua belah pipinya. "Akan seperti apa, ya, jika aku tidak bertemu kau?"
(Y/N) yang merasa terganggu, terbangun sesaat dari tidurnya. Dia berguling hingga membelakangi Levi yang kini memandangi punggungnya, dan kembali tidur.
Levi yang mengira perempuan itu mendengar perkataannya yang-- baginya-- memalukan, merintih gelisah. Wajahnya berubah merah nyaris pekat seperti kepiting rebus.
"Hey, bocah."
Tak ada jawaban. Yang didengarnya hanya suara serangga-serangga malam dari arah luar. Separuh lega, pria itu menarik selimut dan memejamkan matanya, berusaha mengosongkan pikirannya. Tapi lagi-lagi wajah (Y/N) membayang. Kali ini bukan dalam artian yang menyedihkan, alih-alih gembira.
Sekali lagi tangannya menggapai perut yang bahkan belum mulai membesar itu, dan ujung bibirnya terangkat. Mungkin karena terlalu senang, matanya mulai terasa panas dan menggenang.
"Terima kasih karena waktu itu sudah menggodaku lebih dulu." Bisiknya di kuping wanita itu, terkekeh. "Terima kasih karena tidak menyerah.. terhadapku. Aku harap kau tak akan pernah menyerah, dan maafkan sikapku yang terkadang malah menyakitimu, oke?"
"Pa.." Wanita itu mengeluarkan suara, membuat Levi tersentak setengah mati. "Pai..."
Mengigau rupanya. Levi tertawa sendiri dan mengeratkan dekapannya pada sosok mungil itu, mengecup tengkuk lehernya sebelum berbung dengannya ke dunia mimpi.
***
Jantungnya terasa pedih. Phel mengentakkan punggungnya kembali ke atas kursi dan menghela napas panjang, secara berulang kali menegaskan komitmen yang telah ditetapkannya tentang (Y/N); dirinya yang akan melupakan gadis itu. Dirinya yang tidak akan mengganggu kehidupan mereka. Dirinya yang berusaha. Dirinya yang masih--
"O-Oh? Ba-Bagus, deh." Lirih Phel, matanya basah. Dia mengadah menatap Levi, dan kembali menggeser pandangannya ke arah kertas yang begitu dibencinya itu.
Levi menepuk pundaknya. "Kuharap kau mengerti."
"Nggak, nggak. Soal itu.. Aku justru turut berbahagia untuk kalian."
Levi mendengarkannya dalam diam, mengamati pria itu berjuang menahan kepedihannya yang dia tahu seberapa dalam itu.
Ketika air matanya jatuh, Phel benar-benar kehilangan kendali dirinya secara menyeluruh. Sekujur tubuhnya bergetar, tangannya mencengkeram erat kertas itu seakan-akan hendak mengoyaknya.
"Phelle."
"Maaf.. Aku tidak bermaksud.." Bisiknya, beriringan dengan napasnya yang tersengal. "Aku hanya nggak bisa.."
Levi mengurungkan amarahnya, mencoba untuk mengerti. Kedua tangannya terbentang, hendak merangkul pria itu.
"Butuh sedikit waktu." Levi bilang, dia menepuk punggung Phel, yang bertingkah seperti bocah merajuk. "Terima kasih sudah mengerti, jadi.."
"Kalau suatu hari aku tahu kau bertingkah tak pantas untuknya meski hanya sekali saja, aku tak akan melepaskan (Y/N)." Tegasnya. "Pokoknya berjanjilah."
"Ya." Mengangguk, Levi tersenyum. "Aku berjanji."
Kedua pria itu bertukar pandang sesaat, lalu saling tertawa. Hati Phel yang penuh seketika terasa ringan begitu mengingat sosok yang dicintainya itu telah bertemu dengan seseorang seperti Levi; yang bisa menjaganya dengan baik, yang menerima dirinya apa adanya, yang mencintainya sepenuh hati.
Asalkan kau bahagia, (Y/N), aku juga akan berbahagia untukmu-- dia menghela napas panjang dan menyeka kedua matanya yang merah dan berair. Ketika Levi keluar dari ruangan, dia membuka laci meja kerjanya dan menemukan selembaran kertas yang berisikan gambaran yang digambar oleh seorang bocah nakal dengan krayon.
"Mau menikah dengan Kakak.. apanya, huh?" Dia menertawakan kertas itu, separuh menyindir. "Dasar anak nakal."
***
Mikasa yang sedang mengunyah pai ceri langsung tersedak saat (Y/N) mengumumkan kehamilannya. Mata gadis itu bergeser turun ke perut (Y/N) dan terheran karena belum ada sedikit pun buntalan di sana.
"Kok kau nggak gendut?"
"Ini baru minggu ketiga, duh." (Y/N) memutar bola matanya. "Aku dan Levi sudah memutuskan kalau kami akan menetap di Liberio untuk sementara waktu, mulai.. sekitar tiga bulan lagi."
"Apa?"
Levi yang baru memasuki ruangan, menumbuk kepala Mikasa dengan kepalan tangannya. "Kenapa terkejut begitu?"
"Sampai kapan?"
"Satu bulan selepas aku melahirkan bayi ini."
