Dua Puluh Delapan

Lily bangkit dari pembaringan, menarik selimut dari seorang pria bugil yang tengah mendengkur pulas di sisinya. Dengan sinis, ia mendecak, mengungkapkan rasa tidak sukanya.

Kalau aku bisa mendapatkan tuan Levi, sumpah, aku akan berhenti melakukan semua omong kosong ini, pikirnya dengan keras. Lily bergeser, berdiri, mengambil semua pakaiannya. Bau menyengat alkohol yang terpancar dari sehelai kain berwarna ceri itu membuatnya meringis.

"Sudah mau pergi?" Tanya pria itu, suaranya parau.

"Ya." Lily membalas dengan dingin. "Aku ada pekerjaan."

"Tapi ini akhir pekan.." Ia ikut berdiri, menahan Lily dengan kedua lengan kekarnya. Nadanya yang manja terdengar seakan dia sedang memohon pada wanita itu. "Ayolah, Lily."

"Hentikan." Lily mengedikkan bahunya. "Yang semalam, anggap saja tidak pernah terjadi."

"Tapi, Lily--"

"Cukup, Jason."

"Lily, aku mencintaimu."

"Aku tahu."

"Kau.. Apa?" Nadanya terdengar rapuh.

Bagi Lily, hubungan semalam itu sudah biasa. Dia punya uang, dia diberkati fisik yang sempurna. Tidak ada yang tidak ingin bersamanya. Pria bernama Jason yang sedang mengemis cinta di hadapannya saat ini, hanyalah salah satu dari puluhan laki-laki yang sudah ia tiduri-- Hal seperti ini hanyalah sebuah hiburan semata baginya.

"Lily, kumohon, katakan sesuatu."

"Kau terlalu mudah, Jason. Aku tidak suka laki-laki gampangan." Sindirnya seraya lalu, ia menarik mantel hangatnya yang menggantung di kerangka tepi tempat tidur. "Sayang, kalau saja kau tidak mengucapkan kata-kata menjijikan itu, mungkin kita bisa main lagi kapan-kapan."

"Lily!"

"Jangan temui aku lagi."

***

Satu potong, dua potong. (Y/N) melahap empat potong pai ceri dengan gahar, seakan ia memakannya bukan untuk mengenyahkan rasa lapar, melainkan amarah yang ia sendiri bahkan tidak tahu penyebabnya.

"Sudah berapa lama, ya, aku nongkrong di toko ini?" (Y/N) mengintip arlojinya dan tersedak-- Tiga jam?! Wajah perempuan itu berkerut cemas.

Setelah menghembuskan napas panjang, (Y/N) sengaja meninggalkan tempat itu duluan karena tidak bisa lagi menahan emosinya. Beberapa saat kemudian, dalam perjalanan pulang, dari balik kerumunan, Levi muncul.

Kedua tangan pria itu sibuk dengan setumpuk papan kayu, dan..

"Anak kucing?"

"Aku memberinya sedikit makanan, lalu dia mengikutiku."

(Y/N) menatap Levi sesaat sebelum tangannya melayang ke wajah kucing kecil nan manis itu. "Imut banget!"

"Memangnya di matamu apa yang nggak imut, huh?" Gerutu Levi, menepuk kepalanya.

"Hee~ Apa aku boleh merawatnya?"

"Kau mau?"

"Mau!"

"Bagaimana dengan ayahmu?"

"Aku pernah pelihara anjing waktu kecil, Ayah nggak keberatan, kok."

Levi menghela napas. "Ya sudah kalau begitu."

"Jadi? Apa aku boleh merawatnya sekarang?"

"Ya."

"Hore! Terima kasih, Levi!"

"Ya, ya. Sama-sama."

Levi mengamati rona merah di pipi kekasihnya itu. Dia tersenyum, hendak menghambur maju dan menciumnya. Tapi seperti sebuah kilat, aksinya itu dengan cepat dihentikan oleh seseorang yang tiba-tiba saja menarik dan merangkul mereka berdua dari arah belakang.

"Kau pikir dunia ini milik kalian berdua?"

Kenneth, geram Levi dalam hati.

"Ngapain, sih, kau kemari?!" Protes (Y/N), menjitak pelan kepala laki-laki itu.

"Aku kebetulan mau pulang dan lihat kalian berdua dari kejauhan."

"Seharusnya kau pura-pura tidak lihat dan tetap berada di kejauhan." Tambah Levi, menampakkan raut terganggu.

"Aku nggak tahan. Lagi pula, siapa suruh bermesraan sembarangan? Merusak pemandangan, tahu?" Ken tertawa lebar, menarik pipi (Y/N) secara brutal, lalu menepuk halus pundak Levi. Seketika, rautnya serius, dia berbisik. "Tapi, omong-omong.."

