23.
“Lo beneran mau tinggal di kafe Harun? Emang berani?” tanya Risa pada Ester.
Ester terdiam dia menatap Risa dengan pikiran yang melayang-layang. Gadis itu baru menyadari apa yang Risa katakan. Dia penakut. Namun, tekadnya yang sudah bulat tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.
“Gue berani kok,” kata Ester dengan mantap.
Risa menatap Ester tak percaya. “Terus lo mau ke kafe Harun kapan? Besok?”
Gadis di hadapannya itu mengangguk. “Ya, masa tahun depan,” kata Ester.
Risa memperhatikan wajah Ester yang tetap datar. Meski gadis itu melontarkan candaan, tak ada kekehan dari bibirnya. “Ya udah, besok gue temenin lo di sana dulu, ya?” tanya Risa yang membuat Ester terdiam.
Perlahan kepala Ester mengangguk. Kemudian badannya dia baringkan pada kasur Risa. Jika biasanya saat telentang di kasur gadis itu selalu membuka matanya, kini mata itu tertutup saat menatap langit-langit kamar. Jika dulu dia memikirkan masa depan, kali ini dia memikirkan masa lalunya yang sukar dipercaya.
“Lo beneran belum mau cerita?” Risa menjatuhkan tubuhnya di samping Ester. Dia menatap Ester yang menutup mata tanpa bersuara.
Ester menghela napas berat. “Nanti juga gue cerita, masih nunggu waktu yang tepat,” ujarnya yang membuat Risa mengangguk pelan.
***
Sudah seminggu Ester tak kembali ke rumah. Dahlia dan Steven jelas khawatir meski mereka tahu saat ini Ester ada di rumah Risa.
Suara bel terdengar nyaring, membuat Dahlia yang pikirannya kosong tersentak. Dia berjalan cepat menuju pintu dengan harapan itu Ester, meski terdengar mustahil saat Ester kembali ke rumahnya dengan memencet bel terlebih dahulu. Karena biasanya gadis itu jika memasuki rumah langsung masuk.
Dahlia membuka pintu. Dia mendapati wanita berwajah cantik berbalut jilbab hijau tua dan di belakangnya seorang lelaki jangkung berkulit sawo matang.
Dahlia tersenyum hangat. “Ayo masuk,” ajaknya pada Asha dan Zabir.
Adiknya itu baru sampai ke Bandung tadi pagi, dan sekarang dua orang itu ada di rumah Dahlia.
Sang pemilik rumah beranjak untuk membuat minuman.
Sedangkan kedua tamunya memilih membunuh waktu dengan bertukar obrolan. Tak berselang lama, Dahlia kembali dengan dua minuman dan beberapa cemilan.
Asha melirik jamnya. Lalu menatap Dahlia. “Kok rumah sepi, Kak? Ester ke mana?”
Pertanyaan Asha membuat Dahlia terdiam. Sorot matanya berubah sendu. “Ester ... Ester udah tahu semuanya,” kata Dahlia dengan air mata yang turun tanpa diminta.
Kedua orang yang duduk berdekatan itu terkejut, mereka melongo menatap tak percaya pada kakaknya apalagi mereka tahu tentang Ester yang sebenarnya.
"Terus sekarang Ester ada di mana? Kakak tahu?" tanya Asha yang memilih menjauhkan air yang hendak di minumnya.
Dahlia mengangguk pelan. "Ester ada di rumah Risa," ungkapnya yang membuat Asha mengangguk.
Asha menghela napas panjang. "Alhamdulillah dong, setidaknya Ester nggak sendirian. Aku beneran khawatir kalo dia sampe tinggal sendiri," kata Asha dengan wajah yang jelas khawatir.
***
Suara kaki yang beradu pada lantai terdengar sangat jelas. Apalagi kafe ini masih sepi pengunjung karena baru dibuka satu Minggu yang lalu.
Ester menaruh makanan di nampan pada meja yang diisi dua orang perempuan. Mereka tengah asyik mengobrol sampai tak mempedulikan kehadiran dirinya.
"Permisi, Kak, ini makanannya," tutur Ester. Kedua orang itu menatap Ester lalu mengangguk.
"Makasih," balas salah satu pelanggannya yang direspons anggukan oleh Ester. Setelahnya gadis itu melangkah menuju dapur.
Gadis itu tercenung di tempat alat-alat masak bergantungan. Dia menopang dagunya tapa memperdulikan bahwa dirinya tengah diperhatikan.
Beberapa jam berlalu dengan cepat. Ester menunggu kehadiran Risa ketika langit yang memancarkan warna jingga. Sesekali Ester mengecek ponselnya, tetapi tak ada satu pun pesan.
