13. Arti penting

Author POV

Matahari mulai menampakan dirinya, membawa kehangatan, tetapi di suatu ruangan terdapat seorang gadis yang sedang memejamkan matanya rapat. Surai gadis itu berwarna ungu dengan cahaya yang redup.

Seseorang membuka pintu kamarnya pelan lalu menggoyangkan badan gadis itu pelan. Kedua kelopak gadis tersebut terbuka pelan, melihat siapa yang baru saja memasuki kamarnya.

"Apa kau mau memakan sesuatu Mia?" tanya Adean sambil menunjukan nampan yang ia bawa.

Mia terkekeh pelan, "aku tak akan menolak seseorang yang telah bersusah payah," ia mencoba mengambil posisi duduk yang dibantu Adean.

Mia meraih sepotong roti dan mencelupkannya pada krim khusus yang dibuat oleh bu Vero. Ia tersenyum sambil menikmati sarapannya.

"Lalu apa yang terjadi antara kalian berdua?" tanya Adean memecahkan keheningan.

"Maksud kak Adean?" tanya Mia bingung.

"Sejak kemarin kau dan Lowel terlihat lebih diam dari pada biasanya. Bahkan ia yang selama ini selalu ada di kamarmu, kemarin dengan keputusannya sendiri keluar dari kamarmu. Lalu Putri Vionna melarangku bertanya padamu, tetapi aku penasaran!" jelas Adean kesal.

Mia tersenyum lemah, "maaf. Aku terlalu merepotkan kalian."

"Argh, bukan itu. Kau hanya perlu menceritakan mengapa. Hanya itu," kata Adean gemas.

Mia menunduk, menatapi sarapannya yang belum habis. "Aku hanya..."

"Hanya?" tanya Adean penasaran.

Tanpa mereka bedua ketahui ada seseorang yang berjalan mendekati kamar Mia.

"Maaf," kata Mia lemas.

Seseorang itu hampir saja mengenggam pengangan pintu kamar Mia, tetapi ia terhenti.

"Aku akan memaafkanmu jika kau menceritakan sebenarnya," kata Adean.

Mia mulai mengambil sebagian kecil rambutnya, "ini masalahnya," katanya sambil menatap Adean.

"Rambutmu? Ada apa dengan rambutmu?" tanya Adean bingung.

"Cahayanya redup, menandakan sihirku atau dapat dikatakan energiku yang menipis. Hal itu membuat telapak tanganku seperti..." Mia melihat telapak tangannya sedih.

"Jangan menggantungkan kalimatmu, katakan saja," kata Adean.

"Tetapi aku bingung bagaimana mengungkapkannya," kata Mia sedih.

"Akan selalu aku dengarkan, seaneh apapun kata-katamu," kata Adean sambil tersenyum.

Mia terdiam sejenak lalu terkekeh, "terimakasih."

"Jadi?"

"Ah ya, kemarin pangeran menggeam tanganku...-"

"Apa?! Dia melakukan hal itu?" potong Adean senang.

"Kak Adean," panggil Mia kesal.

"Oh maaf, hahahaha. Lanjutkan," kata Adean sambil menahan tawanya.

"Saat ia menggengam tanganku seakan-akan ada yang masuk dari tanganku, itu membuatku panik dan takut," kata Mia takut.

"Apakah kau tau apa yang masuk itu?"  tanya Adean hati-hati.

"Aku... aku tak yakin. Tetapi hal yang aku yakini... pangeran akan mati jika berlanjut lebih lama lagi," kata Mia sambil menunduk.

Adean terdiam, tak ada kata-kata yang terlintas dikepalanya mengingat keadaan Mia yang terbaring selama hampir tiga minggu, kesedihan yang terjadi di istana tetapi apa yang Mia lakukan sudah benar.

"Ia jauh lebih penting dari padaku, aku tak akan mungkin membiarkannya mati," kata Mia tanpa sadar.

"Mia!"

Tiba-tiba saja pintu kamar Mia terbuka cepat. Tampaklah Vionna yang matanya telah mengeluarkan air mata dengan derasnya.

"Vio...?"