"Hm?"

"Kucing?" Memucat, Ken memiringkan kepalanya pada sesosok makhluk mungil yang berdiri di atas tumpukan papan yang dibawa Levi.

"Iya, aku mau mengadopsinya~"

Tanpa bertanya pun, Levi langsung paham. "Takut kucing, huh? Laki-laki macam apa kau, Ken."

Mendengar celaan itu, Ken melonjak. "H-Hey! Bukan begitu, tahu?! Aku nggak takut!"

"Lalu? Bagaimana kalau kau yang gendong dia sampai rumah?"

"Ogah!"

"Katanya nggak takut."

"Aku pernah dicakar kucing sekali saat masih kecil." Jelasnya, kaku. "Uhh.. Rasanya seperti nyaris mati, tuan Levi."

"Bicaramu berlebihan, Ken." (Y/N) terkikik. "Kau dicakar karena kau menginjak buntutnya!"

"Apa? Nggak!"

Tidak tahan dengan percakapan yang kekanakan itu, Lily, yang sedari tadi mengikuti mereka, memberanikan diri untuk menampakkan dirinya.

"Wah, sepertinya kita memang berjodoh, deh?" Sahutnya dari arah belakang, membuat ketiga orang itu spontan menoleh.

"Eh? Wanita yang numpang minum teh?" Ken, tanpa rasa tidak enak, memuntahkan kata-katanya.

"Aku di ajak, bukan numpang." Lily memutar bola matanya, melingkarkan kedua tangannya di lengan kanan Levi. "Iya, kan, tuan Levi?"

"Apa? Lepas." Levi dengan cepat dan kasar, menepis sentuhan wanita itu.

"Kenapa sewot begitu? Aku biasa melakukannya dengan teman-teman priaku, kok?"

"Aku bukan temanmu."

"Aku sakit hati, tuan Levi~ Kalau begitu, ayo kita berteman." Lily menyandarkan kepalanya di pundak Levi.

"Apa, sih?"

"Hahaha! Kau malu? Imut banget, tuh!"

Ken yang peka terhadap situasi canggung ini, segera menepuk punggung (Y/N).

"Kau nggak apa-apa?" Bisiknya.

(Y/N) mengangguk pelan dan tersenyum hangat-- Justru kebaikan itu yang membuat Ken sangat cemas padanya.

"Berteman juga ada batasnya."

Meski nadanya ramah dan tenang, entah kenapa ucapan (Y/N) malah membuat ketiga orang itu merinding.

"Eh?"

"Kak, bagaimana kalau kita coba saling menghargai satu sama lain?"

***

Saat Levi sibuk merakit meja dengan papan yang ia beli siang tadi, (Y/N) dan Ken sibuk memikirkan nama yang tepat untuk peliharaan barunya.

"Jester?"

"Jelek. Bagaimana kalau Lucifer?"

"Dasar sinting! Kau pikir kucingku iblis?!" Gertak (Y/N).

"Tapi warna kucingmu hitam. Bukankah warna hitam identik dengan sesuatu yang jahat?"

"Kucingku kan nggak jahat!" Bentaknya, meringis sambil memeluk makhluk berbulu itu. "Iya, kan, sayang?"

"Meow!"

"Hitam." Levi menghentikan kegiatannya sejenak, menoleh pada anak kucing itu. "Bagaimana kalau namanya Hitam?"

"Meow!"

"Kan? Dia menyukainya." Pria itu terkekeh sambil merentangkan tangan. "Sini, Hitam."

Hitam berlari ke arah Levi, melompat dan berbaring di pahanya.

"Waah!"

"(Y/N), kemarilah." Panggil Levi, menarik pergelangan tangan perempuan itu. "Dia mirip denganmu."

"Jangan samakan aku dengan kucing, Levi."

"Memang mirip, kok."

"Hee~ Nggak!"

"Badannya mungil, seperti kau. Dia lincah, seperti kau. Oh, dia juga suka menempel padaku, persis seperti kau."

"Kalau begitu, apa kita namakan (Y/N) saja, ya?"

"Akan sangat merepotkan kalau sampai ada dua (Y/N)." Goda Levi, terkekeh pelan. "Satu saja cukup."

"Hahahaha! Memangnya aku merepotkan?"

"Iya, kadang-kadang. Tapi aku suka direpotkan olehmu."

"Aww, itu manis sekali, Levi."

Ah.. Benar. Apa yang kukhawatirkan? Mereka baik-baik saja. Ken menghembuskan kelegaannya. Pria itu tersenyum, berdiri, dan melesat ke arah pintu.

"Aku keluar, deh."

"Selamat malam, Ken~" (Y/N) melambai padanya.

"Malam." Levi mengangguk.

"Iya, selamat malam, kalian berdua, dan.. Lucifer." Kata Ken, tersenyum usil.

