Delapan Belas
Levi berjalan pelan di samping (Y/N) tanpa berbicara apa pun. Ketika akhirnya mereka sampai di depan rumah gadis itu, barulah Levi membuka mulutnya.
"Sana masuk." Katanya, padahal tanpa perlu ia suruh seperti itu pun, (Y/N) sudah lebih dulu membuka pintu.
"Kita kan belum sempat makan malam, masuklah."
Meski tidak begitu lapar, namun ia masih ingin menghabiskan waktu dengan gadis itu sedikit lebih lama lagi. Rasanya belum cukup walaupun sudah pergi berkencan seharian penuh.
"Baiklah." Levi melihat ke sekeliling, lalu menggenggam tangan mungil (Y/N).
"H-Hei, nanti kalau ada yang lihat, bagaimana?" Tanya gadis itu dengan kedua pipi yang memerah.
"Memangnya kenapa kalau ada yang lihat? Aku tinggal mengatakan yang sebenarnya, kan?" Balasnya dengan santai, seakan itu bukan suatu hal yang besar.
Sebelum gadis itu mengoceh lebih banyak lagi, Levi menuntunnya masuk. Di Bar, semua orang memperhatikan, terutama pada tangan mereka yang saling menggenggam erat, meski demikian hal tersebut tidak membuat Levi berhenti kali ini.
Sambil berjalan, (Y/N) teringat pada hari dimana ia bertemu dan jatuh cinta pada Levi. Mulai dari sepasang bola mata perak yang berkilat indah, bibir tipis yang melengkung ke bawah, rambut hitam halus yang dipotong bergaya undercut, pokoknya tidak ada bagian dari pria itu yang tidak ia sukai-- Semua memang bermula dari fisik, namun setelah mengenalnya sampai sejauh ini, (Y/N) yakin perasaannya bukan sekedar itu saja.
Lalu ingatannya lagi-lagi memelesat, kali ini pada hari dimana mereka bertemu di Taman Kota. Saat pertama kali (Y/N) menyatakan perasaannya pada Levi. Dia takkan melupakan kejadian itu. Reaksi Levi yang dingin, menolak tanpa ragu, bahkan lebih seperti jijik. Kadang dia ingin menyesali kejadian itu, tapi mensyukurinya di waktu yang bersamaan.
"(Y/N)."
Panggilan pria itu membangunkan (Y/N) dari lamunan panjangnya, dia lalu mendongak untuk menemui tatapan sang kekasih dan terkekeh. "Ya?"
"Apa yang sedang kau pikirkan sampai seperti itu?"
"Eh? N-Nggak ada!" Elaknya sambil menutupi kedua pipinya yang memerah.
"Apanya yang nggak ada?" Levi menyeringai, meraih pipi gadis itu dengan telapak tangannya. "Lihat aku."
"E-Eh.."
"Ada apa?" Tanya Levi cemas, ia menatap mata (Y/N) dalam-dalam, berusaha menemukan jawaban dari sepasang mata itu. Lalu tatapan itu jatuh ke bibir.
"Aku.. Sangat sangat sangat menyukaimu, Levi--"
Kata-kata gadis itu terpotong oleh mulut Levi ketika ia menciumnya dengan dalam. Mereka sampai lupa kalau sedang ada di rumah, dan siapa pun entah itu Phel, Ken, atau bahkan Hector bisa datang kapan saja. Tapi Levi tidak peduli.
"Haaah.." (Y/N) mengurai ciuman mereka dengan napas terengah-engah, merasa sangat malu sampai seluruh wajahnya merah. Begitu selesai, kepalanya langsung tertoleh mengamati sekitar, berharap benar-benar hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu. Melihat ekspresi kalut tersebut, Levi terkekeh pelan.
"Aku tidak akan melakukan yang lebih dari itu, kok." Ucap Levi sambil menepuk kepala gadis itu. Puk puk puk. "Hahaha."
"Kenapa malah ketawa, sih?"
"Wajahmu itu seperti anak kucing."
"Eh? Kau ini sebenarnya sedang menghinaku atau memujiku? Uhh.."
"Kau suka?"
(Y/N) tersedak. "Apanya?"
"Ciuman barusan."
Pertanyaan blak-blakan itu membuat jantung (Y/N) seketika terpanjat. Kenapa tiba-tiba dia jadi agresif begini, sih? Pikirnya sambil menutup bibir dengan punggung tangannya.
"Tidak suka, ya?"
"H-Hey, apa maksudmu bertanya seperti itu? Aku harus jawab a-apa?!"
"Cih." Decaknya sambil menahan tawa. "Kayaknya kau menyukainya, huh?"
"E-Eh? Hei!"
"Lihat, kau yang biasanya berisik ini sekarang jadi malu-malu." Godanya.
"I-Itu kan karena kau menciumku tiba-tiba!"
"Jadi, apa aku harus minta izin dulu untuk ciuman selanjutnya?"
"Apa? Kau ini salah makan apa, sih?" Gertaknya frustasi. Meski seperti itu, jauh di dalam hatinya (Y/N) sangat menikmatinya.
"Aku ingin menjadi sepertimu hari ini."
"Huh? Maksudmu? Levi--"
Levi memeluk tubuh (Y/N) yang dua senti lebih pendek dibanding dirinya, setelah selesai ia menempelkan pipinya di kepala gadis itu.
"Bisa kau bayangkan apa yang kurasakan? Setiap kali kau menyentuhku tiba-tiba seperti itu, jantungku terasa membuncah."
"Aww, itu manis sekali!" Seru (Y/N) tiba-tiba bersemangat, ia menghambur untuk memeluk sang kekasih. "Nah, ayo katakan sekali lagi, Levi! Kau deg-degan, kan?!"
