6.
Asha menatap pintu masuk yang terbuka, lalu menatap jam dinding. Melihat keponakannya yang pulang dengan wajah pucat membuat Asha mengurungkan niatnya untuk memarahi Ester.
Perempuan itu bergerak cepat ke arah Ester lalu menuntun Ester ke kamarnya. Ratusan pertanyaan memenuhi pikirannya, tetapi ia tak tega jika harus melontarkan semuanya sekarang.
"Kamu kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya.
Ester langsung menggeleng lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Karena tidak percaya dengan bahaya tubuh keponakannya, Asha menempeljan tangannya ke kening Ester.
Asha ingin bersuara, tetapi urung saat suara Ester kembali terdengar. "Aku nggak apa-apa kok, Aunty. Ini cuma siklus bulanan." Asha akhirnya hanya menghela napas lalu beranjak keluar.
"Aunty, Umi ke mana?" tanya Ester sembari menarik selimut.
"Lagi pergi sama Abi kamu. Katanya ada urusan dulu," jelas Asha.
Ester kembali mengangguk dengan lemah. Biasanya sosok Dahlia yang paling khawatir saat Ester pulang terlambat, apalagi jika mengetahui kali ini dirinya pulang dengan wajah pucat. Baru ditinggal beberapa jam saja dia sudah merindukan uminya itu.
***
"Sekarang udah baikan?" tanya Asha yang menyiapkan makan malam. Dahlia dan Steven masih belum pulang, jadi rumah hanya diisi oleh mereka berdua.
Ester mengangguk. "Iya, udah baikan, Aunty. Tadi juga sempet dikasih obat sama Tony," balas Ester diiringi dengan tangan yang menarik kursi. Wajahnya yang tampan segar membuat Asha percaya.
Asha mengembuskan napas lega. "Syukurlah." Perempuan itu mengambil duduk di hadapan Ester. "Tadi kamu kenapa?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Asha. Sedari tadi, dirinya sangat khawatir pada ponakannya itu, apalagi dia anak satu-satunya di keluarga Romanoff.
Yang ditanya malah mengambil minum lalu menegaknya perlahan. Ester mustahil tak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tentang dirinya pada orang yang mengajaknya bicara empat mata–kecuali jika ditanya apakah dia berpacaran atau tidak oleh Abinya. Apalagi dia kini berbicara dengan aunty-nya.
"Tadi aku diajakin pulang bareng sama dua pacar aku, Aunty." Mendengar itu Asha tak percaya, tetapi Asha tak bisa mengutarakannya lewat suara.
"Mereka berantem karena pengen aku pulang bareng salah satu dari mereka." Tangan Ester kembali mengambil minum. Saat seperti ini, dia malah teringat Tony yang selalu menawarkannya minum padahal tidak haus. Tony buat gue jadi bimbang.
"Mereka kan berantem, aku yang lagi pusing jadi malah tambah pusing. Akhirnya aku mutusin buat pulang sendiri. Tapi, Tony malah ngikutin aku. Dia sempet nangkap aku yang hampir jatuh karena pusing banget." Ester mengusap wajahnya pelan. "Ujung-ujungnya aku pulang bareng dia juga. Padahal aku niatnya mau jauhin dia. Tony buat aku dilema karena dia care banget, Aunty," jelasnya panjang lebar.
Asha menatap tak percaya pada Ester. "Kamu punya pacar berapa? Abi kamu tahu?" tanya Asha yang membuat Ester tersenyum lebar.
"Lima, Aunty. Abi nggak tahu, jadi Aunty jangan kasih tahu Abi, ya," pinta Ester dengan penuh harap.
"Kamu backstreet?" tanya Asha yang langsung diangguki Ester.
"Aunty jangan kasih tahu Abi, ya!" pintanya.
Asha mengangguk. Namun, hatinya berkata lain apalagi mengingat Ester yang menjadi bagian penting dalam hidup kakak dan kakak iparnya. Dia akan melaporkan kelakuan Ester yang di luar prediksinya. Hanya saja, Asha akan menyuruh kakak iparnya berlaga tidak tahu. Percaya atau tidak, Asha melakukan itu karena Ester masih kecil, dirinya masih labil dan mudah sekali terpengaruh dunia luar.
"Ester," panggil Asha yang membuat Ester mendongak sembari mengunyah makanan.