"Itu tidak benar!" seru Vionna.

"Putri Vionna, anda dari tadi...-"

"Aku mendengarnya! Dari awal! Rambutmu yang menandakan tubuhmu sedang lemah! Tanganmu yang menyerap energi! Aku bertahan mendengar hal itu! Tetapi! Tetapi...." Vionna terisak sejenak.

"Vio, tenangkanlah dirimu," kata Mia yang ingin menghampiri tuannya itu tetapi perutnya begitu sakit jika di gerakkan.

Vionna mengusap air matanya kasar lalu berjalan mendekati Mia. Ia memegang kedua pipi Mia, "tetapi jangan mengatakan bahwa kau tidak begitu penting, kau sangatlah penting," kata Vionna dengan air mata yang kembali keluar dari matanya.

Mia tertegun sejenak lalu mengusap pelan air mata Vionna lalu tersenyum, "iya, terimakasih."

Vionna langsung memeluk Mia sambil menumpahkan semua air mata yang ia tahan selama melihat keadaan Mia sebelumnya.

Tanpa mereka ketahui, seseorang sedang menyandarkan tubuhnya di dinding yang sedikit jauh dari kamar Mia. Ia dapat mendengar dengan jelas isakan adiknya karena pintu kamar Mia terbuka dengan lebar. Ia memejamkan matanya, menyembunyikan iris merahnya.
.
.
.
Saat sore hari, suasana kamar Mia sangatlah hening. Mia yang kembali memejamkan matanya sedikit demi sedikit mencoba mengingat masa lalunya. Tiba-tiba terdengar seperti seseorang yang masuk ke dalam kamarnya dan duduk di sebelahnya.

Sebelum ia membuka matanya, ada sesuatu yang dingin menyentuh dahinya. Mia tersenyum tanpa membuka matanya.

"Apakah anda dapat merasakan panas pangeran?" kata Mia sambil membuka matanya sedikit dengan senyum kecil di wajahnya.

Lowel terdiam lalu ikut tersenyum kecil, "aku rasa tidak. Sudah lama aku tidak merasakan suhu."

"Tetapi tanganmu begitu nyaman. Apakah egois jika aku meminta anda agar tangan anda tetap seperti ini?" tanya Mia dengan ekspresi takut.

"Tidak, aku sama sekali tidak keberatan," kata Lowel sambil tersenyum lembut.

"Terimakasih banyak," kata Mia sambil tersenyum lebar yang membuat Lowel merasakan hangat di hatinya.

Setelah keheningan terjadi beberapa menit, Lowel membuka suaranya.

"Mafkan aku," katanya pelan.

"Masalah seorang pemimpin memanglah lebih banyak dibandingkan pelayannya. Jadi hal itu bukanlah masalah bagiku," kata Mia sambil kembali tersenyum dan melihat Lowel.

"Tidak seharusnya aku melemparkan kekesalanku padamu," kata Lowel seperti menahan kepahitan.

"Pangeran," panggil Mia dengan tangan yang hampir terulur.

Mia kaget dengan apa yang ia lakukan dan langsung menarik kembali tangannya. Tanpa ia ketahui bahwa Lowel melihat apa yang lakukan.

"Anda tidak perlu meminta maaf, seharusnya saya yang meminta maaf karena telah berprilaku kasar," kata Mia yang tak berani menatap tuannya seperti biasa.

Keheningan kembali terjadi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh kedua orang itu.

"Sekali lagi aku meminta maaf."

"Pangeran, anda tak perlu...-"

"Seharusnya aku mengetahui kelemahanmu dan tak membiarkan hal ini terjadi," kata pangeran Lowel dengan wajah yang seakan-akan kesal pada dirinya sendiri.

"Pangeran?" panggil Mia bingung.

Lowel memejamkan matanya, mengatur nafasnya lalu kembali menatap Mia, "Lurch mengatakannya padaku."

"Mengatakan apa?" tanya Mia bingung dengan perasaan was-was.

Lowel terdiam sejenak akhirnya kembali berbicara, "mengenai kelemahanmu. Kelemahan semua peri Eleanor. Alasan mengapa mereka hilang begitu cepat."

