Lima
Aku berjuang menjajari langkah pria itu, namun dia berjalan dengan sangat cepat, seakan enggan memberi kesempatan untukku berdampingan dengannya.
Setelah mempertimbangkan cukup lama, aku memutuskan untuk menutup mulut dan berbalik arah. Kalau boleh jujur, di satu sisi, aku capek banget dengan perlakuannya yang tidak jelas itu. Tapi.. Di sisi lainnya, aku juga tidak bisa menyerah.
"Sebenarnya, kenapa kau begitu tertarik?" Tanyanya tiba-tiba, entah sejak kapan ia ada di belakangku. "Apa alasanmu menyukaiku?"
"Aku mencintaimu, tuan Levi." Kataku, membuatnya terkesiap. "Bagiku, tidak butuh alasan untuk mencintai seseorang."
"Aku ini orang asing, bocah." Tuan Levi memandangku lurus-lurus dengan tegas.
"Terus? Aku serius, kok."
Memang. Aku jatuh cinta padanya sejak kita pertama kali bertemu, mungkin hal itu sulit dipercaya. Tapi, aku bisa apa dengan perasaanku? Memang benar, kok, aku mencintainya.
"Ya.. Ya sudah, terserah saja." Kata tuan Levi, sambil lanjut berjalan ke arahku.
"Jadi, apa kau sudah menyukaiku?"
"Tidak."
"Hee~ Tapi kau oke oke saja saat aku bilang aku mencintaimu." Aku tergelak sesaat melihat wajahnya memerah. "Kau pasti sangat berdebar saat ini, kan?"
"Sok tahu." Gertaknya.
"Wajahmu merah banget, loh, tuan Levi!" Seruku, mengolok-oloknya.
"Cuaca hari ini memang sedang panas, (Y/N). Memang kau tidak kepanasan?"
Aku menoleh ke atas melihat langit berawan yang mendung dan suram, lalu tertawa. "Panas apanya?"
Tuan Levi mendesah putus asa dan bersandar pada dinding di sisi kanannya. "Pokoknya, hari ini panas."
Aku menarik udara masuk hingga paru-paruku rasanya nyaris meledak, lalu menghembuskannya ke wajah tuan Levi. Saat angin menyapunya, kudapati pria itu tertawa kecil.
"Dingin, tidak?"
"Itu namanya jorok, dasar aneh."
"Mau lagi?"
"Sudah, sudah." Selanya, lalu raut wajahnya kembali seperti semula.
"Jadi.. Setelah ini, kau akan kemana?"
"Entah. Mungkin pulang ke rumah." Pria itu mengangkat bahunya.
"Kalau di rumah, apa yang kau lakukan?"
"Rapih-rapih, pokoknya apa pun yang menyibukkan." Dia menepuk telapak tangannya ke kepalaku. "Kau bawel banget, ya, bocah."
"Ih, itu pasti membosankan." Gumamku sambil membayangkan semua hal itu.
"Yah, hanya itu yang bisa dilakukan."
Aku menunduk menatap kedua kaki sebelum mendongak kembali memandangnya. Aku ragu untuk mengatakannya, tapi aku tak tahan.
"Tuan Levi, aku boleh sering-sering main denganmu, tidak?"
"Apa? Main? Memangnya aku anak kecil?" Protesnya.
"Maksudku, seperti jalan-jalan, makan, mencari hiburan.."
"Aku tidak tertarik." Balas tuan Levi dengan datar.
"Ayolah!"
"Memang kenapa kau mau melakukan semua itu denganku?"
"Karena aku ingin membuatmu bahagia, tuan Levi!"
Pria itu terdiam-- mati kutu. Dan dari matanya yang jatuh ke tanah, aku merasakan sebuah kesedihan yang tiba-tiba.
"T-Tapi kalau kau tidak mau, aku tak akan memaksa, kok!" Tambahku sambil melambaikan tangan. "Maaf."
"Oi, bocah."
"Eh? Ya?"
"Kau ini.. Apa benar-benar suka, atau rasamu itu hanya sekedar kasihan saja melihatku?"
Deg-
"T-Tentu saja karena aku benar-benar suka padamu, tuan Levi!" Ujarku, tapi dia tak mengangkat sedikit pun pandangannya padaku.
"Aku pulang dulu."
Hanya itu. Tiga kata.
