8.
Ester menatap kedua wanita yang bersaudara itu. Dia melangkah mendekat lalu duduk di samping Dahlia. Namun, tiba-tiba saja Ester membaringkan tubuhnya di sana dengan kepala bertumpu pada kaki Dahlia.
"Mi, aku mau nyari jati diri," ujar Ester dengan atensi tertuju pada Dahlia.
Mendengar penuturan keponakannya, Asha tertawa membuat Ester menatap ke arahnya dengan kesal. Kakaknya langsung memperingati Asha agar tidak seperti itu pada putrinya.
"Aunty kenapa malah ketawa?" tanya Ester semabri menggembungkan pipinya yang putih kemerah-merahan.
Melihat perilaku Ester, Dahlia tersenyum. Tangannya mengelus rambut Ester dengan penuh kasih sayang. Meski di lubuk hatinya yang paling dalam dia selalu merasa takut kehilangan.
"Ester, jati diri itu bukan dicari," kata Dahlia yang membuat Asha mengangguk.
"Terus biar kita tahu jati diri kita itu gimana?" tanya Ester yang dibalas senyuman oleh Dahlia.
"Mencoba berbagai hal, berpetualang, merenung dan banyak lagi," tutur Dahlia.
Ester terdiam. Neuron-neuron dalam otaknya merespons lambat. "Terus sekarang aku harus apa, Mi?"
"Kamu coba apa yang bisa kamu lakukan. Kamu coba mainin alat musik, nyanyi, olahraga, bela diri, mengajarkan ilmu ke orang lain, menolong orang lain tanpa pamrih, menjahit, menggambar, atau apa pun itu," jelas Dahlia. Asha yang di sampingnya memperhatikan dan sesekali mengangguk.
"Aku pengen coba semuanya, tapi sekarang kan awal kelas dua belas, bakalan sulit. Harusnya aku persiapkan ini semua dari jauh-jauh hari," ujar Ester penuh penyesalan.
Dahlia menggeleng. "Nggak perlu disesali. Apalagi penyesalan selalu di akhir. Setidaknya aku mengetahui apa passion kamu sebelum kamu kuliah. Karena ketika kau terlambat menyadari, kamu bisa aja salah ambil jurusan," jelas Dahlia diiringi senyuman.
Ester memejamkan matanya, dia merasakan Dahlia mengusap kepalanya. "Tapi, Mi, aku itu belum nemuin passion. Aku aja belum tahu nanti mau kuliah jurusan apa," tuturnya yang membuat Dahlia menghentikan pergerakan tangannya.
"Umi sih tergantung kamu mau jadi apa juga. Yang penting kamu enjoy jalaninnya, tanpa paksaan."
"Tapi kalo kamu mau ambil bisnis dan manajemen, atau HI bakalan agak sulit kayaknya. Itu kan jurusan anak IPS. Paling kamu seputar kesehatan, atau enggak jurusan teknik," timpat Asha. Pikiran gadis itu tiba-tiba saja teringat seseorang yang menggunakan jas putih. Dia menghela napas sebentar lalu menyadarkan diri bahwa lelaki itu bukan untuknya. Dia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka.
Dahlia menanggum setuju. "Tapi nggak ada salahnya, loh, kalo kamu pengen jadi pebisnis. Di keluarga kita kebanyakan sebagai seorang pengusaha," lontar Dahlia.
Asha mengangguk sembari memindahkan saluran televisi. Ester juga ikut mengangguk pelan.
"Nanti aku pikir-pikir lagi, deh, Mi. Soalnya aku juga masih bingung sama diri sendiri," tutur Ester dengan mata terpejam.
Dahlia mengangguk dengan tatapan fokus pada Ester. Gadis itu memberikan semangat untuk dirinya hidup.
"Tapi kayaknya aku bakalan coba dulu ngegambar, deh," kata Ester tiba-tiba yang membuat Dahlia kaget.
***
Tangan putih milik Ester mengambil buku gambar dan pensil. Dia duduk di meja belajar dengan menatap pada dua yang barusan diambilkan. Ia merasa tak tahu cara memulainya dengan apa.
"Masa mau gambar gunung sama sawah," desis Ester frustrasi.
Dia menjambak rambutnya sendiri dengan tatapan tertuju pada cermin. "Gue harus coba!" perintah Ester pada dirinya.
Gadis itu meraih ponsel, lalu berselancar di internet untuk mencari gambar yang mudah ditiru. Dia mendownload beberapa gambar rumah dan manusia.
"Siapa tahu jadi arsitek, atau nggak, komikus," ujarnya.
