DUA : Masih Kusimpan Jejakmu
Dedicated to : EmaYufina,
"Meski dirimu menghilang, wangi nafasmu masih kurasakan"
Setelah mengantar Livi ke rumahnya yang terletak di ujung kompleks perumahan mewah itu, Ibra segera memacu mobilnya menuju ke rumahnya. Ya, rumahnya. Karena sejak lulus kuliah dan bekerja di salah satu anak perusahaan Ayahnya, Ibra sudah berinvestasi dengan membeli sebuah rumah, meski dengan mencicil. Bukan dengan cuma-cuma dia dapatkan dari Ayahnya, tapi nyaris murni penghasilannya sendiri.
Begitu seorang pembantu setengah umur membuka pintu untuknya, Ibra bergegas menuju ke ruang kerjanya. Membuka salah satu laci yang jarang dibukanya, mengaduk beberapa isinya seperti mencari sesuatu. Namun sepertinya Ibra kecewa karena tak menemukan apa yang dicarinya.
"Dimana aku letakkan ya ?" Ibra bergumam lirih sambil berkacak pinggang. Dia mencoba mengingat kembali dimana pernah melihat barang yang dicarinya itu.
Dalam hatinya, Ibra demikian geram saat kembali mengacak-acak laci yang lain dan tak menemukan apa yang dicarinya. Dia mengacak kasar rambutnya, lalu mengusap wajahnya ketika tiba-tiba seraut wajah lugu kembali menghampirinya.
'Indira....' Ibra membathin dengan jengah ketika wajah gadis yang selama beberapa tahun ini tertimbun di dasar hatinya, kini mencuat kembali ke permukaan.
Maka dengan kesal Ibra menghempaskan dirinya ke atas kursi sofa yang terletak di sudut ruang kerjanya. Matanya menerawang, jauh menerobos masa mudanya yang sensasional.
Flash back ...
Kafetaria SMA 2 selalu ramai dengan murid-murid yang sebagian besar anak pengusaha dan anak pejabat penting kota itu. Seperti halnya Ibra remaja. Laki-laki berperawakan tinggi dan berkulit coklat itu terlihat sedikit menonjol diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia tampan, karena jelas masih ada yang jauh lebih tampan. Atau juga bukan karena dia berkulit putih karena jelas dia memiliki kulit sawo matang yang membuat kesan jantan pada profilnya.
Adalah satu yang membuat Ibra selalu menjadi pusat perhatian teman-teman perempuannya, yaitu karena dia memiliki rambut yang sedikit gondrong dengan wajah yang memiliki garis muka yang tegas.
Tentu saja ini mengundang selera para gadis di SMA 2 itu. Baik itu adik kelas maupun teman seangkatannya. Ibra masih sangat ingat bagaimana beberapa teman laki-lakinya terlihat sirik namun tak berani berkutik, karena Ibra lebih digilai para perempuan.
Lalu sekelompok anak paling usil yang pernah nongkrong di SMA 2 itu yang selalu membuat ulah dengan membully beberapa adik kelas mereka. Ketua kelompok usil itu adalah Lusiana, anak ketua komite SMA 2 yang terkenal judes dan suka sadis meskipun wajahnya cantik.
Lusiana adalah mantan pacar Ibra ketika mereka masih kelas satu. Mereka putus karena Ibra memergoki Lusiana sedang berciuman dengan Sergio, anak seorang duta besar dari Brazil.
Sejak saat itu, Ibra selalu menghindar setiap kali bertemu dengan Lusiana. Bahkan ketika perempuan itu nekad menemuinya, Ibra bersikukuh untuk putus meski Lusiana terus menerus memohon tak ingin putus. Tapi Ibra tetap pada keputusannya untuk berpisah.
Sejak saat itu, mereka seperti bermusuhan. Dan Ibra mulai berpetualang dengan perempuan-perempuan lainnya yang selalu saja dengan sukarela menjadi teman kencannya, meski hanya satu bulan. Dan itu salah satu yang menjadi merk Ibra. Play boy.
Tapi salah siapa kalau Ibra menjadi play boy ? Bukan mau dia kalau perempuan itu selalu nempel dan cari muka di depannya. Bukan salahnya juga jika kemudian perempuan-perempuan itu bahkan sempat gaduh karena memperebutkan Ibra.
