Dua Puluh Lima

Kamar pak tua itu hening dan gelap. Meski begitu, Levi tahu ayah kekasihnya sedang tidak tidur. Sambil menyesap wiski, Hector memejamkan mata di bawah sorot sindar rembulan, menikmati semilir angin malam yang menyeka kulit pucatnya.

"Aku ingin merokok." Ucap Hector tanpa mendongakkan pandangan.

"Kau ini nyari mati, ya?" Teguran Levi yang kasar membuat pria itu tertawa, padahal dia tidak sedang melucu.

"Bercanda." Hector menggelengkan kepala, lalu wajahnya runtuh, terlipat menjadi rengutan. Mendadak, ia menjadi sulit bernapas, dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Hector--"

"Jujur saja," Timpanya. "Aku tidak terlalu takut mati karena penyakit ini."

Levi mengernyit, menundukkan kepalanya. "Oi, apa maksudmu?"

"Aku lebih takut.."

"Kau ini bicara apa, Hector?"

"Kalau meninggalkan putriku di sini sendirian." Lirihnya dengan nada rendah. "Meski aku tahu Phelle dan Kenneth akan selalu berada di sisinya, tapi mereka itu tidak bisa diandalkan. Kau tahu sendiri, kan? Mereka itu hanya badannya saja yang besar."

Hati Levi membuncah membayangkan perkataannya. Saat dia merasakan tatapan pria tua itu pada dirinya, matanya yang sedari tadi menatap lantai, langsung beralih untuk membalasnya.

Sejak kapan? Hanya itu yang ada di pikiran Levi. Di luar dugaan, seperti seorang pembaca pikiran, Hector menjawab bahkan sebelum Levi sempat membuka mulutnya.

"Aku baru tahu sepuluh tahun lalu," Hector tertawa, seakan perkataannya barusan hanyalah guyonan semata. "Tentang penyakitku."

"Hey, kau akan baik-baik saja." Katanya, dengan gigi yang dikatupkan. "(Y/N) akan sedih, jadi kau harus baik-baik saja."

"Siapa yang tahu? Kondisiku semakin memburuk, Levi." Suaranya terdengar kembali normal, ringan dan akrab. "Tapi, sejak ada kau, aku jadi lega. Setidaknya kalau hari itu tiba, akan ada seseorang yang memeluknya sampai dia berhenti menangisi kepergianku."

"Itu.."

Gelombang frustasi di kepalanya semakin menjadi-jadi. Perlahan, Levi bersandar ke belakang, memalingkan wajah dengan raut terluka.

"Aku.. Ingin menikahi putrimu, Hector."

Walau tidak bermaksud melawak, perkataan Levi membuat Hector menyembur tawa. Tanpa keraguan sedikitpun, pria itu mengangguk.

"Ya. Tentu saja. Aku tahu kau mau bilang itu." Ujarnya, masih tertawa. "Aku percaya padamu, Levi. Jadi, menikahlah, jaga dia."

Rasa merinding dari perkataannya menjalari sekujur tubuh Levi. Seharusnya dia berterima kasih dan membungkuk, tapi rasa kesal campur penasaran menguasainya. Levi mendecak.

"Kau merestuiku begitu saja?"

"Ya." Jawabnya. "Kau ingin aku menjawab seperti apa?"

"Setidaknya interogasi aku, atau apalah, dasar aneh." Levi bergumam dengan suara nyaris tak terdengar.

Saat mata mereka saling tangkap, dia menyadari bahwa senyuman pria itu ternyata bentuk senyum yang tidak tulus-- Hector sedang menyembunyikan rasa sakitnya di balik goresan senyum itu.

Betapa ingin dirinya mengiba, akan tetapi, Levi tidak tahan lagi. "Oi, tua. Jangan putus asa begitu."

Terkesan mendengar bentakannya, wajah Hector melembut. "Kau laki-laki yang baik, Levi Ackerman, itu sebabnya aku percaya padamu."

"Huh..." Desahnya, frustasi. "Ya ampun."

"Tapi.. Kalau kau menyakiti putri kecilku, tak peduli kau manusia terkuat sekalipun, aku akan menghajarmu." Kali ini dia bangkit dari ranjangnya, menarik kerah Levi dengan ekspresi ganas bak raja hutan. "Paham?"

Levi memandangnya dengan tatapan segan, kemudian tersenyum. "Ya.."

Ayah.

