Dua Puluh Dua
"Mau sampai kapan kau begitu, bocah?" Geram Levi untuk kesekian kalinya dari balik pintu kamar bocah yang bernama (Y/N) itu.
Tidak ada jawaban.
"Cih." Pria itu mendecak. "Ya sudah, terserah kau. Aku akan kembali lagi besok. Sampai jumpa--"
Pintu membuka, menampakkan sesosok gadis berpenampilan kacau dari dalam ruangan. Wajah (Y/N) yang tampak sedih membuat Levi tak sanggup untuk melanjutkan aksi protesnya. Brak-- Tak lama kemudian, anak itu menyandarkan kepalanya di punggung Levi.
"Maaf.."
"Untuk apa?"
"Karena aku tidak bersikap dewasa."
"Jadi benar?" Levi menahan dirinya agar tak tersenyum. "Kau cemburu?"
"Aku minta maaf.." Lirihnya dengan nada putus asa. "Aku hanya.. Takut."
(Y/N) meraih pergelangan tangan Levi, seolah sedang membujuk pria itu untuk memaafkannya. Setelah menyadari perasaan sang kekasih, Levi pun menghembuskan napas panjang dengan penuh rasa bersalah. Sebenarnya Levi ingin menggodanya sedikit lebih lama lagi, tapi pria itu segera mengubur niat usilnya dalam-dalam.
"(Y/N)," Setelah berpikir beberapa saat, Levi memanggil (Y/N) sambil merentangkan tangannya. "Kemarilah."
Hembusan napas lega terdengar jelas di telinga Levi saat tubuh mereka saling berpelukan. Perempuan itu menutup mata, mengenyahkan rasa cemas yang ia rasakan seharian ini dalam pelukannya yang hangat.
"Kau sesuka itu, ya, padaku?" Tanya pria itu sambil mengecup keningnya.
"Iya." Ungkap (Y/N) dengan nada seperti anak kecil, membuat Levi terkekeh.
"Aku," Lirihnya, mengecup bibir gadis itu dengan dalam sambil menuntunnya masuk ke dalam kamar.
"Kamu, apa?" (Y/N) mengurai ciuman mereka, tidak tenang karena Levi belum menyelesaikan kata-katanya.
"Aku juga menyukaimu." Dia melanjutkan ciumannya, berusaha menutupi wajahnya yang memerah.
Levi dapat merasakan napas (Y/N) yang tersengal-sengal. Tatapan yang redup, sentuhan jemari-jemari (Y/N) yang lembut di pipinya, dan erangan yang keluar dari mulut (Y/N) setiap kali ia mencumbunya dengan agresif membuat Levi lupa semuanya. Saat ini, yang ada di pikirannya benar-benar hanya (Y/N).
"Makanya, jangan jadi anak nakal. Yang terjadi hari ini, jangan sampai terulang lagi." Lanjutnya.
"Hahahahahaha!"
"Kenapa kau ketawa, bocah?"
"Kau terdengar seperti Ayah."
"Daripada seperti bayi."
"Hee~ Siapa yang kau sebut bayi?!"
"Kau pikir siapa lagi?"
"Enak saja, wajar dong, kalau aku cemburu? Bagaimana kalau pacarku di rebut orang?!"
"Iya, iya, bawel." Levi memendaratkan tubuhnya di atas kasur (Y/N), memejamkan matanya yang terasa berat sambil memeluk bantal. "Omong-omong, (Y/N)."
"Ya?"
"Kau sungguh ingin menikah denganku?" Ia memastikan.
"Tentu saja, kenapa?"
"Sini, berbaringlah."
Dengan tawa jenaka, (Y/N) menurut dan membenamkan kepalanya di atas lengan kanan Levi yang terbentang. Saat punggung hangatnya menyentuh dada Levi, pria itu langsung merengkuhnya erat.
"Levi, sebenarnya ada apa?" Tanya (Y/N) dengan cemas.
