Satu
"Apa pun itu.. Semua akan baik-baik saja."
Kata-katanya terngiang di kepala. Aku masih ingat cara bola mata peraknya yang bersinar menatapku, dan wajah dinginnya yang memudar saat aku tak sengaja menangis di hadapannya. Dia benar-benar misterius, dan aku sangat-sangat menyukai itu. Bukan. Tepatnya, aku jatuh cinta.
Aneh? Mungkin. Untuk gadis berusia sembilan belas tahun, menyukai seorang pria yang sekiranya usianya di atas tiga puluh tahun. Memang absurd. Tapi kalau diingat-ingat, sejak dulu aku selalu menyukai pria yang lebih dewasa.
Well, cinta pertamaku adalah seorang guru sains di sekolah menengahku. Namun, seperti kisah cinta kebanyakan, cinta pertamaku tidak terwujud. Dia menikah dengan seorang guru sekolah dasar.
Beberapa kali aku sempat jatuh cinta, dan setiap aku merasakannya, selalu saja dengan pria-pria yang berusia cukup jauh dariku. Yah, mereka memang punya daya tarik tersendiri, kurasa.
Tapi— Levi Ackerman. Aku tidak pernah jatuh cinta secepat itu pada seseorang. Entah ada sesuatu di matanya yang membuat jantungku berdebar liar. Jujur saja, sejatuh-jatuhnya aku pada seseorang, aku tidak pernah merasa seperti ini. Ini sih gila banget.
"(Y/N)?" Suara Ayah menarikku kembali pada kenyataan. Ia membuka pintu sambil menenteng makan malamku.
Aku baru ingat kalau aku sedang demam. Itu karena kecerobohanku sendiri yang lupa membawa payung, padahal sedang musim hujan.
"Ayah sudah pulang," Kataku, berusaha bangkit, namun ia menahanku supaya tetap berbaring.
"Iya, hari ini Bar tutup cepat." Ayah meletakkan punggung tangannya di keningku untuk memeriksa suhu tubuhku. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku hanya sedikit lemas, Yah."
"Jangan lupa makan malam, dan istirahatlah yang cukup." Dikecupnya keningku, lalu ia tersenyum. "Kehilangan pekerjaan, bukan berarti kehilangan segalanya. Santai saja, nak."
"Ya," Aku bergumam lalu memeluknya. "Terima kasih, Yah."
"Sama-sama. Selamat malam, putriku yang cantik."
"Selamat malam, Ayah."
Pintu menutup, namun membuka lagi beberapa menit kemudian. Dari suara langkah kakinya di luar saja aku sudah menduga siapa itu. Phel. Si jangkung pengusik yang menjengkelkan. Biar begitu, aku sangat menyayanginya.
Phelle Elton. Maksudku, Phelle Westgard. Dia kakakku, namun kami sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Dia bahkan bukan anggota keluarga Westgard secara resmi.
Rumit. Mulanya, seperti ini, ibuku pernah menikah sebelum bertemu Ayah, mantan suami ibuku pernah menikah dan memiliki seorang putra, itu beberapa waktu sebelum orang itu bertemu Ibu.
Kurang lebih, secara singkatnya, Phel adalah anak tiri dari ibuku. Lalu setelah mantan suami Ibu wafat karena suatu penyakit, ia mempercayakan Phel padanya.
Bertemu dengan Ayah dan menikah, Ayah sangat menyayangi Phel seperti putranya sendiri. Bahkan membiarkannya memakai nama Westgard. Sampai kini, aku juga belum tahu kenapa dia tidak memakai nama Elton. Mungkin ada sesuatu dari nama itu— Yang jelas Phelle tidak pernah ingin membahasnya.
Setelah Ayah dan ibuku bercerai, Ibu sempat membawa Phel ke Sina, tempat ia dan suami barunya tinggal. Ibu menikah lagi dengan seorang pria Bangsawan, awalnya Ayah tidak khawatir karena Phelle pasti akan bahagia, dan kehidupannya akan terjamin. Namun saat berusia enam belas tahun, Phel melarikan diri ke Shinganshina, rumah kami. Dia meninggalkan Sina karena tidak tahan dengan kehidupan bangsawan yang serba mewah dan palsu. Yah, aku sih sudah jelas akan kabur juga kalau jadi dia.
"Adikku, adikku~" Dia berlari dari pintu dan duduk di tepi ranjangku. Tangannya yang panjang menyelimutiku, hangat, tapi aku tetap ingin menendangnya.
"Lepas, aduh!" Geramku sambil menggeliat. Tapi bukannya melepaskanku, pelukannya malah semakin menjadi-jadi.