***

Merasa tak tertarik dengan obrolan yang tengah di bahas keluarganya, Lily menghela napas panjang, membungkam seisi ruangan. Ekspresi terluka sekilas membayang di wajah ibu Jean, yang justru membuat Mikasa merasa tak enak. Tapi tidak lama kemudian, Jean datang dan menggenggam tangan wanita paruh baya itu, raut nyonya Kirstein pun kembali seperti semula.

"Lalu, bagaimana denganmu, Lily?" Tanya nyonya Kirstein, mengganti topik pembicaraan. "Apa ada seseorang yang membuatmu tertarik?"

Topik berbahaya, benak Mikasa berpikir.

"Sebenarnya ada, tapi Bibi nggak perlu cerita-cerita pada yang lainnya, oke?" Bisik Lily, membuat Mikasa geram.

"Anu, Lily--"

"Apa Bibi kenal Levi Ackerman? Aku sangat tertarik padanya! Tidak hanya tampan, dia juga berkarisma, dan aura yang terpancar darinya sangat misterius." Dengan cepat, Lily memotong perkataan Mikasa. "Beberapa hari lalu kami kencan buta. Lalu, seperti takdir, kami berpapasan siang tadi di jalan."

Selama beberapa saat, semua terdiam. Jean tertawa canggung sambil menyikut Mikasa. Cepat, jelaskan pada dia! Sorot matanya seolah menegaskan demikian.

"Levi Ackerman itu.. Kekasihnya putri tuan Westgard, kan?" Ibu Jean bergedik, merasa tak nyaman mendengarnya.

"Ya.. Itu kesalahan kami, karena.." Jean melirik perempuan yang ada di sisinya. "Duh, Mikasa, katakan sesuatu!"

"Karena Kapten Levi tidak pernah membicarakan pacarnya selama ini." Tegas Mikasa dengan lantang, menyeringai pada Lily. "Oh. Tapi, aku nggak sangka, Bibi tahu dari mana?"

"Belum lama Bibi berpapasan di toko roti dengan mereka. Coba tebak, Mikasa?" Dengan mata berbinar-binar dan nada yang bersemangat, nyonya Kirstein merangkul Mikasa, dan memulai perjalanannya.

Waktu itu..

***

Pai ceri. Semua orang suka pai ceri. Tapi, masalahnya, saat ini, saat matahari mulai terbenam, para pembuat roti sudah berhenti memanggang kudapan lezat itu.

Di etalase, tersisa satu loyang pai ceri panas yang sangat menarik perhatianku. Kebetulan sekali, aku memasak omelet dan kentang tumbuk. Pai ceri sebagai hidangan penutup, akan membuat makan malam hari ini jadi sangat sempurna. Jean-boy akan menyukainya!

Saat tanganku tinggal berjarak beberapa senti dari seloyang pai yang membuat perutku bergetar, seorang cecunguk menepis tanganku.

Baru saja aku hendak menggertak dan menghajar wajahnya. Tapi, alih-alih bocah ingusan tak tahu sopan santun, kudapati seorang pria tampan yang sering kulihat di koran. Levi Ackerman. Manusia terkuat. Atasan Mikasa dan Jean-boy.

"T-Tuan Levi?"

"Ah, selamat malam, nyonya.." Dia mengangkat sebelah alisnya, bingung, sambil mengulurkan tangan. Dengan cepat, aku pun membalas uluran tangannya, dan kita saling berjabat satu sama lain.

"K-Kirstein! Saya Ibu dari Jean Kirstein! Salam kenal, tuan Levi!" Seruku, kelewat bersemangat.

"Oh, wajah kalian mirip. Senang berkenalan dengan anda, nyonya Kirstein."

Seharusnya dia menampakkan wajah muak atau mencemooh atas sikap sok akrab-ku barusan, tapi pria itu malah tersenyum ramah.

Sangat berbeda dari cerita Jean-boy.

"Apa anda kemari untuk beli kudapan? Biar saya traktir, tuan Levi." Ucapku, basa basi. Tapi kalau untuk pria setampan dia, beberapa dollar saja tak masalah.

"Ah, benar. Itu.. Tidak perlu." Matanya terpaku pada pai ceri terakhir yang ada di hadapan kami. Wajahnya memerah. "Nyonya Kirstein, maaf, tapi.. Apa saya boleh ambil pai nya? Sebagai gantinya, anda boleh ambil apa saja yang anda mau, saya traktir. "

"E-Eh? Ya, nggak apa-apa, dong. Tentu saja! Tidak perlu sampai seperti itu, tuan Levi."