Ester sengaja memblokir kontak yang dia kenal kecuali Risa dan Harun. Bola mata Ester langsung berbinar saat menyadari sosok yang dikenalnya berjalan mendekat.
Sosok itu Harun, bukan Risa. Lelaki itu mendekat ke arah Ester lalu duduk di sampingnya. "Tungguin siapa?" tanya Harun yang membuat Ester menoleh singkat padanya.
"Risa," kata Ester singkat.
"Kamu udah makan?" tanya Harun yang dibalas anggukan cepat oleh Ester. Harun mengedarkan pandangannya pada kursi-kursi pelanggan yang ditatap rapi.
Pandangannya kembali menatap Ester yang memfokuskan penglihatan ke depan. "Kamu sebenernya kenapa, Esterina? Kenapa kamu bisa pergi dari rumah?" tanya Harun yang membuat air muka Ester berubah.
Tanpa sadar setetes air mata yang tak dia inginkan membasahi pipi malah keluar lagi. Dia tak berani menatap Harun dengan wajah berurai air mata. Yang bisa dia lakukan hanya menatap ke bawah dengan bahu yang dia usahakan naik turun stabil.
Saat air matanya tak turun, Ester memberanikan menatap Harun. Harun yang merasa ditatap balas menatap Ester. "Kamu nggak bakalan mau tenangin orang lain dengan pelukan, kan?" tanya Ester yang membuat sorot mata Harun berubah. Jelas saja, lelaki itu kaget mendengar perkataan Ester.
Harun tak menjawab. Padahal saat ini Ester ingin seseorang memeluknya untuk menyalurkan kekuatan. Namun, ia juga tahu siapa lelaki di sampingnya itu.
"Kalo kamu mahram aku, aku bisa lakuin apa yang kamu mau. Untuk saat ini, kamu nangis aja. Aku nggak bakal larang. Kalo kamu udah siap, kamu bisa cerita aku tentang segalanya," tutur Harun dengan pandangan yang menatap mata Ester singkat.
Ester tersenyum kecil mendengar perkataan Harun yang terdengar geli di telinganya. Namun, mengingat percakapan malam itu membuat Ester menuruti Harun. Dia menangis di samping Harun yang memperbolehkannya melakukan itu.
Harun yang mendengar isakan tangis dari bibir Ester merasa tersayat. Lelaki itu menunduk mendengar isakan tangis Ester yang semakin jelas. Harun tahu apa yang Ester alami tanpa gadis itu bercerita. Ia tahu rahasia terbesar tentang gadis di sampingnya.
Harun menghela napas, dia melirik Ester yang masih sesegukan. Di hati paling dalam, ia mendoakan agar gadis di sampingnya tetap kuat dan bisa menerima segalanya.
Mendengar isak tangis Ester yang mereda, membuat ia menoleh ke sampingnya. "La Tahzan Innallaha Ma’ana," kata Harun yang membuat Ester menoleh padanya dengan tangan yang mengusap air mata.
"Janganlah bersedih, Allah bersama kita,” kata Harun seakan mengerti tatapan dari Ester, "quran surah At-Taubah ayat empat puluh."
Mendengar Harun berucap seperti itu membua Ester membenci penciptanya. "Allah nggak adil," kata Ester yang kembali meneteskan air mata.
Harun yang mendengar itu terkejut, tetapi detik berikutnya dia bisa memahami. Ia pernah berada di posisi yang lebih parah dari Ester, tak meyakini Allah sebagai penciptanya.
"Kamu tahu, aku dulu pernah beranggapan kalo Allah itu nggak ada?" tanya Harun dengan pikiran yang melayang pada masa lalunya.
Ester menatap Harun dengan tatapan tak percaya. Melihat tatapan Ester, Harun menjadi semangat untuk bercerita.
"Dulu, aku benci diberi nama Harun ketika keluarga aku tinggal di Boston. Kamu tahu kan, Boston adalah kota minoritas muslim?" tanya Harun yang dibalas anggukan oleh Ester. Jelas, gadis itu tahu tentang ibu kota Massachusetts.
"Orang-orang di Boston mengenal aku sebagai Lewis. Lewis Amilcar. Alasannya karena nama Lewis lebih cocok untuk orang yang tinggal di Amerika. You know, dulu sempat ada berita tentang Islam adalah agama teroris. Nama Harun keliatan banget ke Islam-islaman, dan efeknya aku bisa dijauhi temen-temen," kata Harun. Dia menjeda kalimatnya dengan memanggil ingatannya tentang masa itu.
"Untungnya di Amerika agama adalah sebuah privasi, teman-teman aku nggak tahu kalo aku seorang muslim. Sampai saat ini pun mereka nggak tau kalo aku muslim." Harun menatap Ester yang kini terhayut ke dalam ceritanya. "Tapi, itu menjadi hal bodoh yang pernah aku lakuin."