Mia melihat pangeran Lowel yang menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan kepedihan. Lalu membuang pandangannya ke arah tangan kirinya yang tertutupi selimut.

"Mia," panggil Lowel lembut. Tetapi tidak dibalas apapun oleh yang dipanggil.

"Mengapa kau tak mengatakan hal yang sebenarnya?" tanya Lowel kembali dengan nada yang lembut.

"Saya yakin anda mengetahui jawabannya," kata Mia sambil melihat Lowel dengan senyum sedih.

Lowel menghembuskan nafasnya pelan lalu mengelus kepala Mia, "beristirahatlah dan jangan paksakan dirimu," katanya lalu beranjak dari tempatnya.

Setelah pintu di tutup Mia langsung menutup mulutnya dengan sebelah lengannya.

Mia POV

Astaga! Astaga! Tangannya!!!!
Dia tiba-tiba meletakkan tangannya di dahiku. Padahal ia tak bisa merasakan suhu!
Lalu tadi ia mengelus kepalaku!!! Aaaaaaaakh!

Oh iya, sebelumnya juga kak Adean bilang kalau pangeran selalu di sini? Menungguku siuman? Apa?! AAAAAAK!!

Sadar Mia, sadar! Ia hanyalah tu-an-mu! Jangan berharap lebih! Tetapi sifatnya membuatku berharap lebih. SADAR MIAAAA!!

Tetapi biarlah, aku hanya bisa menikmatinya sekali seumur hidup. Kecuali kalau lagi beruntung saja. Hehehe.
.
.
.
Author POV

"Apa kau yakin tak perlu menemui Lowel terlebih dahulu?" tanya seseorang bertelinga runcing itu di lorong istana Lowel.

"Santai saja, mungkin sekarang ia sedang diberitahu oleh salah satu pelayannya tadi," kata seorang wanita berambut pendek dengan senyum di wajahnya.

"Apakah kau tau di mana kamarnya Ardelia?" tanya seseorang yang bertelinga kucing itu.

"Percayakan saja padaku Rois," kata Ardelia dengan percaya dirinya.

Sampailah mereka di depan pintu kamar yang langsung dibuka oleh Ardelia dengan mantap. Tetapi mereka terhenti saat melihat seorang wanita dengan surai ungu yang bercahaya sedang memakai dress simpel yang terlihat seperti kaos.

"Huh? Apakah kalian datang untuk bertemu pangeran Lowel?" tanya wanita itu bingung.

Tetapi yang ditanya tak menjawab, hanya melihat wanita itu dalam diam. Sedetik kemudian Ardelia menutup pintu dengan cepat.

"Lowel menyimpan seorang wanita!" seru Ardelia tertahan dengan wajah panik.

"Kau bilang kau tau dimana kamarnya!" seru Rois tertahan juga.

"Ya aku tau!" seru Ardelia tertahan.

"Dari mana kau tau?" tanya seorang lelaki dengan tanduk di kepalanya.

"Rahasia," jawab Ardelia cepat.

Langkah kaki terdengar nyaring menuju mereka, saat yang lainnya menoleh terlihat Lowel yang sedang berlari kecil ke arah mereka.

"Lowel!" sambut Ardelia.

"Mengapa kalian tak menemuiku terlebih dahulu?" tanya Lowel terdengar kesal.

"Ini adalah keputusannya Ardelia," kata seorang yang bertelinga runcing tadi sambil merilik ke arah Ardelia dengan wajah datar.

"Kami hanya tidak ingin menganggumu, sekaligus memberi kejutan pada Daniel. Tetapi di mana ia?" tanya Ardelia.

Tiba-tiba pintu kamar yang sebelumnya dibuka oleh Ardelia terbuka dari dalam dan menampakkan seorang wanita tadi di balik pintu.

"Seharusnya kalian tak perlu melakukan hal itu," katanya sambil tertawa pasrah.

"Mia! Mengapa kau beranjak dari sana?" tanya Lowel khawatir.

"Tenang saja pangeran, saya sudah tidak apa-apa," kata Mia sambil tersenyum tulus.