Tak terkecuali Lusi yang selalu mengintimidasi setiap perempuan yang dikencani Ibra. Dan ujungnya jelas saja, para perempuan itu tak lagi mendekati Ibra. Tapi Ibra tak kan ambil pusing dengan semuanya.
Tapi semenjak kejadian di toilet kafe itu, semuanya nyaris berubah. Karena entah mengapa, seiring berlalunya gadis itu, seperti ada yang kurang dia rasakan. Ada yang tak lengkap. Dan ada satu ruang yang selama ini kosong, kini tiba-tiba terisi.
Rindu ...
Ya, Ibra merasa bahwa dia ingin kembali bertemu dengan Indira.
Namun beberapa hari sesudahnya, Ibra tak mendapati gadis itu ada di SMA 2 itu. Seringkali diantara candaannya, Ibra celingukan mencari keberadaan Indira.
"Celingukan mencari siapa ?" Reni, teman tomboy Ibra menyela saat dia melihat Ibra tak konsen dengan obrolan mereka.
"Nggak ada" Ibra menjawab singkat.
Reni tertawa kecil, mentertawakan kebohongan yang dilakukan Ibra.
"Yaelah, Ibra ... dari jaman kapan kita temenan. Masih saja suka bohong" Reni mengejek Ibra.
Ibra tersenyum kejut mendengar kalimat Reni yang sangat-sangat benar.
"Nanti juga tahu sendiri" jawabnya.
Reni semakin terbahak membuat sebagian penghuni kafe siang ini menoleh ke arah mereka.
"Tawamu membuat mereka memandang kita seolah kita makhluk mengerikan, tahu ?" Ibra melotot.
"Habis ... kamu seperti ABG labil yang sedang jatuh cinta"
Blush !!!
Ibra merasa seperti dilempar ke dunia pink dengan gambar love-love yang berhamburan. Sialan, Ibra mengumpat dengan hatinya yang tiba-tiba menghangat hanya dengan mengingat wajah pendiam itu.
Bel masuk kelas telah kembali berbunyi, namun seorang gadis malah mengendap diam-diam ke arah kantin. Tangannya memegang sebuah bungkusan koran yang digenggamnya dengan sangat hati-hati seolah isinya sangat berharga. Pandangan gadis itu celingukan mencari seseorang. Suasana kantin yang mulai sepi mempermudah gadis itu untuk mencari.
Dia hampir putus asa, ketika tiba-tiba sesosok berkulit coklat itu keluar dari toilet kantin dan langsung menangkap dirinya dengan pandangan tajam. Pandangan keduanya bersirobok, menimbulkan debar luar biasa yang menghantam gadis itu.
Seketika dia kikuk dan menunduk, kehilangan fokusnya akan tujuan semula. Lalu ketika laki-laki itu malah berjalan mendekat ke arahnya, gadis itu semakin hilang konsentrasi.
"Indira ?" laki-laki itu menyapa dengan senyum kecil yang entah mengapa tiba-tiba tersungging di bibirnya.
Indira, gadis yang mengendap-endap di kantin itu mengangguk meski masih tetap menunduk.
"Mencari siapa ?" laki-laki itu bertanya.
Lalu Indira menyodorkan bungkusan koran yang dipegangnya ke arah Ibra, laki-laki itu.
"Apa ini ?" Ibra tak segera menerimanya.
"Itu ... itu jas punya kakak yang saya pinjam" jawab Indira tak berani menatap Ibra. Sungguh, dia ingin jam segera berlalu.
Ibra tersenyum. Diangkatnya dagu Indira agar menatap ke arah dirinya. Tapi begitu Ibra menatap ke lorong mata Indira, sungguh bukan hanya mata yang tertangkap olehnya. Karena di kedalaman mata Indira, Ibra menemukan keteduhan yang misterius. Seperti telaga yang kedalamannya tak bisa diselami oleh Ibra. Membuatnya terhipnotis selama beberapa jenak.
"Aku tak membawa tas sekarang, jadi bisakah kamu membawanya sebentar ? Nanti pulang sekolah, aku menunggumu di belakang lab untuk mengambil jas ini. Mengerti ?" Ibra berkata lirih.
Indira hanya mengangguk.