"Anak ini.." Levi mengerang, wajahnya memerah. "Aku baru bicara sedikit saja kau sudah ge'er."
"Ge'er apanya? Kau yang bilang sendiri, tahu!"
"Berisik."
"Tuh, kan? Kau pasti malu banget, ya?"
Levi memutar bola matanya lalu menggelitik pinggul gadis itu, membuatnya menggeliat geli dan tertawa terbahak-bahak. (Y/N) yang tak mau kalah pun membalasnya dengan sebuah kelitikan di leher, lalu Levi membalas lagi di tempat yang sama. Pertempuran itu berlangsung sengit sampai keduanya menyerah dan terkapar di atas lantai.
Sulit untuk Levi mengakui kalau diam-diam dirinya menyukai hal-hal kekanakan seperti ini, terutama jika ia melakukannya dengan (Y/N).
"Ayo, kita makan malam." Ajak (Y/N) sambil bangkit.
"Tunggu."
"Ya?" Gadis itu menoleh dengan matanya yang bergetar, seakan dia takut mendengar apa yang akan pria itu ucapkan selanjutnya.
"Aku.." Levi berjuang, kini muka mereka berdua sama merahnya.
"Kau.. Apa?"
"Aku menyukaimu."
Pengakuan yang keluar dari mulut pria itu membawa kelegaan untuk (Y/N), rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Meski malu, Levi takkan mundur. Dia sudah mendapatkan hal yang tak pernah ia punya sejak dulu, dia tak mau menyia-nyiakannya kali ini.
***
Di kegelapan yang menerpa ruang kamarnya, Phel terduduk sendirian di tepi jendela. Dia meringkuk, kedua tangannya yang panjang memeluk kaki-kaki jangkungnya yang tertekuk.
"(Y/N).." Phel memanggil nama gadis itu dengan lembut. Menghembuskan napasnya yang panas ke udara, pelan-pelan ia mendongak dan melirik ke luar jendela.
Tapi begitu wajah Levi ikut muncul di benaknya, suasana hati pria itu mendadak menjadi kacau balau. Setiap membayangkan pemandangan yang ia lihat tadi pagi, hatinya terasa nyeri.
"Aku harus seperti apa agar kau paham.." Keluh pria itu sambil menggemertakkan giginya.
"Berhentilah bicara sendiri. Apa kau sakit jiwa?" Geram sang ayah dari luar pintu kamarnya. Hector masuk dengan membawa sebotol wine dan beberapa kudapan untuk menghibur anak itu. "Ayah mampir beli anggur di perjalanan pulang, ayo minum bareng."
"Ayah," Panggil laki-laki berumur dua puluh lima tahun itu dengan nada tak berdaya seperti anak-anak. "Apa (Y/N) sudah pulang?"
"Dia baru saja pulang dengan Levi. Mereka sedang makan malam sekarang."
"Begitu? Syukurlah.."
Hector menarik bangku ke sisi Phel sambil separuh tersenyum, lalu kedua tangan kukuhnya mencengkeram pundak anak itu. "Kau tidak perlu menjadi apa yang bukan kau, Phel. Adikmu akan selalu menyayangimu, kau tahu."
"Aku tidak ingin rasa yang seperti itu-- Sudah kubilang, kan?! Aku ingin menikah dengannya. Aku--" Ia tanpa sengaja meninggikan suaranya pada sang ayah, lalu terkulai lemah. "Maafkan aku, Yah. Hanya saja.. Sulit untukku menerima saat tahu dia bersama orang lain."
"Anak ini benar-benar keras kepala, ya." Ujar Hector sambil bangkit.
Saat Phel pikir pria itu akan menghajarnya lagi seperti terakhir kali, alih-alih, dia malah mendapat sebuah pelukan yang hangat-- Sebuah pelukan yang tulus dan penuh kasih sayang.
"Dengarkan Ayahmu ini, nak. Jika pun hubungan kalian berhasil, orang lain akan melihat hubungan kalian dengan jijik. Awalnya, aku menyalahkanmu atas kesalahan ini, tapi.."
"A-Ayah, jangan bicara yang aneh-aneh--"
"Kupikir ini salahku sebagai seorang ayah yang tidak dapat mendidik putranya dengan baik."
"Kumohon jangan bicara seperti itu, Ayah.."
"Itu benar, Phel." Hector tersenyum lemah. "Hubungan kalian memang tidak terlarang, secara kalian tidak punya hubungan darah sama sekali. Tapi, aku membesarkan kalian seperti adik dan kakak pada umunya. Aku, jujur saja sangat syok saat kau menyatakan perasaan hari itu."
"A-Ayah.." Phel hanya bisa menghembuskan napas panjang. Tanpa dapat dicegah, air mata mengalir membasahi pipinya, membuktikan kalau selama ini dirinya telah memendam perasaan yang sangat besar pada putri pria itu.
"Ayah.. Benar-benar ingin anak-anak Ayah bahagia, lebih dari apa pun itu." Tutur Hector dengan nada lemah. "Tapi maaf, sepertinya Ayah tidak bisa mewujudkan semuanya sekaligus."
"...Maaf." Phel berdiri, merengkuh tubuh pria itu dengan erat. "Aku minta maaf, Ayah."
"Suatu hari nanti di masa mendatang, Ayah janji, kau akan mendapat kebahagiaanmu sendiri, Phel."
Akhirnya keputusasaan yang Phel rasakan sirna bersamaan dengan air matanya yang tumpah. Tidak bisa lagi menahan kesedihan yang menyerang, Phel benar-benar menangis seperti bocah, bahunya berguncang keras.
Ayah.. Bahkan setelah apa yang kukatakan, kau masih bisa memelukku seperti ini?
"Ayah menyayangimu, Phel."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top