Lima Belas
WARNING! 16+
Sesosok ayah yang tegas namun penyayang itu muncul. Badannya selalu tegak, langkahnya tenang, pelan, namun menyeramkan. Mungkin itu sebagai pengingat siapa dirinya dulu.
Dia merangkul Levi sampai ke balkon, lalu bersandar pada pagar pelindung. Satu tangannya menumpu tubuhnya ke pagar, satunya lagi menggenggam sebatang tembakau.
"Kau merokok?" Tanyanya sambil menawarkan beberapa batang.
"Tidak, terima kasih." Levi menggeleng.
"Tidak keberatan, kan, kalau aku merokok di depanmu?"
"Tentu saja, jangan khawatir, tuan West--"
"Hector." Dia menyela. "Panggil saja namaku dengan santai."
"Baiklah, Hector."
"Jadi.." Dia bergumam sesaat sambil menghisap rokoknya, menghembuskan asapnya ke udara lalu melanjutkan. "Kayaknya kalian bukan teman biasa, ya?"
"Kita.. Teman," Levi berdeham, menutup mulutnya dengan kepalan tangan. "Lumayan dekat."
"Santai saja, sih? Pacaran juga tidak apa-apa, kok." Hector memuntahkan tawa.
Apa? Dia..
"Kita tidak seperti.. Itu."
"Kenapa tidak? Kau kan juga suka pada putriku."
Levi tersedak. "Apa?"
"Hey. Aku sudah hidup selama setengah abad, Levi Ackerman. Aku tahu seperti apa tingkah orang jatuh cinta." Ia terkekeh lalu menepuk punggung Levi, seperti seorang ayah yang tengah menasihati putranya. "Aku tahu apa yang kau khawatirkan, tapi aku ingin kau tahu kalau.. Tidak apa-apa."
"Ya.." Merasa tertampar, Levi menoleh dan menatapnya.
Aku menyukai putrimu, Hector.
***
Phel menutup pintu kamar gadis itu, berjalan sempoyongan ke arah kasur dan merebahkan tubuh di sisi sang adik. (Y/N) yang masih seru dengan buku bacaannya hanya menghela napas dan memutar bola mata.
"Ngapain, sih? Kau kan punya kamar sendiri." Ucap (Y/N), mengalihkan pandangannya sesaat.
"Aku masih rindu padamu." Kepala Phel bergeser menindih punggung bocah itu. "Kenapa, sih, kau galak sekali padaku?"
"Nggak tahu juga, ya? Mungkin karena tingkahmu nyebelin, membuatku ingin marah-marah terus. Lagi pula, tentu saja aku menyayangimu, aku kan hanya bercanda." Ujarnya tanpa basa-basi, membuat Phel gemas dan memeluknya seperti bantal.
"Iyakah? Lucunya~ Kalau begitu, apakah aku boleh meminta sesuatu padamu?"
"Apa?" (Y/N) memutar tubuhnya dan menghadap sang kakak. "Kalau kau minta yang mahal-mahal aku akan menendang anu mu."
"Kau tidak perlu mengeluarkan uang, kok." Phel terkekeh dan mengangkat wajah gadis itu dengan jemarinya yang panjang. "Aku ingin kau menganggapku sebagai seorang pria.. Mulai sekarang."
"Apa? Hee~ Memangnya selama ini kau apa? Wanita?" Tanya (Y/N), tak mengerti.
"Bukan itu, otak udang." Gertaknya sambil menggelitik perut gadis itu. "Maksudku.."
"Apa, huh?"
"Aku ini.. Hanya pria yang sudah seperti kakak bagimu, kan?" Phel kembali menarik (Y/N), terpejam. "Berhentilah menganggapku seperti itu."
"Lalu, kau ingin aku menganggapmu seperti apa, huh, bambu jangkung?" (Y/N) membalas pelukannya, keningnya bersandar pada dada pria itu-- Merasakan jantungnya berdetak kencang di balik sana.
"Seperti seorang pria.." Dia meragu sesaat, lalu berbisik. "Yang sejak lama cintanya bertepuk sebelah tangan padamu." Bisikan itu sangat kecil, bahkan (Y/N) tak dapat mendengarnya.
"Huh? Kau bilang apa, sih?"
"Seperti seorang pria yang tampan, itu maksudku." Phel melepas pelukannya dan tercengir.