Mendengarnya sampai seperti itu, siapa yang tega menolaknya?

"Syukurlah. Terima kasih." Lirih pria itu sambil menghela napas lega.

"Anda suka pai ceri?" Aku memancing. "Saya pikir anda tidak suka makanan manis."

"Saya memang tidak terlalu suka manis." Wajahnya memerah karena malu. "Kekasih saya yang sangat menyukainya, terutama pai ceri, jadi.."

Wah, blakblakan banget! Keren! Tapi-- Tunggu. Tadi dia bilang apa? Kekasih?

"Levi? Apa ada sesuatu yang ingin kau beli? Kau lapar?" Panggil sebuah suara dari belakang punggungku.

Aku menoleh, mendapati seorang perempuan yang sekiranya sepantaran dengan Mikasa. Wajahnya ceria. Melihatnya saja, aku ikut tersenyum.

Oh! (Y/N) Westgard! Putri si tua tampan itu! Oh ya ampun!

"Bocah, kenapa kau datang-datang bikin rusuh, huh? Cepat minta maaf."

"Oh?" (Y/N) mengalihkan pandangannya padaku.

Saat menyadari kehadiranku yang seperti upil di antara mereka, gadis muda itu tersenyum dan membungkuk, meminta maaf karena telah membuatku merasa seakan-akan diabaikan.

"Ma-Maafkan aku, Bibi! Aku tidak tahu kalau kalian sedang bicara! Maaf! Maaf banget!"

Padahal nggak begitu. Aku hanya.. Kagum!

Haaahh.. Kalau saja Lily seperti dia, mungkin kepalaku nggak akan suntuk setiap hari.

Tuan Levi memerah menatapnya. Tanpa ditanya pun, sudah jelas aku tahu ada apa diantara mereka. Semua semakin jelas di akhir pembicaraan kami.

"Berterima kasih lah pada nyonya Kirstein, karena beliau, kau bisa makan pai ceri malam ini."

Perempuan jenaka itu mengangguk, tersenyum dan menyodorkanku sebuah croissant. Menu baru dari toko ini. Ah! Gadis yang manis, aku ingin mencubit pipinya, kau tahu?

"Terima kasih, Bibi, kuharap kita bisa bertemu lagi!"

"Kami pamit dulu, Nyonya Kirstein. Tolong sampaikan salamku untuk Jean." Tuan Levi mengangguk padaku. "Maaf kalau dia berisik. Sampai jumpa."

"Hahaha! Sampai jumpa." Aku melambai pada mereka. (Y/N) lah yang membalas lambaianku.

Uhh, saat melihatnya, aku jadi teringat Jean-boy saat masih anak-anak--

***

"Duh. Kayaknya ibu ceritanya kepanjangan, deh?" Tegur Jean pada wanita itu, memecah perjalanan ceritanya. "Kita hanya mau tahu bagaimana ibu bisa tahu kalau Kapten Levi punya pacar."

"Ya, intinya dari toko roti itu~"

"Tidak apa-apa, Jean. Bibi sampai bersemangat gitu, hargai, dong!" Bentak Mikasa.

"Habisnya, ibu sangat senang kalau ingat-ingat hari itu."

"Apa, sih?" Lily berbalik, kakinya mendepak meja sambil lalu ke arah pintu. "Mereka kan hanya pacaran, bukan menikah, kenapa Bibi sampai berlebihan menceritakannya? Tuan Levi kan bukan pria yang seperti itu!"

"Memang aslinya seperti apa? Waktu itu dia memang begitu, kok.." Nyonya Kirstein menyilangkan kedua tangannya.

"Sudah lah, kau ini kenapa, Lily?" Gertak Jean, tak setuju.

"Kalian terlalu ikut campur dalam hubungan orang, tahu? Itu nggak baik!" Tukasnya.

"Siapa yang ikut campur dalam hubungan siapa?" Mikasa meliriknya dengan penuh perlawanan, membuat wanita itu bergedik ngeri.

"Nggak tahu, ah!" Teriak Lily, telapak tangannya menggertak meja dengan kasar selagi ia melangkah keluar.

Tersenyum? Sapaan? Omong kosong macam apa itu? Tuan Levi mana mungkin..

(Y/N) Westgard..

Perempuan itu.

Ya.

Dasar cecunguk.

Kau kan hanya bocah.

Tuan Levi hanya mempermainkanmu.

Tentu saja.

Untuk apa aku percaya ucapan wanita tua itu sampai harus emosi begini?

Ha!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top