Beberapa jam berlalu dan Ester melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Ia terus menghapus apa yang telah ditulisnya.
"Passion, adalah sesuatu yang apabila dikerjakan merasa senang, tidak pernah bosan melakukannya, mudah belajarnya, dan tidak masalah jika tidak dibayar," tutur Ester mengingat apa itu passion.
"Hobi, adalah sesuatu yang disenangi dan hampir ingin selalu dilakukan. Hobi itu menyenangkan dan biasanya dilakukan di waktu luang. Tidak semua hobi bisa diuangkan. Hobi adalah koneksi di neuron yang lebih kuat. Hobi bisa juga tercipta karena lingkungan," gumamnya mengingat hobi.
Ester berdiri lalu melangkah tempat tidur. Ia langsung berbaring di sana dengan tatapan menatap langit-langit kamar.
***
"Hai," sapa Iqbal tatkala Ester menginjakkan kaki di tanah. Ester membalasnya dengan senyuman.
"Gimana? Udah mau coba-coba?" tanya Iqbal. Ester hanya mengangguk pelan. "Semangat! Aku tahu kamu pasti bisa!"
Dua orang itu kemudian melangkahkan kakinya beriringan. "Makasih," balas Ester.
"Nanti kamu mau coba latihan main musik atau nyanyi, nggak? Soalnya nanti aku mau latihan band," jelas Iqbal memberitahu.
Mata Ester berbinar. "Beneran?" Iqbal mengangguk lalu tersenyum melihat Ester yang senang. "Mau ikut," ujarnya yang dibalas anggukan Iqbal.
Mereka menjadi pusat perhatian akibat suara Ester yang terlalu semangat. Merasa diperhatikan, mereka terkekeh pelan.
"Nanti jemput aku ke sini, ya!" perintah Ester pada pacarnya itu.
"Baik, bos!" Iqbal hormat pada Ester lalu mereka terkekeh.
"Udah sana! Keburu masuk!" titah Ester.
Iqbal menampakkan raut wajah sedih. "Diusir pacar sendiri, sad-nya," katanya yang membuat Ester terkekeh.
Beberapa detik kemudian, Iqbal benar-benar pergi dari hadapannya. Dia membalikkan tubuh untuk masuk kelas. Pandangannya langsung tertuju pada bangku paling ujung yang ada di pojok. Harun. Ya, lelaki itu tengah menatapnya, tetapi saat Ester balik menatapnya dia malah memalingkan wajah.
Ester mengabaikannya. Ia berjalan menuju bangkunya. Ketika pandangan Hela tertuju padanya dengan pandangan tak suka, Ester langsung bertanya, "Kenapa, Hela?"
Suara Ester yang cukup tinggi membuat beberapa temannya yang sudah ada di sana menatap keduanya. "Hah? Nggak," balas Hela sembari menggelengkan kepalanya.
Ester langsung melangkahkan kaki menuju bangkunya. Dia mendapati bangku Risa yang masih kosong. "Tumben anak itu belum dateng," lirihnya. Ester kemudian memilih membuka buku catatannya untuk sekedar membunuh waktu dengan membaca.
Namun, ponselnya berdering. Dia melihat nama si penelepon. Di sana tertera nama Ethan Belvara Marino. Tangan lentik itu tak langsung menerimanya. Dia memikirkan tentang dirinya yang entah kenapa, dia saja malah tak mengenalnya saat ini.
Ethan adalah pacar kelimanya. Kemarin-kemarin Ester bertekad untuk menjauhi semua pacarnya, tetapi dia malah sebaliknya pada Iqbal. Ia menutup wajahnya dengan tangan. Dering panggilan tak terdengar lagi. Ester menghela napas sembari menyugar rambutnya.
"Halo!" Ester terperanjat saat melihat waktu yang berjalan di layar ponselnya.
Ester berdecak sembari meraih ponselnya. "Halo, Ethan," balasnya. Ester merasa heran siapa yang menerima teleponnya, padahal jelas-jelas Ester sedari tadi tengah bergulat dengan pikirannya.
Pandangan gadis itu tertuju ke sebelah kiri. Dia mengembuskan napas saat menyadari Risa ada di sebelahnya.
"Aku nggak bisa. Nanti mau ikut Iqbal latihan band." Ucapan Ester bukan membuat Ethan saja yang terkejut, melainkan Risa juga.
"Kalo gitu nanti aku tungguin sampe kamu pulang!"
Hai, selamat pagi
Gimana kabarnya?
Insyaallah nanti publish lagi. Jangan lupa tinggalkan vote sebagai tanda apresiasi.
Selamat menjalankan aktivitas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top