Enam Belas
Levi membanting pintu kamar dengan kasar, napasnya tersengal, padahal ia tidak habis berlari. Tak lama kemudian, ia melepas jas nya, lalu memelesat ke dapur untuk menyeduh teh dan duduk santai di tepi jendela.
Pikiran tentang dirinya dan gadis itu sudah berpacaran membuat jantungnya berdebar liar. Padahal, sejak awal, Levi sendiri yang tak berniat untuk membalas perasaan gadis itu, tapi, pada akhirnya malah dirinya sendiri lah yang kalah telak.
Sekarang perasaanku tak tenang.
Pacar, huh?
***
Seperti pagi hari biasanya, (Y/N) keluar dari kamar untuk segelas air putih. Namun, saat kakinya menapak di ruang makan, alih-alih sang ayah atau kakaknya yang menjengkelkan menyambut dan mengatakan selamat pagi atau semacamnya, hari ini dia mendapatkan sosok yang berbeda.
Jika biasanya orang yang menyambutnya hanya berbalutkan kaos tidur atau kemeja kerja khas bapak-bapak dengan dasi bermotif yang dilengkapi pin, kini seorang pria dengan jas hitam polos lah yang didapatkannya.
Tangan kanan pria itu menggenggam cangkir teh dengan gaya yang tak wajar, sedangkan tangan kirinya bersembunyi di saku celananya. Punggungnya bersandar pada dinding di belakangnya, menghalangi separuh pencahayaan yang menerobos masuk dari jendela.
Siapa lagi dia kalau bukan Levi Ackerman.
"Kenapa melihatku dengan tatapan seperti itu?" Alih-alih ucapan selamat pagi sebagai basa-basi belaka, pria itu justru memberikan sapaan yang lebih blak-blakan dan mengarah langsung ke intinya.
"Hee~ Selamat pagi~" Sapa (Y/N) sambil menyeka matanya yang masih separuh ngantuk.
"Iya, pagi." Matanya menyapa gadis itu, tajam namun terasa hangat.
"Wow, aku agak kaget." Gadis itu terkekeh sambil menarik bangku di seberangnya.
"Kenapa?"
"Kau datang pagi sekali, Levi." Katanya.
Levi meletakkan cangkir tehnya ke meja dan berjalan mendekati (Y/N). Dia tersenyum singkat sambil tangannya mengacak-acak rambut gadis itu, membuatnya memerah.
"Bukan aku yang kepagian, tapi kau yang kesiangan, bocah."
Saat mendengar hentakkan kaki dari arah tangga, pria itu segera menarik diri dan kembali ke posisi semulanya. Berusaha sebaik mungkin tidak mengundang kecurigaan.
(Y/N) tertawa. "Kenapa panik begitu?"
"Aku tidak panik."
"Hee~ Masa, sih?"
"Maksudku, untuk jaga-jaga saja. Mereka belum tahu, kan?" Lirihnya, terdengar hampir lebih kecil dari sebuah bisikan.
"Aku berniat memberi tahu mereka hari ini. Tidak apa-apa, kan, Levi?"
Rona merah menyapu wajahnya. Namun, Levi segera berdehem dan menutupi separuh mukanya supaya gadis itu tak mengatakan hal aneh-aneh. "Sebetulnya ayahmu sudah tahu, karena kami sempat bicara sebelum ia pergi. Tapi kalau kau mau yang lainnya tahu.. Terserah saja."
"Serius, nih? Asyik!" Seru (Y/N) sambil terkikik.
Levi menggeleng-geleng kecil, lalu dagunya menunjuk ke arah sesuatu di meja dapur "Aku bawa pai ceri untukmu."
"Apa?!" (Y/N) tersentak, seolah nyawanya yang berharga ikut terlepas dari tubuhnya saking kagetnya. "K-Kok tahu?!"
"Aku hanya menebak-nebak saja, semoga kau suka--"
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Levi terpotong oleh pelukan dari gadis itu. Pelukan yang erat dan agak kekanakkan. Namun anehnya, Levi tak merasakan dorongan dalam dirinya untuk menghindar. Mau tidak mau mengakuinya, dia merasa nyaman.
"Terima kasih banyak, Levi! A-Aku suka banget!" Ujarnya dengan mata berbinar-binar. "Kau memang yang terbaik!"
"Cih. Itu bukan sesuatu yang besar, jangan berlebihan."
"Pagi-pagi sudah berisik ya, pengantin baru." Geram Ken yang baru datang. Tidak seperti (Y/N), Ken keluar dari kamarnya dalam kondisi sudah rapih. Rambut pirangnya yang masih agak basah tersisir rapih ke belakang, hari ini bocah itu memakai kemeja putih dan vest hitam khas pelayan bar.
"P-Pengantin? Jaga bicaramu, bocah ingusan!" Gerutu (Y/N), tak setuju.
"Bocah ingusan ngatain bocah ingusan. Sudah, ah. Berdebat denganmu pagi-pagi membuatku sakit lambung. Aku turut senang atas hubungan kalian, omong-omong." Balasnya, kemudian ia segera mengabaikannya dan turun ke lantai satu untuk merapihkan Bar.
