Empat
Entah setiap ngetik sambil boker, selalu mengalir ide untuk bikin cerita huhu
Anyways.. Selamat membaca.
***
Sentuhan di kening membuatku terbangun dan membuka mata. Itu adalah tangan Phel. Besar, kasar, namun sentuhannya lembut, meski orangnya tidak.
Tidak tahu apa yang si bodoh itu lakukan, kurasa dia sudah cukup lama berada di kamarku. Yah, sedari dulu dia memang sering masuk kamarku diam-diam dan mengusik ketenangan. Tapi kali ini, anehnya, dia tidak seberisik biasanya.
"Apa masalahmu, bung?!" Aku menggertak, bangkit dari posisi tidurku.
"Aku beli kudapan kesukaanmu."
Mendengarnya mengatakan 'kudapan', sebagai tukang makan, tentu saja aku tidak bisa menolak. Aku mengusap mataku, mengumpulkan kekuatan, lalu duduk ke tepi ranjang, di sisinya.
Aku selalu menyukai sisi kakakku yang seperti ini. Dia selalu pulang membawa sesuatu yang kusuka, atau sesuatu yang aku belum coba. Kadang-kadang, di hal-hal tertentu, dia adalah sosok kakak terbaik.
"Pai ceri, lalu aku juga membawakanmu menu baru," Dia membuka kotak yang khas dari toko kue favorit kami, dan dari kotak mungil itu, terpancar aroma butter yang menusuk penciuman kami. "Yang satu ini asin, tapi kurasa kau takkan kecewa."
"Wow." Aku ternganga mengagumi bentuk kudapan yang terlalu lucu untuk dimakan itu.
"Tadinya aku ingin kasih lihat saat pagi, tapi Ken bilang kau tidur sejak sore, jadi aku langsung membangunkanmu." Katanya sambil terkikik.
"Sial, aku ketiduran." Aku memandangi baju hitam-hitamku yang kupakai ke Pemakan. "Jam berapa ini?"
"Jam sebelas malam."
"Ayah sudah pulang, belum?" Sekujur tubuhku seketika merinding, seperti tepergok mencuri. Jika Ayah sudah pulang, tamat sudah riwayatku.
"Ayah ada urusan di luar kota." Phel menghembuskan napas panjang. "Akan kulaporkan pada Ayah kau tidak mandi sore."
"Hey! Dasar pengadu, memangnya berapa usiamu?! Lima tahun?!" Aku melonjak untuk mencekiknya. Cekikan itu tidak bertenaga, sekedar untuk main-main.
"Kau juga sering mengadu, kan? Tidak adil." Dia menggulingkan tubuhku ke lantai, dan seperti saat kanak-kanak dulu, kita beradu tinju.
Sesaat setelah pergulatan yang cukup seru itu, dia terdiam dan menatap lurus ke wajahku. Aku berguling kembali ke kasur hingga telentang sambil membalas pandangannya.
Seperti biasa, kalau tidak aneh, bukan Phel namanya. Dia membuang muka saat tatapan kami bertemu. Alisnya mengkerut seperti seorang bocah ingusan yang merajuk.
"Makan saja, sana." Ocehnya, sambil menyodorkan kudapanku. Dia berdiri, beranjak ke arah pintu.
"Besok pagi saja, tapi makasih, ya." Balasku sambil melambai padanya.
"Oh iya, (Y/N)," Phel berbalik lagi padaku, membungkuk sehingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. "Jangan mandi, sudah terlalu larut. Ganti baju dan kembalilah tidur."
"Beres, lagian aku memang tidak ada niat untuk mandi." Aku mengangkat bahu, membuat pria itu tertawa kecil.
"Kalau begitu aku keluar dulu. Kalau butuh sesuatu, aku ada di ruangan kerjaku." Katanya, menepuk kepalaku, lantas enyah.
"Oke."
"Selamat malam, (Y/N)."
"Malam."
Dia keluar dengan langkah yang tenang, dan kini keheningan di kamarku kembali lagi. Bosan, kosong, kesepian. Kadang perasaan seperti itu membuatku benci sendirian.
Tapi, omong-omong aku jadi penasaran. Tuan Levi sudah tidur belum, ya? Kalau belum, dia pasti sedang melakukan sesuatu yang keren, kan? Aku jadi ingin bertemu dengannya.
Setelah pertemuan hari ini, aku jadi menyadari sesuatu dari matanya. Dia kesepian. Dan jauh dari yang orang lain tahu, aku juga sama sepertinya.
Selamat malam, tuan Levi.
***
"Loh?" Aku terbelalak.
Di sini, di Taman Kota, aku bertemu tuan Levi. Mungkin dia tak menyadari keberadaanku, tapi aku melihatnya. Dia dengan seseorang dan.. Dia tertawa.
"Kenapa, (Y/N)?" Ken menyikutku, bingung dengan reaksiku yang tiba-tiba.
"Bukan apa-apa," Aku menggeleng sambil tercengir. "Ayo."