"Apaan, sih?" (Y/N) menyembur tawa. "Gurauanmu jelek sekali--"
"Tapi.." Phel memotongnya, kali ini suaranya lebih tegas.
"Tapi?"
"Apa kau pernah membayangkan," Phel menutupi wajah merahnya. "Tentang pernikahan?"
"Pernikahan? Aku? Dengan siapa? Pohon?" (Y/N) melemparkan senyuman sinis pada sang kakak.
"M-Misalnya denganku?" Gumam pria itu. "Ini hanya misalnya.. Jika kita berjodoh, dan suatu hari saling jatuh cinta, apa yang akan kau lakukan?"
"Ya kita tinggal menikah saja, apa itu sulit?"
"Cih, anak ini." Kelegaan.. Secara diam-diam membanjiri dada Phel. "Memang kau tidak merasa aneh? Karena.. Kau tahu, kita kan tumbuh bersama seperti adik kakak."
"Tapi nyatanya kita bukan adik kakak, kan?" (Y/N) memutar bola matanya. "Lagi pula kenapa kau serius begitu, padahal cuma permisalan? Apa jangan-jangan kau naksir padaku, huh? Aneh-aneh saja--"
"Hmm." Phel terduduk, memerah, menepuk kepala (Y/N) lalu berjalan keluar meninggalkan ruangan.
Hah..
Pria gila..
Apa maksudnya?
***
Cih-- Sinting.
Levi berbalik, menjauhi pintu saat mendengar langkah kaki yang mendekat. Dia tidak berniat menguping-- Saat itu Levi hendak berpamitan dan tak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
"Eh? Apa yang kau lakukan di sana?" Phel tersentak saat pintu membuka dan tatapan mereka bertemu.
"Aku ingin berpamitan dengan (Y/N)."
"Oh, ya sudah." Phel menepuk pundaknya sembari lalu dan pergi. "Hati-hati di perjalanan pulang."
"Hee~ Sudah mau pulang?" (Y/N) menghambur keluar. "Padahal aku masih mau ngobrol denganmu, loh."
"Ini sudah malam, (Y/N)." Lirih Levi.
"Tapi.." (Y/N) mengerucutkan bibirnya, tertunduk, dan menyerah. "Ya sudah, deh."
"Memangnya kau tidak ngantuk?" Levi agak menunduk untuk menemui tatapannya, jari tengah dan jari telunjuknya menyapu pipi bocah itu. "(Y/N)?"
"Nggak."
"Besok mau bertemu di taman?"
"Lagi malas keluar."
"Kau marah padaku?"
"Nggak."
"Yang benar?"
"Benar."
"Yakin?"
"Yakin."
"Ya sudah, ayo kita ngobrol sebentar." Levi tersenyum samar, tangannya merecoki rambut gadis itu.
"Tadi katanya sudah malam."
"Jadi, kau nggak mau?"
"M-Mau! Tapi--"
Kali ini, Levi menarik tangannya lebih dulu, menggenggamnya erat seolah dia tidak akan bisa melakukannya lagi besok-besok.
"Ayo. Sebentar saja tidak masalah."
"Y-Ya.."
(Y/N) membawa Levi masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Jantungnya terasa nyeri setiap kali tatapan mereka bertemu.
Fakta bahwa mereka hanya teman, dan fakta bahwa cara mereka berinteraksi fisik yang tidak seperti 'teman' pada umumnya, sangat mengganggu pikiran (Y/N). Ingin menjerit, ingin menangis, gadis itu tetap memaksakan diri untuk tersenyum.
"Jadi, kalian bicara apa saja tadi?" Levi memulai.
"Tidak banyak." (Y/N) mengedikkan bahu. "Phel.. Agak aneh."
"Mau cerita?"
"Tidak."
Levi tersenyum dan menghela napas. "Baiklah, bocah."
"Tapi, Levi, apa aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa itu?"
(Y/N) mendongak dan menatap matanya. "Apa kau pernah ciuman?"
"Apa?" Levi tersedak dengan pertanyaan itu.
"Aku cuma ingin bertanya saja. Kalau aku, sih.. Pernah sekali, tapi.."
"Kau pernah ciuman? Dengan siapa?" Levi memotong, matanya membulat lebar.