"Tetap saja kau tak perlu melakukan banyak pergerakan, bagaimana jika lukamu kembali terbuka?" tanya Lowel.

"Ini sudah hampir sebulan saya berada di atas kasur, sudah saatnya menggerakan tubuh ini sebelum lupa caranya bergerak," kata Mia sambil tertawa kecil.

Lowel menatap Mia dengan tatapan khawatir, tetapi tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan.

"Saya berjanji tidak akan melakukan pergerakan yang gegabah pangeran," kata Mia yang membuat Lowel lebih tenang.

"Em... Jadi?"

Lowel dan Mia menoleh ke Sumber suara dan mendapati 'mereka' yang melihat Lowel dan Mia dengan tatapan bingung.

"Ah maaf, tetapi sungguh kalian tak perlu datang kemari hanya untuk itu," kata Mia.

"Kau adalah..."

"Daniel."

"HAAAAAAH?!" seru Ardelia sedangkan yang lainnya menatap Mia tak percaya.

"Tetapi kau berpakaian laki-laki," kata Ardelia tak percaya.

"Tentu saja aku harus memakai seragam butler saat bekerja sebagai butler," kata Mia dengan santainya.

"Lalu rambutmu?" tanya lelaki bertanduk.

"Aku memakai wig," kata Mia.

"Tunggu, kau... rambutmu," kata Rois.

"Oh, iya. Sepertinya aku diberi kekuatan oleh seorang peri eleanor ungu," kata Mia sambil mengambil sedikit rambutnya.

"Tunggu, jadi inilah alasan mengapa kau mengajaknya ke conso fantasy?" tanya Ardelia sambil menunjuk rambut Mia.

Lowel mengangguk, "sebelumnya aku juga tidak tau bahwa ia diberikan kekuatan oleh peri Eleanor."

"Itu artinya... Um... Maaf, siapa namamu?" tanya Ardelia bingung.

"Mia, tetapi kau juga dapat memanggilku Daniel. Tidak ada bedanya untukku," kata Mia sambil tersenyum.

"Oke mulai saat ini namamu adalah Mia dan semua harus memanggilmu Mia."

"Mengapa?"

"Karena itu adalah namamu! Itu namamu bukan?" tanya Ardelia.

"Ah iya, kau benar," kata Mia ragu.

Ardelia menarik Mia masuk ke dalam kamarnya untuk berbicara lebih lagi. Begitu juga yang lainnya juga ikut masuk ke dalam sedangkan seorang yang bertelinga tajam itu menarik Lowel untuk berbicara berdua dengan suara pelan. Mia yang melihat hal itu menahan rasa penasarannya.
.
.
"Mia, kau tak perlu mengantar kami," kata Rois merasa tak enak.

"Tenanglah, berjalan adalah gerakan pelan," kata Mia sambil tersenyum.

"Ya, setidaknya kau tak boleh terjatuh dulu," kata seorang bertelinga tajam tadi.

"Siap!" kata Mia dengan senyum lebar.

Sesampainya di depan, Mia mencolek seorang bertelinga tajam itu lalu berbisik setelah ia melihatnya.

"Apakah bisa berbicara berdua?" bisik Mia.

Yang dibisik mengangguk dan mengikuti Mia sedikit menjauh.

"Kak Lurch, katakan ada apa," kata Mia setelah merasa cukup jauh.

"Apa maksudmu?" tanya Lurch bingung.

"Jangan menggelak, aku mendengarmu saat itu memohon pangeran lowel untuk... Um... Menjenguknya. Setelah itu ia pulang dengan perasaan yang campur aduk lalu tadi kalian mengambil waktu berdua. Apakah membicarakan hal yang sama?" tanya Mia.

Lurch sedikit kaget mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Mia. "Kau penasaran?" tanya Lurch sambil tersenyum.

"Jika aku tak penasaran, aku tidak akan bertanya," kata Mia yang merasa kesal.

"Kapan kau mempunyai waktu kosong?"

"Untuk apa?" tanya Mia bingung.
.
.
.
.
.
-(30/08/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top