Dua Puluh Enam
Warning! 16+
Jam demi jam berlalu, rasa bosan yang menyiksa akhirnya mulai menimbulkan rasa kantuk (Y/N). Tapi saat matanya nyaris terpejam, mendadak sesuatu menyentak pikirannya.
Apa Ayah akan pergi? (Y/N) memalsukan tawa, berusaha menutupi deraan perasaan sedih yang disebabkan pertanyaan itu.
Haahh, sial, kenapa, sih? Setiap aku merasakan sedikit kebahagiaan, selalu saja..
***
Levi keluar dari kamar Hector, diiringi dengan desahan frustasi. Sebenarnya Levi mau saja menjaganya sampai pagi, tapi pak tua itu melarang dan menyuruhnya tidur.
Ternyata begini, ya, Rasanya punya ayah? Levi merasa kedua matanya memanas.
Dia terdiam selama beberapa menit, lalu menggeser pandangannya ke arah pintu kamar (Y/N)-- Levi sudah merindukannya meskipun mereka baru berpisah selama beberapa jam. Ketika hendak mengetuk pintu, dia mendengar suara dengkuran lembut gadis itu.
"Aku masuk, bocah." Gumamnya, tersenyum kecil sambil mendorong pintu.
Di sana, di atas ranjang, terbaring (Y/N). Wajahnya terlihat damai, namun menyedihkan di waktu bersamaan. Déjà vu. Levi pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.
Levi duduk di tepi ranjang, mengamati kekasihnya yang sedang tidur. Ia menyibakkan rambut yang menutupi wajah perempuan itu dan menariknya hingga ke dekapannya dengan garang.
Oh. Dia gemetar.
"Aku akan menjagamu, bocah." Bisiknya di kuping perempuan itu sambil mencium keningnya. "Selamat malam."
Saat merebahkan diri di ranjang, Levi hanyut dalam tidur yang penuh gelisah. (Y/N), perempuan yang sedang telentang di sisinya, mengunjunginya dalam mimpi. Dia berdiri di depan jendela yang terbuka lebar, memandang keluar dengan raut kesedihan yang asing, lalu berpaling pada Levi.
Kemudian malam memudar, matahari terbit dari ufuk timur, dan Levi tak punya waktu lagi untuk berpetualang di dunia mimpinya.
Dengan punggung pegal-pegal, dan tenggorokan yang terasa kering, Levi membuka matanya-- Apa yang dia lihat pertama kali pagi ini membuatnya berpikir bahwa dirinya masih bermimpi.
"Selamat pagi." Sambil tersenyum, perempuan itu bergumam, matanya masih tampak bengkak karena baru bangun tidur-- Atau bukan. Dia habis menangis.
"Pagi." Jawabnya sambil mengerang. Levi memegang pergelangan tangan (Y/N) dengan lembut, kemudian menariknya ke sebuah pelukan nan panjang. "Sini."
(Y/N) menghembuskan napas berat dan membalas pelukan pria itu. Air mata yang sedari tadi ditahannya pun tumpah. "Terima kasih. Maaf aku kayak anak kecil."
"Sama-sama." Levi terkekeh, lalu menggodanya dengan seringai. "Kau kan memang anak kecil."
"Aku bukan anak kecil." Gertaknya, menarik diri. "Aku wanita dewasa."
"Oh ya?" Levi lagi-lagi menariknya, kali ini berupa sentakan. "Buktikan."
"Huh?" (Y/N) mengerjap, berusaha menangkap maksud dari perkataan kekasihnya itu. Lalu, seperti sebuah pukulan ke otaknya, (Y/N) melonjak. "Oh!"
"Paham?" Levi menempelkan ujung hidungnya di tengkuk (Y/N) sambil berbisik. "Dasar bocah."
"Dasar mesum!" (Y/N) menggeliat, memberi pria itu sedikit tamparan halus di pipinya, lebih seperti seperti menggelitik. "Mesum! Mesum!"
"Bocah."
"Mesum!"
"Bocah."
Levi menjilat tengkuk perempuan itu, membuat (Y/N) memeledak. Anak itu lantas terpekik, berguling hingga ke sisi ujung kasur.
"Bo--"
"Ssst! Hentikan, Levi!"
"Bocah." Levi menyergap dan menindih perempuan itu.
Suhu tubuh meningkat, napas memanas, (Y/N) yang berada di bawah tubuh Levi saat ini benar-benar merasa nyaris hilang akal. Pikirannya yang sempat berkecamuk, mendadak kosong.
"Bocah." Pria itu meneruskan.
Menyangga tubuhnya dengan satu tangan, Levi menyeka halus pipi (Y/N) dengan tangan satunya. Gemas, Levi tidak punya pilihan lain lagi selain menciumnya.
