Dua Belas

Song for this chap:
Kokoronashi - Majiko

***

"Levi," (Y/N) menatapnya dengan tenang. "Apa yang sebenarnya kukatakan padamu semalam?"

Tatapannya jatuh ke tanah. "Itu tidak penting. Yang penting.."

"Huh?"

"(Y/N).." Levi berbicara dengan lembut, kemudian jemarinya menyentuh dagu (Y/N), mengangkat wajah gadis itu untuk menemui tatapannya. "Aku.."

Awalnya aku tidak menyukaimu-- Bukan. Aku bahkan membencimu. Karena sifatmu, kata-kata menjijikan yang keluar dari mulutmu, yang seolah-olah sedang merayuku. Aku.. Benar-benar tidak percaya denganmu.

Cinta pada pandangan pertama. Cih. Itu terdengar menjijikan. Tapi..

'Aku tidak harus memilikimu untuk mencintaimu.'

Jantungku mencelus. Aku tidak pernah mendengar pernyataan cinta yang nekat seperti itu. Saat itu pun, aku langsung tahu kau berbeda.

Aku merasa begitu bersalah karena sudah menolakmu secara kejam, dan kau bahkan tetap tersenyum padaku setelah itu, lagi dan lagi.

Aku jadi ingin memperlakukanmu dengan baik, seperti seorang kawan. Tapi sepertinya.. Semakin sering bertemu.. Aku merasa kalau aku lah yang sedikit kelewatan. Seharusnya aku menjaga jarak denganmu.

Aku jadi semakin lupa diri. Aku lupa jarak di antara kami. Aku lupa posisiku. Aku bahkan lupa pada batasan yang kubuat sendiri sejak awal.

Aku..

"Lupakan. Ayo kembali, kayaknya malam ini akan turun hujan lagi." Pria itu mengalihkan pembicaraan.

Aku harus tahan.

***

Dia ingin mengatakan sesuatu.. Atau itu hanya perasaanku saja?

Entahlah.

Setelah mengganti pakaiannya, (Y/N) duduk menyila di atas ranjang, dagunya bertumpu pada tangannya yang tengah bersandar di bingkai jendela. Dia tidak mengerti apa yang tengah terjadi, tapi suasana hatinya berubah menjadi sangat buruk saat ini.

"Bocah," Levi naik ke atas ranjang dan duduk di sebelahnya. "Kau melamun."

"Aku akan tanya sekali lagi, lalu aku akan berhenti." Gadis itu menatapnya serius.

"Apa maksudmu?"

"Levi, apa aku benar-benar tak punya kesempatan?"

Kejutan. Tak ada jawaban.

"Baiklah.. Aku akan jadi teman yang baik." Gumam gadis itu.

"Maafkan aku." Suaranya goyah. Dia menaruh tangannya ke masing-masing pundak gadis itu, menahannya, memaksanya untuk mendengar. "Memang mesti begini, (Y/N). Ini lah yang seharusnya."

Betapa pun menyakitkan, betapa pun hati (Y/N) berpilin dan terluka, ia mengangguk. "Baiklah."

"Sial," Sesaat suara pria itu terdengar aneh dan melengking, tapi dia berdeham dan mendongak, matanya memandangi (Y/N) cukup lama. "Ini semua serba salah."

"Sudah, deh. Mari bahas yang lain."

Semilir angin menerobos masuk dari jendela yang separuh terbuka di samping mereka. Tanpa berpikir lagi, Levi menarik gadis itu ke dekapannya dengan kegarangan yang mengejutkan.

"Aku ingin bersamamu, (Y/N)." Jawabnya dengan suara tajam, namun terdengar sendu. "Tapi--"

"Kau benar." (Y/N) tercengir tanpa menarik diri. "Kau sangat peduli dengan pendapat orang, huh?"

Saat suhu udara di sekeliling mereka meningkat, wajah mereka berjarak hanya beberapa senti, (Y/N) tersenyum. Lagi-lagi sebuah kebohongan, dan kali ini Levi sangat jelas menyadarinya.

"Tidak apa-apa." Lirihnya ke bibir pria itu. (Y/N) tak pernah mendapati matanya begitu terang dan tajam. "Aku sudah bilang aku tidak harus memilikimu. Aku akan tetap mencintaimu, sebagai teman."

Senyumnya memudar. Dia melemparkan diri ke dada Levi dan terpejam di sana. Persis seperti yang dilakukannya kemarin malam.

"Kumohon, jangan membenciku, Levi."

"Bagaimana bisa aku membencimu, bodoh." Geramnya sambil menarik selimut, membalut tubuh gadis itu.

Justru, akulah yang seharusnya takut..
Kalau kau akan membenciku.

"Maafkan aku." Levi berbisik sambil menenggelamkan wajahnya ke rambut gelap (Y/N).

Aku.. Tidak bisa menolakmu.