Bibir Mikasa mengerucut, dia memicingkan tatapan tajamnya pada sang kapten, memberi tanda kalau dirinya sedang marah besar terhadapnya saat ini.
"Ini pasti usulan Kapten, kan?"
"Iya, kenapa? Peralatan Rumah Sakit di Liberio lebih maju, jadi itu bagus, bukan?"
"Apa Tuan Westgard sudah tahu?"
Levi dan (Y/N) bertukar pandang.
Oh. Sial.
Mati kita.
***
"Cucu?" Hector berkedip, terpukau mendengar pernyataan tersebut. "Yang benar?"
"Jadi, apa kau akan beri kami izin?"
"Kalau begitu, segera langsungkan pernikahan kalian." Mendadak wajah pria paruh baya itu bergulir serius. "Akhir pekan ini. Aku tak menerima penolakan."
"Kau nggak.. marah karena aku telah melalukan ini terhadap putrimu?"
Tertawa, Hector lalu menghela napas. "Marah? Tentu saja aku marah, Ackerman-- bukan. Tepatnya, aku kecewa. Tapi kalian sama-sama orang dewasa. Kalian yang menentukan sendiri hidup kalian akan seperti apa, baik atau buruk. Toh semua tidak akan terjadi jika kalian sama-sama tidak menginginkannya, bukan?"
"Benar. Maaf." Levi mengangguk. Tanpa diduga, pria itu secara tiba-tiba turun berlutut kepada Hector, ayah dari wanita yang begitu dicintainya yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan lemah. "Aku akan menjaganya."
Hector terkejut dengan tingkah Levi, langsung membantunya untuk kembali berdiri. Mengangguk, pria itu tersenyum selagi memandangi kekasih dari putrinya tersayang itu dengan kedua matanya yang terlihat berkaca-kaca.
"Kau sangat mencintainya, huh?"
"Aku mencintainya." Levi menjawab, penuh dengan keyakinan.
"Hmm," Pria paruh baya itu terkekeh. "Aku tahu, aku bisa melihatnya."
Setelah itu, Levi menepuk pundak Hector sejenak sebelum berbalik menuju pintu. Sekali lagi, sebelum keluar, dia menoleh kepadanya.
"Pak tua," Panggilnya, membuat pria yang saat ini tengah sibuk menyeka air matanya, mengadah menyahuti panggilannya. "Terima kasih."
Hector membuka mulutnya untuk bicara, tapi langsung kembali mengurungkannya. "Ya, ya. Sama-sama. Cepat keluar dan tutup pintunya."
***
Dengan langkah cepat dan hati-hati, Levi bergerak menghampiri pintu kamarnya dan mendapati (Y/N) sedang duduk di ujung ranjang, tampaknya telah terhanyut dalam pikirannya yang entah apa.
"Aku kira ayah sudah membunuhmu di dalam sana." Goda (Y/N), bangkit dan menyambut Levi dengan pelukan.
"Aku juga pikir begitu." Gumam Levi, membalas pelukannya. "Dia menangis."
"Huh? Kau mengancamnya?"
"Bocah, jaga bicaramu."
Pria itu menggelitik tubuhnya, membuat keduanya sampai terlempar ke atas ranjang. Kini mereka berbaring bersebelahan dengan tangan yang saling menggenggam satu sama lain.
Jika aku pernah melakukan hal yang tepat sekali saja dalam hidupku, kurasa itu adalah saat aku membuka hatiku kepadanya, batin Levi, berguling untuk menemui wajahnya.
"Oi."
"Hm?"
"Istriku."
Kata-kata itu membuat (Y/N) memerah, dia mencubit kedua pipi Levi sambil tertawa. "Hee~ Apaan, tuh?!"
"Kurasa panggilan itu terlalu kaku, kurang cocok untukmu. Mari cari panggilan lain."
"Untuk apa?"
"Entahlah. Aku hanya kepikiran."
"Bagaimana kalau 'sayangku'?"
"Cih. Itu menggelikan." Levi bergedik, menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Memangnya kau tidak menyayangiku?"
"Bocah, kenapa kau terus mengatakan omong kosong seperti itu? Tentu saja aku menyayangimu." Gertaknya.
"Hehe, aku tahu, kok! Aku kan cuma bercanda, dasar kaku."
"Tapi, kau menyukainya?"
"Apa?"
"Panggilan itu-- 'sayangku', maksudku."
"Yah, aku sih menyukainya--"
"Baiklah, sayangku."
(Y/N) menyembur tawa mendengarnya, nyaris tersedak. "Hahahaha!"
"Jangan tertawa," Levi menghela napas berat. "Kau bilang kau menyukainya. Aku hanya--"
"Aku menyukainya. Terdengar agak menggelikan, tapi itu sungguh manis! Ayo, panggil aku seperti itu lagi!"
"Sayangku," Levi memutar bola mata sejenak, menyerang (Y/N) dengan gelitikan mautnya. "Sayangku. Sayangku. Kau sudah puas, huh?"
"Hahahahaha! Hentikan, geli!"
"Sayangku. Sayangku."
"Haha! Levi sayangku~"
"Hentikan. Kalau kau yang bilang, jadi terdengar semakin menggelikan."
"Sayaaaangkuuu~"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top