"Bocah cilikku." Saat mata peraknya bertemu dengan mata perempuan itu, Levi merasa seolah tenggelam. "Aku--"
"Levi." Potong (Y/N), mengurai ciumannya sejenak.
"Hm?"
"Anu.."
Dari nadanya saja, Levi tahu kata-kata yang akan diucapkan berikutnya bukanlah topik yang menyenangkan. Meski begitu, Levi tetap diam dan menunggunya.
"Ada apa? Katakan saja."
"Tadi kau mau bilang sesuatu, ya? Kau duluan saja."
"Kau dulu."
"Ba-Baiklah." (Y/N) berjuang menahan air matanya, menghela napas berat dan tersengal. "Levi.. Aku takut."
"Apa?"
"Bagaimana kalau suatu hari kau membenciku?" Saat (Y/N) bicara lagi, suaranya terdengar hampa. "Bukannya aku nggak percaya padamu, hanya saja.."
"Apa, sih, yang kau pikirkan?" Levi berucap pelan, matanya penuh perenungan. "Tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, bodoh."
(Y/N) tak membalas, dia menangis.
"(Y/N)," Lirihnya, menyentuh dagu perempuan itu dengan jari telunjuknya. "Tidak peduli apa yang terjadi, kau tidak akan kehilangan aku. Aku janji."
"Benar?" Tanyanya, dengan nada kekanakan.
"Benar." Levi menyerbu maju lagi, mengecup ringan bibirnya. "Lalu, yang tadi ingin kukatakan.."
"Ya?"
"Aku mencintaimu."
Kau adalah duniaku, nona cilik.
***
Phel melepaskan rasa sedihnya dan spontan tertawa mendengar percakapan memalukan itu dari dalam kamar adiknya. Dia yang sedari tadi bersandar di samping pintu, melangkah pergi dengan raut terkalahkan.
"Apa sekarang kau akan menarik kata-katamu?" Sahut Ken, menepuk pundaknya.
"Kata-kataku yang mana?" Phel berusaha bicara sesantai mungkin untuk menutupi kesedihannya.
Namun, sebagai seorang kawan yang sudah nyaris seumur hidup mengenalnya, Ken mengangguk mengerti dan merangkul pria jangkung itu.
"Soal kau tidak akan menikah," Ken terkekeh. "Itu lebay banget, tahu?"
Phel menatap lurus-lurus mata Ken dengan tegas. Dia terkikik kemudian menghela napas. "Aku serius."
"Tapi kalau dengan (Y/N)?" Godanya.
"Itu sih pengecualian." Bisik pria itu separuh bercanda. "Sudah lah, Kenneth. Urus saja dirimu sendiri."
"Ya sudah." Ken akhirnya mengangguk. "Kau harus bahagia, Phel. Berjanjilah."
"Tenang saja, sobat."
"Kalau begitu, aku pergi dulu."
"Huh? Sepagi ini?"
"Aku ada kencan. Mumpung Bar tutup."
"Sip." Phel menyunggingkan ibu jarinya. "Aku kira kau mau melajang sampai karatan."
"Aku bukan kau, dasar tua."
"Uhh, mulutmu kotor sekali." Dia tertawa. "Aku pikir kau nggak suka perempuan."
"Enak saja. Omong-omong, dia anak pemilik butik di ujung jalan." Bisik Ken. "Ini rahasia, ya, jangan kasih tahu Ayah apalagi (Y/N)."
"Ya ampun, Ken-ku sudah besar~"
"Jijik. Kau terdengar seperti (Y/N)."
"Ken-ku~"
"Ahh, kau mengerikan."
Sebelum Ken, Phel sudah dengan cepat menggerakkan kakinya keluar dari lorong nan hampa itu lebih dulu. Memasuki ruang kerjanya, memakai jas, memasang dasi, menyisir rambut. Saat menghadap cermin dan menatap matanya sendiri yang basah, cepat-cepat Phel menyekanya-- Aku akan baik-baik saja.
Iya. Benar. Aku akan baik-baik saja.
Tidak bisa menahan kesedihan yang datang, pria itu benar-benar menangis. Bahunya terguncang.
Aku baik-baik saja.
"Nanti kalau sudah besar (Y/N) mau menikah dengan Kakak!"
Aku..
"Soalnya kakak itu laki-laki paling tampan yang pernah (Y/N) temui, seperti pangeran, kakak juga baik, pintar, kalau (Y/N) mimpi buruk, kakak selalu menemaniku. Pokoknya (Y/N) sangat suka kakak yang seperti itu!"
Aku..
"Hey. Kau tidak boleh membuat hidup orang yang kau cintai jadi menyedihkan karena keegoisanmu, loh?"
Aku harus baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top