Berusaha tak memikirkannya, aku menarik pergelangan tangan Ken dan membawanya keluar dari Taman itu. Kesal. Aku merasa kesal. Dia tampak senang, tapi aku.. Sangat kesal.
"K-Kau kenapa, sih? Tiba-tiba begitu?!" Protesnya sambil mencengkeram bahuku.
"Aku lihat hantu di Taman."
"(Y/N), aku bukan anak kecil. Berhentilah bertingkah seperti Phel. Kalian menyebalkan, terkadang." Ken menggertak, tapi tak lama dia tertawa.
Yah, sejak dulu juga kita memang tidak bisa bertengkar.
"Kau tidak berbakat ngomel-ngomel, tahu? Jangan sok." Kataku sambil lalu. "Aku mau jalan-jalan sebentar, kalau mau pulang duluan, pulanglah, Ken."
"Tidak apa-apa, nih?"
"Iya."
"Kau yakin?"
"Yakin. Yakin banget. Sudah, sana pergi." Aku mendorong punggungnya dan pergi kabur. Aku tidak yakin dia akan mengikutiku lagi, dia itu pemalas.
Aku mengamati sekeliling untuk mencari Toko Bunga langgananku. Sedari kecil, kalau bosan, aku selalu kesana untuk membantu. Mungkin aku akan melakukannya lagi setelah sekian lama.
Itu dia. Bangunan empat lantai yang tidak begitu lebar dan memanjulang jangkung ke atas. Tuan Archer, pemilik toko itu, adalah teman Ayah di sekolah menengah. Bisa di bilang, kami cukup akrab.
"Halo, Paman." Sapaku sambil membuka pintu. "Selamat pagi."
Sudah hampir satu tahun aku tidak berkunjung, tapi aku tidak ingat kalau tuan Archer sudah setua itu. Padahal dia sepantaran dengan Ayah. Namun nampaknya, ayahku lah yang tidak menua.
"Wah, hai, (Y/N)!" Kakinya terpincang saat ia bangun dari kursi dan berlarian ke arahku. "Sudah lama sekali, ya?"
"Iya. Bagaimana kabar Paman?"
"Biasa, lah. Penyakit orang tua." Dia tertawa, lantas kembali duduk. "Bagaimana kabarmu, nak?"
"Tidak buruk, aku baru saja di pecat."
"Wah, itu buruk sekali."
"Tidak juga, sih."
"Kau tampak senang-senang saja, huh?" Tuan Archer tertawa sambil memukul-mukul samar punggungku. "Mirip Hector."
"Tentu saja, aku kan putrinya—"
Kling!— Pintu masuk membuka. Sebelum sempat berbalik, kurasakan seseorang menepis tangan tuan Archer dari punggungku. Dengan tersentak, aku menoleh dan mendapati tuan Levi. Alisnya berkerut.
Di antara semua orang, kenapa harus pria ini lagi?! Dan di antara semua tempat, kenapa harus di Toko ini?!
"Kenapa?" Aku menahan tawa.
"Dia menyentuhmu, apa kau tidak sadar? Dasar bocah." Gertaknya ke wajah tuan Archer. "Pak tua, apa yang kau lakukan?!"
"Terus kenapa? Kita saling kenal, kok!"
"Aku bukan pria cabul, Kopral Levi." Pernyataan tuan Archer yang blak-blakan membuatku menyembur tawa. Dan, dari seberangku, tuan Levi terlihat kesal.
"Aku tidak peduli, pokoknya jangan menyentuh sembarangan. Dia itu tetap saja perempuan."
Deg— Jantungku. Dia keren banget!
"Oh. Terus, dia siapa kau?" Pria paruh baya itu menyilangkan tangannya di atas perut.
"Aku tidak kenal—"
"Aku calon pacarnya!" Aku memotong, membuat Levi tersedak.
"Apa?" Tuan Archer mati kutu. "Apa katamu?"
"Bercanda, kok, Paman." Kataku. "Kita hanya teman. Soalnya, aku sudah di tolak."
"Oi. Hentikan." Gertak Levi.
"Di tolak? Kasihan banget!" Ejek pria tua itu. Yah, aku sampai lupa kalau dia sebelas dua belas dengan Phel.
"Biarin saja. Lagi pula kita tidak akan pacaran! Iya, kan, tuan Levi?" Saat aku menggeser pandanganku, pria itu diam. "Tuan Levi?"
"Aku pergi dulu. Sampai jumpa." Si wajah galak itu berbalik dan keluar dari Toko dengan cepat. Dasar aneh.
"Canggung, yah.." Tuan Archer bergedik.
"Kalau begitu, aku juga pergi, deh." Aku membungkuk pada pria itu sebelum berbalik. "Sampai jumpa, Paman."
"Baiklah.. Sering-sering mampir, ya!"
"Oke."
Levi Ackerman. Dasar pria aneh. Kenapa kau datang tiba-tiba dan meninggalkanku seenaknya?!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top