"Oke, sepulang sekolah aku menunggumu di belakang lab. Jangan lama-lama, karena aku tak suka menunggu" Ibra berkata lirih, sedikit mengintimidasi meski dalam hati dia ingin tertawa terbahak melihat Indira yang hanya mengangguk dan menunduk.
"Sekarang kembali ke kelasmu"
Lagi-lagi Indira mengangguk. Lalu tanpa basa basi lagi, gadis itu beranjak mendekap bungkusan jas, meninggalkan Ibra yang masih tersenyum geli. Bagaimana mungkin ada perempuan di sekolah ini yang reaksinya sedatar itu, sementara gadis lain tentu akan sangat genit dan berbinar padahal hanya bertatapan pandang dengannya.
Tapi ini sedikit berbeda, karena perempuan pendiam yang satu ini tak sedemikian hebohnya meski Ibra mencoba intim dengan memegang dagunya. Indira sangat tak terpengaruh, dan ini menantang buat Ibra.
Flash Back off ...
Drrrttt ... drrrttt ...
Ponsel Ibra bergetar membuat lamunan Ibra tentang Indira musnah seketika.
"Ya, halo ?" Ibra mengangkat telepon yang tak ada namanya itu.
" Hei, Ibra ? Antar aku ke mall yuk, aku harus mencari baju untuk ke pesta Dimas " suara cempreng seorang perempuan begitu saja memenuhi gendang telinga Ibra, membuat laki-laki itu semakin penat.
"Come on, Jane ... aku lelah hari ini, kau tahu ? Bahkan jam segini aku masih belum mandi" Ibra menjawab malas.
"Ayolah, Ibra ?! Atau kamu tak akan mendapat kawan secantik aku lagi kalau kau menolak ?" gadis di ujung telepon mengancam Ibra.
Ibra yang jengah hanya mencibir, meski dia tahu bahwa Jane, perempuan teman kecilnya itu, tak akan tahu bahwa Ibra mencibirnya.
"Baiklah ... baiklah ..." akhirnya Ibra mengalah.
Di seberang, Jane bersorak senang karena berhasil mengajak Ibra belanja ke mall.
Sementara Ibra yang tak menemukan apa yang sejak tadi dicarinya, dengan putus asa lalu beranjak ke kamarnya untuk mandi dan bersiap menjemput Jane, sebelum perempuan super cerewet itu membombardirnya dengan telepon dan meminta untuk dijemput segera.
Di bawah guyuran shower, Ibra berharap agar bayangan Indira juga hilang dari kepalanya.
* * * * *
Sementara malam terus beranjak, dan pengunjung di kafe Ozone juga semakin memadat, membuat Indira berhasil menghalau bayangan Ibra yang sejak senja tadi menghantui otaknya. Indira harus tahu diri, bahwa mimpinya akan tetap menjadi sebuah mimpi. Bahwa debaran jantungnya tak boleh lebih dari apa yang diam-diam diharapkannya selama ini. Tidak, Ibra tidak akan pernah menjadi apa yang diinginkan Indira. Mereka adalah dua kutub yang berseberangan.
Lalu ketika malam mulai larut, dan pengunjung Kafe Ozone juga mulai berkurang, Indira berkemas.
"Sudah dijemput, In ?" Mbak Riris bertanya sambil tersenyum ke arah Indira.
Indira hanya tersenyum.
"Kelihatannya dia lelaki yang baik. Dia sayang banget sama kamu sampe tiap malam menjemput ?" Mbak Riris berujar.
"Dia hanya teman kok, Mbak" Indira menjawab dengan ekspresi datar, meyakinkan bahwa Darius memang hanya seorang teman.
"Bener hanya teman ?"
"Bener. Dia teman saya sejak tahun pertama masuk kuliah. Lagian dia juga punya pacar"
"Yeee...jangan salah ya, In ? Pacar bisa putus lho, dan teman juga bisa jadi pasangan ?"
Indira tertawa sambil menyandang tas punggung yang hanya berisi handuk kecil, dompet dengan isi yang nyaris selalu minim, dan sebuah handphone usang yang bahkan huruf di keypad nya nyaris tak kelihatan.
"Saya pulang dulu, Mbak" Indira segera pamit pulang dengan menyandang tas punggungnya.
"Oke, hati-hati di jalan ya ?"
Indira tersenyum dan berjaan ke luar kafe. Dan senyumnya segera terkebamng begitu di luar kafe, di dekat mobil yang berderet parkir, Darius sudah menunggu di atas sepeda motornya.