***

Baik (Y/N) maupun Levi, tak satu pun dari mereka yang memulai obrolan pagi ini. Mereka duduk berseberangan, menyantap sarapan masing-masing tanpa saling sapa.

"Yang semalam," (Y/N) memulai begitu selesai makan. Dia terkekeh, tapi tidak tertawa. Matanya menggelap, dan dia berdiri dari kursinya. "Tolong lupakan soal semalam."

"Iya."

"Hari ini, aku mau jalan-jalan sendirian. Kau juga bersenang-senanglah."

"Kemana?"

"Jangan khawatir, aku sudah cukup akrab dengan tempat ini."

Ketika mengentakkan kaki pergi, (Y/N) mendesah lantang. Tanpa sadar, kedua tangannya bergetar, dan ia mengepalkan tangan untuk menutupi getarannya.

Kakinya berkeliling mengitari kota, membeli beberapa kudapan lokal yang belum sempat ia coba, mengunjungi taman yang luas, berbincang dengan orang-orang sekitar untuk menambah ilmu pengetahuan. Semua itu terdengar menyenangkan, tapi nyatanya gadis itu tidak sekali pun merasa senang.

Ternyata patah hati bisa memberikan efek sebesar ini pada dirinya, pikirnya. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, tapi dia merasa seakan telah mengenal Levi seumur hidupnya.

"Bikin gila saja, sialan." Gertaknya, berupa bisikan.

(Y/N) berhenti di depan sebuah Bar. Agak meragu, namun ia tetap menerobos masuk.

Dia membeli beberapa botol bir dingin untuk dinikmatinya seorang diri. Berhubung sudah sore, dia pikir ini adalah hal yang tepat untuk mengakhiri hari. Di tepi pantai, sambil menyaksikan matahari terbenam. Sempurna.

Satu botol, dua botol-- Tiga botol. Ia baru berhenti menenggak setelah merasa pengar. Perutnya mual setengah mati, namun ia tak peduli. (Y/N) merebahkan punggungnya di atas pasir pantai nan kering, membiarkan semilir angin sore mengantarnya ke dunia mimpi.

***

Levi bermondar-mandir di balkon sambil mengamati arlojinya. Sudah jam satu pagi, namun gadis itu belum pulang. Ia mendecak beberapa kali saat membayangkan wajah gadis itu. Cemas, takut, marah, semua perasaan itu berkumpul jadi satu di benaknya.

Lalu, perasaannya agak lega saat seseorang mengetuk pintu kamarnya--

"Sial! Cepat buka, aku mau muntah!" Geram (Y/N), terpekik.

Levi membuka pintu dengan cepat untuk menyambut gadis itu, tanpa basa-basi memeluknya. Kemudian mengernyit saat mencium bau alkohol yang sangat menyengat.

"Minggir." Dia mendorong pria itu, lalu menghambur ke kamar mandi.

Levi menyusulnya, dan bersandar di bingkai pintu. Memelototi (Y/N) yang nyaris terlihat seperti mayat hidup.

"Kenapa baru pulang?" Suaranya terdengar ganas, namun melembut saat tubuh gadis itu terkulai lemah, bersandar ke dinding saking lemasnya.

"Aku habis bersenang-senang, Levi~"

Levi masuk dan menggendong tubuhnya seperti bayi. "Bersenang-senang, katamu? Apakah yang seperti itu yang kau bilang bersenang-senang?"

(Y/N) menghela napas berat, tertawa terbahak-bahak sampai akhirnya menangis sendu, setengah menjerit. Dia benar-benar mabuk berat.

"Aku.. Tidak senang."

"Apa itu gara-gara aku?" Tanyanya.

"Hee~ Wow~ Apa kau peramal?"

"Kenapa kau melakukan itu?"

"Kenapa, ya?"

"Hey. Lihat aku." Pria itu meletakkan tubuh (Y/N) di atas kasur dan menyisir rambutnya melalui sela-sela jari. "Katakan. Kenapa?"

(Y/N) menarik kerah pria itu, menangis kejar. "Itu, soalnya.. A-Aku merindukanmu. Hari ini membosankan sekali. Maafkan aku, Levi."

Dalam pijar cahaya lilin, Levi mengatakan sesuatu tanpa bersuara. Dia hanya membuka mulutnya, namun (Y/N) terlalu mabuk untuk membaca gerakan mulut pria itu.

Tangannya meraih tangan pria itu, lalu mengangkatnya hingga ke pipinya. "Ahh~ Aku kesal sekali! Sial!"

Dia langsung tertidur lelap, persis seperti orang yang tiba-tiba ditembak mati. Saat Levi menjorokkan wajahnya, dia merasakan dadanya tersengat rasa nyeri. Dia ingin menggapai wajah itu--

Tidak sepertimu, (Y/N),
Aku ingin memilikimu.

Sial. Apa yang harus kulakukan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top