"Cinta-cintaan saat SMA itu wajar, tapi inget, masa remaja itu cuma sekali. Jangan buat masa SMA kamu berlalu sia-sia. Masa remaja kan bukan terus-terusan tentang cinta," tutur Asha yang seperti tamparannya halus di hati Ester.
***
Ester menatap langit-langit kamar. Ia memikirkan perkataan Asha. Dirinya bertekad supaya tidak terlalu banyak mengurusi tentang cinta saat remaja. Di tengah lamunannya, ponsel Ester berdering.
Dia menatap layar ponselnya yang memberitahu bahwa di layar menunjukkan panggilan video. Bibir Ester langsung melengkung sempurna saat di sana tertera nama Nalidya Kartika Azzani.
"Hai, Zey!" seru Lidya di seberang sana. Perempuan itu tengah mengenakan piyama berwarna ungu berlengan pendek. Zey, adalah sebutan khas untuk Ester dari Lidya.
"Hello, Zen," balas Ester sembari tersenyum dan melambaikan tangan.
"Lama, ya, nggak ketemu," ujar Lidya yang langsung diangguki Ester. Mereka langsung bercerita banyak hal. Tak memedulikan bahwa hari sudah mulai larut.
"Gimana sama permintaan gue waktu terakhir kita ketemu?" tanya Lidya.
"Gue sekarang udah punga pacar lima," ungkap Ester dengan bangga.
Lidya yang menatapnya mengacungkan jempol. Sebenarnya menjadi play girl itu bukan murni keinginan Ester, tetapi sebuah permintaan dari Lidya. Gadis itu adalah sahabat Ester sejak SMP. Lidya memiliki kesamaan dengan Ester, hingga akhirnya Ester merasa cocok bersahabat dengan Lidya.
Apalagi Ester tak memiliki riwayat sakit hati karena lelaki. Namun, dia tahu tak bisa membahagiakan semua orang, alhasil dia berusaha membuat orang yang dia percaya senang. Setidaknya dia berusaha bermanfaat untuk sahabatnya.
Tiga tahun yang lalu ketika mereka hendak menginjak bangkus SMA, Lidya ikut keluarganya yang pindah ke Kalimantan. Jarak memang memisahkan mereka, tapi persahabatan mereka tetap terjaga. Sebelum berangkat, Lidya menyarankan agar Ester semakin menikmati hidup, salah satunya dengan mempermainkan lelaki.
Ketika waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB, telepon mereka berakhir. Ester langsung menyimpan ponselnya ke sebelah kanan. Badannya dia posisikan menjadi tengkurap.
Pikirannya malah diisi oleh pacar-pacarnya, perkataan dirinya yang ingin berubah, perkataan Aunty dan perkataan Lidya. Lambat laun, pikirannya lelah sendiri hingga membuat Ester lupa bahwa dirinya telah ditarik ke alam mimpi.
***
M
atahari yang mulai naik masuk melalui celah jendela. Ester mengucek-ngucek matanya lalu menegakkan badan.
"Kayaknya gue bakalan turutin perkataan Lidya. Dia itu kan salah satu orang paling spesial di hidup gue. Karena gue nggak bisa bahagiain semua orang, minimal gue bisa bahagiain sahabat gue yang jauh itu," gumam Ester saat pikiran sebelum tidurnya masih melekat dalam otaknya.
"Tapi, perkataan Aunty juga bener. Gue nggak harus mikirin cinta-cintaan terus. Apalagi kalo gue pengen kuliah di Amerika biar bisa sama Nenek dan Kakek di sana," ujarnya lagi dengan tatapan yang mengamati sekitar.
Ester meraih ponselnya dan melihat layar kunci yang berlogo Harvard University. Namun, beberapa detik berikutnya gadis itu kembali meletakkan ponselnya di tempat semula.
Memikirkan semua itu membuat kepala Ester pusing. Ia menghela napas pelan. Tak lama dari itu dia memilih menjatuhkan tubuhnya ke kasur lagi sembari menarik selimut karena ini hari Sabtu. Pertanda bahwa sekolah libur.
Nah, udah double up, ya wkwk
Tapi sayangnya nggak ada Harun haha
Jangan lupa kasih kritik dan saran, ya!
Vote-nya jangan ketinggalan.
Sampai ketemu besok, insyaallah.
Good night, Lailatul Sa'idah 🌚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top