"Dengan Ken, tapi itu sebuah kecelakaan, dan aku bahkan tidak merasakan apa-apa." (Y/N) menghela napas. "Padahal, kata orang-orang, ciuman pertama itu--"
Bibir Levi menyambar bibir (Y/N). Tatapannya yang dingin meleleh, merekah menjadi sebuah tatapan hangat. Perlahan-lahan, (Y/N) mulai membuka mulutnya, memberi akses supaya Levi bisa menciumnya dengan benar.
"Woah.." (Y/N) memerah, menarik diri sesaat sebelum Levi kembali menyambarnya, kecupannya kali ini agak agresif, namun sangat lembut.
"Sekarang aku sudah pernah," Levi melepaskannya dan menyandarkan keningnya di leher gadis itu. "Untuk pertama kali."
"Huh? Tunggu, Levi, kenapa kau melakukan ini?!"
"(Y/N)."
Gadis itu tidak berkata apa-apa. Bukan. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Levi menatapnya sangat serius saat ini. Yah, bukannya dia tidak senang, tapi kalau dipikir-pikir, siapa juga yang tidak bingung jika orang yang baru saja menolakmu tiba-tiba menciummu?
"(Y/N)."
Pemilik dari nama tersebut menyahut dengan gumaman singkat, telunjuknya menyentuh dagu Levi, mengangkat pandangan pria itu untuk menemui tatapannya.
"(Y/N)."
"Mau sampai berapa kali kau memanggil namaku, Levi?"
"(Y/N)."
(Y/N) mengerutkan alisnya, merasa kesal. Ia melepas sentuhannya dan sedikit bergeser, namun Levi kembali menariknya ke posisi semula. Wajahnya perlahan semakin dekat. Lalu, bibir mereka bersentuhan lagi. Itu seharusnya hanya menjadi sebuah ciuman ringan, namun ketika bibir mereka menyatu, Levi merasakan kepalanya mendadak kosong. Jantungnya meledak-ledak.
"Beri aku jawaban, maka kita pacaran."
"Jawaban seperti apa yang kau inginkan?"
"Kalau terjadi sesuatu di antara kita, apa kau akan meninggalkanku?"
Mata (Y/N) menerawang, lalu ia terkekeh. "Sesuatu itu, seperti apa? Kalau kau selingkuh? Tentu saja aku--"
"Aku tidak akan selingkuh darimu, bocah. Aku janji." Desaknya. "Tapi, jawab pertanyaanku."
"Aku.. Tentu saja tidak akan meninggalkanmu." (Y/N) tercengir, wajahnya yang semerah tomat membuat Levi tak kuasa menahan tawa.
Pria itu lalu menariknya ke dalam sebuah pelukan yang panjang. (Y/N) bisa merasakan hawa napas Levi yang panas menyapu kulitnya.
"Jadi, sekarang kita pacaran?" Tanya gadis itu dengan wajah polosnya. Pemandangan itu membuat Levi ingin mengecupnya sekali lagi, namun pada akhirnya ia menahan diri.
Levi berjuang, menarik napas sedalam-dalamnya lalu mengangguk. "Hari ini dan seterusnya, aku milikmu. Hari ini dan seterusnya juga, kau milikku, bocah."
Sambil tersenyum, (Y/N) menyeka air mata yang mengalir di pipinya-- Itu bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan. (Y/N) merasa sangat senang karena cinta bertepuk sebelah tangannya telah terbalas.
"Hey, kenapa menangis?"
"A-Aku menangis karena senang."
"Kalau senang kenapa kau menangis, bocah?" Kata pria itu seraya mengelus-elus punggung (Y/N) dengan lembut sampai bocah itu tenang.
"Ahh! Aku malu banget."
"Kenapa malu?"
"Soalnya aku pasti terlihat sangat jelek kalau menangis."
Levi terkekeh pelan dan mengelus kepalanya. "Tidak."
"Yang benar?"
"Kupikir urat malumu sudah putus, ternyata masih bisa malu juga."
"Eh? Parah banget~" (Y/N) tertawa lebar, dan tawa itu membawa rasa lega bagi Levi.
"Jadi, apa aku sudah boleh pulang, nona cilik?" Tanya Levi sambil menarik pipinya. "Ini sudah hampir tengah malam."
Gadis itu menghela napas berat lalu tersenyum. "Yasudah, deh.."
"Hey, bocah."
(Y/N) mengira Levi akan memarahinya habis-habisan karena bertingkah kekanakkan, tapi ternyata ia malah mendapatkan kecupan yang tak terduga di pipinya.
"Sampai jumpa besok."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top