Kekecewaan menyelimutiku-- Sebelumnya aku mengira kalau aku mengatakan itu, dia akan menerima tawaranku, atau setidaknya mau sedikit terbuka padaku. Tapi, perkiraan itu tidak benar. Aku memandangnya dengan hati mencelus.
Dia beranjak, langkahnya sudah semakin jauh. Tapi kali ini, aku tidak merasa ingin mengejarnya. Aku ingin pulang.
***
"Aku pulang." Ucapku sambil lalu, melempar tas selempangku ke atas bangku, di sisi Phel.
Pria yang tengah sibuk dengan korannya itu melonjak kaget. Alisnya mengkerut, namun kembali mengendur saat tatapannya menemui wajahku.
"Hey, selamat datang." Katanya sambil melipat koran dan menggeser bokongnya supaya aku bisa ikut duduk di sisinya. "Kenapa dengan mukamu itu?"
"Tidak ada," Aku menyahut sambil mendesah putus asa.
"Mukamu seperti orang habis putus cinta saja, sih." Si dungu itu tertawa, menepuk punggungku. "Semangat, dong."
Aku memandang Phel dengan lekat. Aku ingin menceritakan apa yang terjadi, tetapi tidak jadi. Sebaliknya, aku hanya mengangguk dan tumbang. Kepalaku bertumpu pada pahanya, terpejam sesaat, lalu membiarkan jemariku bermain pada rambut hitam panjangnya yang menjuntai ke bawah.
"(Y/N)?" Tanyanya, mendekat dengan sambil mengerutkan kening. "Ada apa, sih, denganmu? Wajahmu sepucat hantu."
Aku menggelengkan kepala, menyadarkan diri. "Tidak apa-apa, Phel."
"Kalau terjadi sesuatu, kau bisa bilang padaku."
Tatapan penuh kecemasan itu membuatku merasa nyaman. Dan, entah kenapa, aku akhirnya menangis. Aku lelah. Aku tidak ingin kepikiran.
"Sebenarnya, Phel, aku di tolak."
"Apa?!" Dia tersedak. "Oleh siapa? Jangan bilang-"
"Tuan Levi." Aku menyeka mata lalu bangun ke posisi semula. "Itu sudah lama, hanya saja aku tidak menyerah. Tapi, tadi-"
"Aku sudah peringatkan dari awal, tapi kau tak mau dengar." Pria itu menghela napas panjang, lalu menyisir rambutku dengan sela-sela jarinya. "Sudah, jangan menangis."
"Iya.."
"Ayah bakal marah besar kalau tahu tentang ini, tahu."
"Jangan kasih tahu Ayah, Phel."
"Aku hanya peringatkan saja, boncel." Phel tertawa. "Lagian, jatuh cinta pada seorang pria yang belasan tahun lebih tua itu bukannya agak.. Aneh, ya?"
"Memangnya yang seperti itu penting?"
"Duh, kau itu seperti baru pertama kali jatuh cinta saja, sih." Gertaknya sambil menggelitik leherku.
"Daripada kau, seperti tidak pernah jatuh cinta." Balasku, melawan gelitikannya.
"Kau tuh, yang sok tahu!"
"Aku tahu, dasar jangkung kerempeng!"
"Apa?! Jaga ucapanmu, dasar gumpalan kentut!"
"Ih, nyebelin!"
"Kau-"
"(Y/N)." Kenneth datang, akhirnya memecah pergulatan kami.
"Eh? Ya?"
"Ada seseorang yang menunggumu di Bar." Pria itu menyeringai.
"Siapa?" Alih-alih aku, Phel menyahut lebih cepat.
"Lihat saja. Kau jangan ikut-ikut, Phel." Gerutu Ken padanya.
Aku mendorong Phel sekali lagi, membuat tubuhnya terhempas ke bangku, kemudian aku berlari ke lantai satu. Aku tidak ingat pernah punya teman, lantas siapa yang mencariku di saat seperti ini--
"Tuan Levi?" Aku terbelalak saat melihat sosok itu di depan pintu.
"Ya. Ayo bicara sebentar."
"Tunggu." Suara Phel, lagi-lagi mengusikku. Dia berlari dari lantai dua dan berhenti tepat di sampingku.
"Phel, pergi sana!" Aku mendorong Phel, namun pijakan pria itu masih kukuh.
"Apa yang ingin kau bicarakan pada adikku, huh?" Geramnya serius.
"Ini urusanku dengannya."
"Jangan mengganggunya."
"Aku tidak mengganggunya, Phelle Elton."
"Jaga bicaramu, Levi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top