Levi tak menjawab. Apa dia tidur? Tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Lalu dengan raut usil, (Y/N) melayangkan jarinya ke wajah Levi.
"Hey, pak tua." Panggilnya, memastikan.
Alih-alih, pria itu terus terpejam dan bungkam, meskipun ia dapat mendengarnya.
"Aduh, ya ampun, kau ini tidur mati, ya?"
***
Satu menit, dua menit-- Lima menit kemudian (Y/N) larut dalam rasa kantuk yang datang padanya secara tiba-tiba. Sedangkan Levi masih ragu, kapan dia harus membuka matanya.
Begini, ya, rasanya pacaran saat masa remaja? Pikir Levi. Perasaan berbunga-bunga saat fisik kita saling bersentuhan, rasa cemburu yang tidak dapat dikendalikan.. Ini sangat baru untukku. Sebenarnya aku agak kesal karena dia sudah pernah merasakan perasaan ini pada seseorang sebelum bersamaku, tapi di sisi lain aku juga senang karena berkat dirinya aku bisa merasakan hal-hal yang asing seperti ini.
Levi memberanikan diri untuk membuka mata, mendapati (Y/N) yang tengah terpejam sambil mendengkur di dekapannya.
"Lucu." Bisiknya sambil memainkan pipi perempuan itu dengan jari telunjuknya.
Deg-- Perasaan tak enak itu muncul menghantuinya lagi.
Saat (Y/N) berbalik dan wajah mereka saling temu, sesuatu seakan menyadarkannya. Ini lah kenapa Levi merasa ada yang mengganjal di hatinya.
Levi adalah seorang prajurit yang sudah terbiasa menghadapi kepergian dari orang-orang terdekatnya. Iya. Benar. Levi takut. Takut bagaimana suatu hari perempuan itu malah meninggalkannya. Meninggal atau.. Bagaimana jika (Y/N) sudah tidak mencintainya?
"Kalau hari itu tiba, tolong bilang saja. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi padaku, aku janji." Kata Levi, lirih sambil mengecup punggung tangan kecilnya. "Jangan pergi. Karena tidak pernah ada seseorang yang terjebak bersamaku sampai seperti ini."
Aneh, ya?
Saat aku bertemu denganmu, aku takut aku akan menyukaimu.
Saat aku menyukaimu, aku takut aku akan jatuh cinta padamu.
Saat aku jatuh cinta padamu, kini aku takut aku akan kehilangan dirimu.
Haaaah..
***
Mikasa menanti di beranda sambil mengamati Lily yang tengah sibuk dengan riasan wajahnya. Dan, entah kenapa, dia jadi kesal.
"Lily, ayo cepat, hari sudah gelap. Aku ada janji dengan yang lainnya."
Wanita yang bernama Lily itu memutar bola matanya. "Aku harus merapihkan wajahku dulu, kau tahu, hari ini sangat kacau bagiku."
"Pertemuanku akan dimulai tiga puluh menit dari sekarang, jadi kumohon--"
"Hey, Mikasa."
"Eh? Iya?" Mikasa tersentak saat suara wanita itu tiba-tiba berubah menjadi dingin.
"Pacar tuan Levi.. Apa dia cantik? Maksudku, tentu saja, tapi siapa yang lebih cantik? Dia atau aku?"
Huh?
"Apa maksudmu, Lily?"
"Aku ingin tahu." Gerutunya. "Ayo, beritahu aku."
"Maaf, tapi itu bukan urusanmu."
"Kalau itu bukan urusanku, kenapa kau mengenalkannya padaku dari awal?"
"Karena aku nggak tahu kalau ternyata Kapten Levi sudah punya pacar. Maaf."
"Kau tidak tahu? Itu yang kau sebut teman, huh?"
Merasa agak kesal karena waktunya terbuang sia-sia, Mikasa menggertak tangannya ke dinding. Saat dirinya membayangkan wajah (Y/N) yang begitu polos dan ceria, dirinya semakin merasa bersalah.
Aku akan bertanggung jawab.