"Hei ? Lama menunggu ?" Indira bertanya.
"Nggak juga. Langsung pulang ?" Darius menatap Indira yang kelelahan.
"Iyalah, aku capek banget"
"Besuk lagi jangan terlalu memaksakan diri. Kalau capek ya nggak usah lembur"
"Tadi ada teman yang nggak masuk, malam minggu biasanya ramai. Jadi kasihan Mbak Riris kalau nanti banyak pembeli"
"Tapi ingat juga kesehatan"
Indira hanya terdiam dan mengangguk. Dia tahu kalau terus di lawan dengan jawaban, Darius akan berubah menjadi lebih cerewat dari nenek-nenek yang menopause.
"Ya sudah, kita pulang sekarang apa mau berdebat nih ?" Indira menyela.
"Dasar !!!" Darius mengumpat jengkel dengan sikap keras kepala Indira.
Lalu Darius mengulurkan helm yang diterima Indira untuk kemudian dikenakannya. Lalu dengan segera naik ke boncengan Darius. Dalam beberapa menit kemudian Darius melarikan sepeda motornya meninggalkan kawasan mall tempat kafe Ozone.
Mereka tak menyadari bahwa di sisi yang lain, di ujung deretan parkir mobil, sepasang mata menatap mereka dengan sedikit putus asa. Ada sesuatu yang hilang saat dia melihat Indira di jemput dan dibonceng oleh seorang laki-laki, pergi meninggalkan kafe Ozone.
Laki-laki itu adalah Ibra, yang tanpa sengaja melihat Indira saat dia mengantar Jane mencari baju di mall tersebut. Sudut hatinya seolah patah berantakan. Wajah masa lalu yang kerap kali datang itu kini seolah lepas dari jangkauannya.
* * * * *
Usai mengantar Jane belanja baju, Ibra melarikan mobilnya menuju sebuah pub yang menjadi tempatnya nongkrong menghabiskan malam. Terkadang dia harus menghabiskan malamnya dengan perempuan malam. Bukan untuk bercinta atau apa, dia hanya butuh teman minum. Karena, dalam kesehariannya yang sangat memungkinkan untuk mengenal banyak perempuan dengan segala macam godaannya, Ibra selalu memilih perempuan yang akan dijadikannya teman tidur.
Tapi malam ini, Ibra benar-benar tak bernafsu dengan yang namanya perempuan. Bukan karena tak ada perempuan dan uang yang tidak memadai, karena Ibra selalu bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk kesenangannya akan sebuah kepuasan. Tapi karena seraut wajah yang sejak senja tadi menghantui otaknya. Mengungkit masa lalu yang coba dilupakannya.
Dan dengan sangat galau, Ibra meninggalkan pub itu. Memacu mobilnya pulang. Suasana yang nyaris pagi itu membuat Ibra terkurung kantuk. Dengan terhuyung, Ibra memasuki ruangannya. Melepas baju dan kemudian melepas jam tangan yang setiap hari nangkring di pergelangan tangannya, dan menaruhnya di laci nakas.
Begitu membuka laci, ada yang menarik perhatiannya. Sebuah kotak berwarna hitam.
Dengan tergesa, dia mengambil kotak itu dan membukanya. Jleb !!! Entah mengapa Ibra merasa demikian membuncah saat dia menemukan kotak hitam itu. Segera dibukanya kotak tersebut dan mengambil isinya. Diraup dan dia cium isinya yang berupa selembar sapu tangan.
Ya, hanya sebuah sapu tangan memang. Tapi sapu tangan ini yang menghubungkannya dengan kisah masa lalu yang ingin dilupakannya, namun senja tadi malah muncul dan menghantui otaknya hingga kini.
Dengan sisa kantuk yang masih menggayuti matanya, Ibra menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang kamarnya. Menutup wajahnya dengan sapu tangan hitam berukir bunga mawar di salah satu pojoknya.
Ibra berharap, pemilik sapu tangan itu ingat dan tahu, bahwa dia mengambil sebagian hati Ibra. Wanginya memang telah hilang dari sapu tangan itu, tapi Ibra tak akan lupa wangi pemiliknya.
* * * *
Next : Tentang Selembar Sapu Tangan
s
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top