"Jangan panggil kucingku Lucifer!"

"Hahaha! Sudah, ah~"

Laki-laki sepantarannya itu berlari keluar dengan riang. Padahal bukan urusannya, tapi Ken ikut senang kalau mereka baik-baik saja setelah apa yang terjadi siang tadi.

***

"Kak, bagaimana kalau kita coba saling menghargai satu sama lain?" Tanya (Y/N) kala itu.

"Menghargai apanya, deh? Maksudku, itu hanya sebuah sentuhan biasa. Semua orang bisa melakukannya pada teman mereka."

Levi menyentuh tangan (Y/N) dengan ujung jemarinya, berusaha mengingatkan supaya anak itu tidak terbawa emosi.

"Dengar, Dik." Lily mendesah frustasi. "Kau ini hanya pacarnya. Tidak perlu bertingkah seolah-olah tuan Levi milikmu sepenuhnya. Iya, kan, tuan Levi?"

"Kakak juga hanya orang asing. Tidak perlu bertingkah seolah-olah Kakak telah mengenal Levi seumur hidupnya."

"Tuan Levi, katakan sesuatu.." Bisik Ken.

"Biarkan." Lirih Levi dengan bangga.

"Anak ini--"

"Levi milikku. Apa itu sesuatu yang sulit dimengerti?"

Levi terkekeh di sisi (Y/N). Dia tahu tidak sepantasnya dirinya tertawa, tapi perkataan barusan benar-benar membuatnya tersentuh.

"Kuberitahu, ya, Dik," Tidak mau kalah, Lily melangkah maju, menjorokkan wajahnya yang sinis pada (Y/N). "Laki-laki nggak suka perempuan yang posesif. Kau hanya akan ditinggalkan jika tidak mengubah itu."

"Nona Lily." Geram Levi, tegas. Tidak suka apanya? Levi justru sangat suka sisi yang seperti itu dari kekasihnya.

"Terima kasih, itu sungguh nasihat yang bagus. Aku tahu." (Y/N) tersenyum. "Tapi Levi tidak pernah meninggalkanku, kok."

Dalam sekejap, sorot mata Lily menajam mendengar perkataannya. Wanita itu tidak bisa lagi memendam emosi, dia benar-benar merasa terhina saat ini.

"Kau kekanakan, (Y/N)." Sindirnya, separuh serius. "Aku sampai bingung, apa yang tuan Levi lihat dari orang sepertimu?"

"Hey, kau keterlaluan!" Bentak Ken.

"Bercanda, tahu?"

"Belakangan ini Kakak sedang berusaha mendekati Levi, kan?" (Y/N) masih menahan amarahnya dengan sangat baik. Intonasinya yang tenang membuat Levi tidak khawatir dan tidak perlu ikut bicara. Levi percaya padanya.

"Mendekati apanya? Apa maksudmu?"

"Belakangan ini Kakak sedang berusaha mendekati Levi," (Y/N) mengulang kata-katanya dengan lebih tajam. "Iya, kan?"

"Apa, sih? Kau salah paham."

"Kakak menyukai Levi, kan?"

Sudah cukup. "Kau ini mau menyudutkanku, ya?"

"Aku hanya bertanya, Kakak tidak perlu marah-marah seperti itu."

"Kata-katamu itu nggak sopan dan sangat tidak pantas!"

"Lalu, Kakak pikir, apa yang Kakak lakukan itu pantas? Menyentuh lengan seorang pria di hadapan kekasihnya.. Kakak pikir itu sopan?" Lawannya. (Y/N) pun mengerutkan keningnya. "Lagi pula, sebagai pacarnya, wajar saja aku ikut campur dalam hubungan kalian."

Dalam artian, perempuan muda ini tengah mengancamnya. Rasa benci Lily pada (Y/N) semakin menjadi-jadi, nyaris saja ia kehilangan akal sehatnya.

Bertahan sedikit, Lily. Jangan buat dirimu terlihat buruk di mata tuan Levi.

"Sebaiknya kita pulang." Ken yang tidak tahan dengan semua ini, segera menuntun (Y/N) pergi. "Ayah khawatir kalau kita pergi terlalu lama."

"O-Oke.." (Y/N) menurut, membiarkan dirinya ditarik oleh kawan baiknya itu.

"Kami pamit dulu, nona." Ken mewakilkan Levi dan (Y/N), melangkah dengan terburu-buru.

"Kak," Sambil melanjutkan langkahnya, melewati pundak wanita itu, (Y/N) tersenyum padanya.

"Huh?"

"Menyerah saja."

Bisikannya membuat Lily terpanjat. Rasanya seperti dia melihat kebencian yang begitu besar, terselubung dibalik senyuman ramah itu.

Apa-apaan?!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top