"Itu kehidupan pribadi Kapten Levi, aku tidak mau mencampurinya."
Lily menyimpan riasannya ke tas genggam miliknya, berbalik dan menyinggungkan bahunya pada bahu gadis itu.
"Dengar, Mikasa. Aku ini orang yang pantang menyerah, loh. Sekali aku sudah maju, aku akan terus maju--"
"Kau juga dengar, Lily. Aku ini orang yang bertanggung jawab. Jika kau mengganggu mereka, aku tidak akan tinggal diam."
"Ternyata sifat aslimu seperti ini, ya? Uluh-uluh. Aku jadi takut~" Olok wanita itu sambil tertawa sinis.
Mikasa bergabung dan ikut tertawa bersamanya. Lily seketika bungkam, tidak paham dengan tingkah laku aneh gadis itu.
"Bukannya yang seharusnya bertanya seperti itu adalah aku, Lily?"
"Ha, lucu sekali. Berdebat dengan bocah ingusan sepertimu hanya membuat kepalaku panas, Mikasa. Sudah, cukup bantu aku dekat--"
"Lily." Potong Mikasa, mencengkeram lengannya dengan kekuatan kasar, membuat Lily meringis, dan berusaha menepisnya.
"L-Lepas!"
"Kau bukan siapa-siapa dibandingkan perempuan itu. Kapten Levi juga bukan pria sampah yang bisa tergoda oleh kecantikan semata. Tolong jangan ganggu mereka."
"Jadi maksudmu, aku ini hanya modal paras saja? Mikasa sayang, aku memiliki jabatan di Distrik ini. Aku adalah wanita karir yang mandiri dan berpendidikan."
Sial. Aku jadi ingin tertawa. Mikasa menyunggingkan seringai sinisnya pada Lily, dan mengangguk.
"Iya. Memang faktanya begitu, kok."
"Kurang ajar!"
Sebelum Lily sempat melayangkan telapak tangannya ke wajah Mikasa, Mikasa lebih dulu menepisnya dan menarik kerah bajunya, membuat Lily seketika terkulai lemas.
"Betapa memalukan, seorang wanita berpendidikan melakukan hal-hal begini. Aku benci mengatakannya, tapi kau terlihat bodoh, Lily. Padahal aku sudah bersikap ramah, tapi kau tidak mau dengar."
Mikasa mengepalkan tinjunya, bahu Lily seketika bergetar karena mengira itu adalah umpatan yang ditujukan untuk dirinya. Matanya mengamati sosok wanita di hadapannya, sosok nan angkuh dan menyedihkan, membuatnya terlihat menjijikan.
Senyum benar-benar hilang dari bibir Mikasa. Gadis itu memandang Lily dengan aura permusuhan, membuat wanita itu bergedik ngeri.
"A-Aku pulang duluan." Sahut Lily sambil lalu.
"Pokoknya kau ingat saja kata-kataku, Lily." Kata Mikasa, membuntutinya.
"Tinggalkan aku sendiri, aneh."
"Aku agak kecewa, ternyata selama ini kau hanya memakai topeng." Mikasa terkikik. "Sampai jumpa."
"Enyah kau!"
Saat Lily hilang dari pandangannya, Mikasa mendesah panjang. Rasa putus asa yang melelahkan bergolak dalam dirinya. Kini dia harus memikirkan kata-kata yang tepat untuk Jean karena sudah menyakiti perasaan sepupunya. Tapi, dia tidak merasa menyesal telah mengancamnya sampai begitu, justru terasa menyenangkan.
Gadis itu. (Y/N). Adalah anak yang baik. Mikasa tidak sanggup membayangkan rasa sedihnya jika perempuan aneh itu sampai mengusik kebahagiaannya. Dan pula, Kapten Levi yang terlihat bersungguh-sungguh dengannya.
Yah, setidaknya Mikasa masih dapat tersenyum. Bahwa mungkin keberadaan Lily tidak akan berpengaruh bagi hubungan mereka.
"Semoga saja.."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top