"Dasar!" Geram gadis itu.
Levi berjuang menahan tawa saat (Y/N) lagi-lagi menampakkan ekspresi yang aneh. Gadis itu melipat kedua tangannya lalu berbalik menghadap Levi.
"Levi, kau sudah sarapan?"
"Sudah. Tadi ayahmu memberikanku beberapa kue kering."
Bibir gadis itu berpilin muram. "Hee~ Apakah itu bisa dihitung sarapan?"
"Sudah lah, tidak apa-apa."
"Mau kubuatkan sesuatu?"
"Tidak perlu, terima kasih."
"Serius?"
"(Y/N). Sudah kubilang, tidak apa-apa."
(Y/N) memandangnya cemas. Apakah Levi selalu hidup seperti ini? Pikirnya. Lalu ia berjalan ke arah lemari penyimpanan dan mengeluarkan beberapa bahan masakan.
"Aku lumayan bisa masak, jadi jangan khawatir, kau tidak akan diare. Pokoknya kau harus sarapan dengan benar, ya!"
Deg-- Levi merasakan jantungnya membuncah. Biasanya pria itu tidak suka jika seseorang memaksanya untuk melakukan sesuatu. Tapi entah kenapa, dengan gadis ini, dia tidak bisa melawan.
"Terserah kau saja, bawel."
"Aduh, kenapa malu-malu~ Tunggu, ya~"
Melihat situasi seperti ini, Levi lebih membayangkannya seperti seorang istri yang menyiapkan sarapan untuk sang suami yang akan berangkat kerja-- Tapi saat sadar pikirannya sudah kelewat batas, pria itu tersedak-sedak dengan wajah yang memerah.
"H-Hey, apa kau baik-baik saja?!" Gadis itu terbelalak, meninggalkan pekerjaan dapurnya sesaat untuk mengecek keadaan sang kekasih.
"Aku baik-baik saja."
"Waduh, wajahmu pucat!" (Y/N) menjorokkan wajahnya pada pria itu. "Levi, apa kau sungguhan baik-baik saja?!"
Muka (Y/N) tampak khawatir sekaligus bingung. Raut itu seolah sudah cukup mengatakan mengatakan bahwa dia sangat menyayangi pria itu dari lubuk hatinya.
"Aku hanya habis kepikiran suatu hal yang.. Agak memusingkan." Ujarnya sambil mengubrak-abrik rambutnya sendiri.
"Apa kau sedih?" Tanya gadis itu, wajahnya cemberut. "Jangan sedih, Levi."
"Bukan seperti itu, dasar bocah." Levi menghela napas dan menemui tatapannya yang hangat. Dia tersenyum samar sebelum melonjak karena tanpa sadar matanya telah bergeser turun ke bibir gadis itu.
"Baiklah, katakan saja jika kau butuh sesuatu, oke?" Ucap (Y/N), kedua tangannya menepuk masing-masing bahu pria itu sambil tersenyum.
Kembali pada aktivitasnya, kini gadis itu mengiris daun bawang, dan menumisnya di atas wajan bersamaan dengan telur yang sudah di kocok. Levi tertawa pelan karena tidak dapat mempercayai matanya-- Rasanya seperti melihat orang yang berbeda.
"Aku tidak tahu kau bisa masak." Goda pria itu.
"Sudah kubilang, aku lumayan bisa. Yah, setidaknya kau tidak akan terserang diare karena rasa masakanku." Balasnya sambil terkikik. Lalu ia kembali memfokuskan diri pada masakannya. "Jadi, apa kau suka peremuan yang bisa memasak?"
"Ah. Itu bukan suatu hal yang penting bagiku."
"Terus, perempuan seperti apa yang kau suka?" (Y/N) memerah, enggan menoleh padanya.
"Aku tidak punya ketentuan yang seperti itu, kurasa." Dia mengedikkan bahu. "Bagiku, kalau kita cocok, ya kita cocok. Aku tidak akan meminta pacarku harus bisa ini dan itu."
Perkataan itu membuat gadis itu tersedak. "Pacarku, huh?"
"Y-Yah, memangnya harus dipanggil seperti apa?" Geram Levi, raut wajahnya kesal.
"Aduh, aduh, itu manis sekali, loh!" (Y/N) memuntahkan tawa lalu melingkarkan kedua tangannya di tubuh Levi. Menyandarkan kepalanya pada dadanya yang bidang sambil tertawa riang.
"Oi, bocah. Perhatikan masakanmu, nanti hangus."
"Baik, baik~ Sedikit lagi matang, kok! Aku sudah tidak perlu membolak-balikannya, jadi kita bisa pelukan yang lama~"
"Apa? Dasar--"
Bruk! Sebuah debuman kasar tiba-tiba saja terdengar dari arah meja makan. Levi dan (Y/N) dengan cepat menoleh, mendapati Phel yang tengah mengernyit ke arah mereka di sana. Alisnya berkerut, dadanya naik turun tak teratur seperti sedang marah.
"A-Apa ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top