Tanpa keduanya sadari ada dua orang yang tengah mengamati mereka dari jarak yang tak terlalu jauh. Kedua orang itu bisa mendengar perkataan Harun.
"Aku dibuat sadar sama keluarga aku, especially sama Kak Zabir. Dulu aku pernah minum wiski beberapa seloki, sering berantem. Waktu itu aku kepergok minum minuman haram sama Kak Zabir. Kak Zabir marah banget waktu itu, dia malah mau nampar aku. Tapi dia nggak lakuin itu," ujar Harun yang menatap Ester.
"Beberapa hari setelahnya, Kak Zabir biarin aku sendiri. Terus dia minta maaf dan nyuruh aku cerita kenapa bisa minum wiski. Aku yang bilang kalo sebenernya aku nggak terima lahir sebagai seorang muslim langsung diceramahin. Kak Zabir waktu itu suaranya lembut banget, aku aja langsung luluh," jelas lelaki berambut hitam dengan beberapa helai berwarna cokelat itu diiringi kekehan.
"Waktu itu aku diingetin kalo harusnya kita itu bangga beragama Islam di negara yang minoritas Muslim. Dia bilang kalo kita itu adalah orang-orang paling beruntung di antara ratusan ribu penduduk Amerika yang nonmuslim. Beruntung karena kita nggak gampang terpengaruh sama kehidupan barat," jelas Harun yang membuat Ester terdiam.
"Awalnya aku nggak percaya sama apa yang Kak Zabir bilang, tapi ketika dia tunjukin ke aku tentang tubuh manusia yang kompleks ini, dia tanya siapa yang bisa ciptain dan siapa yang bisa mengurusnya." Harun terdiam, dia menunduk sejenak lalu menatap Ester sebentar. Pandangannya kini menatap lurus ke depan.
"Aku jadi lebih berfikir saat Kak Zabir nyuruh aku kumpulin seluruh orang yang paling genius di muka bumi ini untuk menciptakan semut."
Suara kekehan Ester membuat Harun menoleh. "Kamu beneran kumpulin orang-orang genius?" tanya Ester disela-sela kekehannya.
Harun langsung menggeleng. "Ya nggak lah. Aku juga tahu nggak ada manusia yang bisa nyimpatin semut yang kecil kecuali Sang Pencipta," lanjut Harun yang membuat Ester kembali menyimak.
"Karena kejadian waktu itu aku jadi cari tahu tentang siapa aku, siapa yang ciptain aku, dan untuk apa aku ada," tutur Harun yang membuat Ester menatapnya tanpa berkedip. "Dan akhirnya aku tahu siapa aku, siapa pencipta aku, dan untuk apa aku ada, ketika aku mempelajari ilmu agama. Jati diri aku, terbentuk karena itu. Tiga hal yang bisa membuat seorang muslim sangat beruntung."
Ester terpukau mendengar cerita Harun. Dia seperti tertampar dengan kisah hidup Harun di masa lalu.
"Sehabis kejadian itu, aku jadi rajin salat, padahal sebelumnya aku nggak pernah laksanain kewajiban itu. Aku jadi semangat mengenal Allah. Waktu dapet kabar kalo keluarga aku disuruh tinggal di Indonesia, aku seneng banget karena di sini mayoritas muslim. Aku langsung pindah ke sini itu setelah mempelajari Islam selama dua minggu di sana," jelas Harun.
"Kenapa pas pelajaran PAI kamu semangat banget?" tanya Ester yang teringat tentang antusiasnya anak itu saat pelajaran agama.
"Karena di sini aku bisa belajar agama lebih luas dibanding di Amerika. Di sini, di sekolah ada pelajaran agama, di Amerika mah boro-boro. Makanya aku semangat banget waktu itu," tutur Harun yang dibalas anggukan oleh Ester.
Ester tersentuh mendengar cerita Harun yang seperti siraman untuk raganya yang jauh dari agama.
Dia menatap Harun. "Intinya?" tanya Ester yang masih ingin mendengarkan Harun bercerita.
"Intinya, Allah itu ada. Allah itu adil, dan Allah nggak akan membiarkan hambanya bersedih terlalu lama. Karena Allah tidak akan memberikan ujian pada hambanya di luar batas," tutur seseorang yang membuat Ester dan Harun mendongak.
"Aunty?"
Alhamdulillah hari ini bisa publish dua part dengan 1.7k lebih hehe, meski yang tadi pagi itu harusnya di publish sebelum jam 12. Tapi karena ketiduran, Qodarullah.
Jangan lupa tinggalkan jejak sekaligus bentuk apresiasi dengan mengklik ikon berbentuk bindang di pojok kiri, ya ❤️
Lailatul Sa'idah semuanya 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top