"Hey, tahu tidak seberapa khawatirnya aku? Bersikap manislah sedikit pada kakakmu ini!" Dia mengerucutkan bibirnya, namun saat menyadari tatapanku yang seperti ingin menerkamnya, pria itu segera berhenti.
"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu."
Phel memutar bola matanya dan meraih tanganku. "Bagaimana? Apa yang kau rasakan? Pusing? Menggigil?" Dia mengganti topik pembicaraan.
"Sejauh ini aku baik-baik saja. Tapi jadi pusing sejak melihatmu."
"Wow, itu kasar sekali, bung!" Gertaknya, menggelitik leherku.
Aku tertawa dan membalas pelukannya. Seberapa nyebelinnya dia, dan seberapa seringnya kami bertengkar, aku selalu tahu kalau diriku ini adalah bintang kecilnya. Dan dia juga tahu bahwa aku selalu menyayanginya.
"Aku bercanda. Aku baik-baik saja, sunggguh." Aku menghela napas dan beranjak bangun.
"Serius? Tapi tubuhmu panas banget, loh?"
"Karena aku habis melihat orang ganteng.." Gumamku, seketika wajah Levi kembali menghantuiku.
"Siapa?" Terkejut, ia ikut berdiri bersamaku. "Siapa yang kau sebut ganteng ini, huh?"
"Phel, apa kau.. Mengenal Levi Ackerman?" Aku tergugup.
"Kenapa?"
"Jawab saja, dasar pria ini!" Aku mengerang frustasi.
"Aku lumayan mengenalnya, karena dia sering mampir ke Bar." Jawabnya, nadanya tidak terdengar sebersemangat sebelumnya, tapi dia tertawa.
"Aku berpapasan dengannya saat pulang tadi," Tanpa sadar aku tersenyum lebar. "Dia ganteng banget!"
"Huh?"
"Serius, Phel! Dia ganteng banget meskipun pendek!"
"Apanya yang ganteng? Dia itu pelanggan paling banyak maunya, tahu?" Phel menggeleng.
"Tapi dia ganteng!"
"Tapi dia nyebelin, (Y/N)!"
"Ketampanan di atas segalanya, titik." Aku menjulurkan lidahku padanya, dan alih-alih menggertak seperti biasa, Phel hanya diam dan mengangkat bahunya.
Aku kembali ke ranjang dan mengambil makan malamku. Bocah dungu itu tidak pergi, dia tetap duduk dan memelototiku. Terkadang aku lupa kalau dia menyebalkan.
"Kenapa masih disini?" Tanyaku dengan mulut penuh nasi.
"Aku akan menunggu sampai kau tidur."
"Aku tidak mau tidur."
"Kalau begitu aku juga tidak mau pergi."
"Ha, lucu sekali." Aku mengangguk-angguk, tak habis pikir dengannya. "Tunggu dan duduk lah di sana sampai jadi tulang belulang."
Bocah itu merebahkan dirinya di atas sofa dengan suara yang keras, bertumpu pada sikunya. "Kalau melihatmu mengunyah sambil bicara, aku seperti menonton babi yang sedang makan."
"Kalau mendengarmu bicara, aku seperti mendengar monyet yang berteriak." Balasku, tak mau kalah.
"Masih mending monyet daripada babi." Phel tak menyerah, tapi aku menyerah.
"Iya, terserah." Balasku sambil melahap habis makanan yang tersisa dalam satu suapan. Orang mana pun yang melihatnya mungkin akan tersedak.
Keheningan menyelimuti ruangan. Phel tidak melakukan apa pun kecuali membolak-balik koran harianku. Mulutnya membuka dan menutup untuk beberapa kali, berjuang untuk mengatakan sesuatu.
"Kau di pecat?" Pas sekali. Dia akhirnya bicara.
"Begitulah. Gajiku lumayan besar di sana, jadi si pria tua bodoh tukang main judi itu tidak sanggup membayarku." Jelasku, tertunduk.
Kusadari Phel merasakan pukulan rasa bersalahnya terhadapku— Mungkin lebih seperti iba. Untuk saat ini, memang sulit menerima kenyataan bahwa aku adalah seorang pengangguran. Bisa saja aku bekerja untuk Bar milik Ayah, tapi aku tidak mau. Tepatnya, tidak cocok.
"Maaf aku malah menanyakannya langsung, padahal aku sudah tahu." Wajahnya melembut. "Tapi, apa kau baik-baik saja?"
"Seseorang mengatakan sesuatu padaku hari ini, kalau semua akan baik-baik saja," Aku berhenti sesaat untuk tersenyum. "Jadi, aku akan baik-baik saja, Phel."
Benar.
Semua akan baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top