13.

"Iya juga, ya, lo pinter ternyata," sahut Ester. "Terus sekadang gue harus gimana?"

Risa mengetuk-ngetuk ponselnya yang disimpan terbalik. “Lo suka baca novel, kan?” tanyanya pada Ester. Ester menjawabnya dengan anggukan malas. “Lo suka ngehalu?”

“Suka, sih. Tapi itu kadang,” ungkapnya jujur.

Risa membaringkan tubuhnya di karpet lembut yang tengah didudukinya dengan Ester. “Lo kenapa nggak coba nulis cerita?” tanya Ester tiba-tiba yang membuat mata almond Ester berbinar.

Pandangan Ester menatap Risa, dia kemudian ikut berbaring. Matanya terpejam lalu berujar, “Gue nggak bisa nulis cerita, Ris.”

Bulu mata lentik Ester bergerak saat kelopak matanya terbuka. Dia menatap Risa yang kini menatap ke arahnya.

“Lo tulis apa yang lo bisa, deh! Curhat atau apa gitu. Nanti kalo mau buat cerita gue ajarin,” tutur Risa sembari tersenyum.

“Mentang-mentang karyanya udah berjajar di toko buku, ya,” cibir Ester yang membuat Risa terkekeh.

“Lo pokoknya harus coba aja nulis. Kalo nggak mau nulis cerita, tulis aja apa yang lo rasain. Lumayan, efektif juga cara itu,” tutur Risa, “apalagi katanya nulis itu bisa menghilangkan stres.”

Ester mengangguk-angguk. “Bukannya lebih efektif nulis pake tangan, ya?” tanyanya.

“Bisa dibilang begitu, tapi kalo mau pake laptop atau HP juga nggak masalah. Yang penting nulis,” jelas Risa.

Ester langsung menegakkan tubuhnya. Dia berjalan untuk mengambil laptop yang ada di meja belajar. “Gue mau nulis apa yang gue rasain dulu, deh,” ujar Ester memberi tahu. Tangannya menyalakan laptop.

“Ya udah, gue juga mau nulis. Tapi laptop gue nggak dibawa, gue mau nulis di HP aja, deh.”

Ester melirik Risa sekilas. “Terserah lo aja deh. Tapi kalo mau pinjem laptop gue juga nggak masalah.”

Risa langsung menggeleng cepat. “Nggak! Pokoknya lo nulis sekarang. Gue tahu, lo orangnya pemalas,” tutur Risa yang membuat Ester menampakkan giginya.

Keduanya fokus pada benda yang canggih yang berada di tangannya. Ester memangku laptop dengan badan yang disandarkan pada pinggiran kasur. Begitu pun Risa yang melakukan hal sama hanya saja tangan dia menari-nari di layar ponsel, bukan di keyboard laptop.

“Gue mau buat cerita Risa mencari induknya deh,” tutur Ester tiba-tiba yang membuat Risa menoleh dengan tatapan garang.

“Heh, lo kira gue ini ayam?” cibir Risa.

Ester terbahak melihat ekspresi sahabatnya itu. “Gue pengen nulis cerita fantasi. Soalnya, kalo gue nulis cerita anak remaja takut absurd. Daripada absurd gitu gue mending nulis fantasi yang kalo aneh nggak bakalan ada yang berani debat,” ujar Ester yang membuat Risa menggeleng kepala.

“Serah lo deh. Gue mau nulis. Jangan ganggu!” lontar Risa yang membuat Ester mencibirnya.

“So serius amat sih lo.” Ester mengamati Risa yang kembali fokus pada ponsel di genggamannya. Alhasil, Ester pun kembali fokus dengan apa yang diketiknya.

Beberapa menit berlalu dengan cepat. Risa tengah meregangkan otot-otot tangannya. Dia mendekat ke arah Ester dan mengintip apa yang ditulis sahabatnya itu.

“Gue nyerah! Gue nggak bisa nulis cerita!” akunya yang membuat Rusa memundurkan kepala. Ester meletakkan laptop di dekat Risa. “Kalo mau lo pake, pake aja.”

Ester membenarkan posisi duduknya, kemudian gadis itu berbaring di karpet. “Gue nggak mau tahu, ya! Pokoknya lo hari ini harus nulis lima ratus kata,” lontar Risa yang membuat Ester menutup kedua telinganya.

“Segitu banyak, woy! Tangan gue bisa bengkak,” kilah Ester yang tak menghiraukan ocehan Risa.

Risa tak mau melihat Ester terus seperti itu. Gadis itu telah menemukan passion-nya tetapi sahabatnya itu belum. “Ayo dong Esterina, katanya mau nyari jati diri sebelum tanggal lima biar bisa kuliah di Amerika,” ujar Risa mengingatkan.

“Kan yang bayarin kuliahnya bukan aunty gue. Jadi gue bisa kuliah di sana tanpa nyari jati diri,” balas Ester santai yang membuat Risa tak percaya.

“Ester, pergaulan di Amerika sama Indonesia itu beda banget! Lo bisa ke bawa arus yang nggak bener kalo belum punya pendirian,” jelas Risa. Gadis itu tahu tentang Amerika karena menulis cerita bergenre roman yang berlatar negeri Paman Sam.

Ester terdiam. Matanya menatap Risa yang terus-menerus berbicara. “Coba deh lo tanya Harun gimana kehidupan di Amerika,” saran Risa.

Mendengar nama Harun, Ester mengacungkan ibu jarinya ke arah Risa. “Lo bener. Gue harus tanya-tanya Harun, padahal gue sendiri punya darah Amerika,” balas Ester yang membuat Risa berdecak.

“Ya udah, sekarang lo nulis lagi! Lo pasti bisa kok!” Risa meletakkan laptop Ester itu pada kaki sahabatnya.

Dengan malas, Ester menurut. “Lo kok jadi pemaksa gini, sih? Nggak asik tahu!"

***


“Kantin bareng temen-temen, yuk!” ajak Risa yang dibalas anggukan oleh Ester.

“Ayo!” serunya.

“Tumben lo semangat diajak ke kantin?” tanya Risa yang merasa heran pada sahabatnya itu. Masalahnya, akhir-akhir ini Ester jarang ke kantin semenjak insiden adu mulut yang hampir saling cakar bersama Tasya.

“Gue cuma diem di kelas salah, ke kantin salah. Astaga, serba salah banget hidup gue di mata orang,” ujarnya dengan tangan menyisir rambut.

Risa terdiam. Kemudian dia mengukuti Ester yang kini malah meninggalkannya. “Gue mau ke kantin karena pengen ngobatin yang retak tapi bukan kaca,” tutur Ester saat menyadari Risa berjalan di sampingnya, “sekalian liat cogan juga!”

Risa mengangguk mengiyakan perkataan sahabatnya. “Serah lo deh, yang penting yang patah nggak berdarah itu baik-baik aja.”

“Nggak ada yang baik kalo udah retak,” ujar Ester dengan pikiran yang dipenuhi perkataan seseorang.

Risa menatap Ester prihatin. Dia kehabisan kata untuk merespons sahabatnya itu.

“Hai, mau ke kantin?” Langkah dua gadis itu terhenti saat seseorang berada di hadapannya.

Ester mengangguk lemah. “Iya. Kamu sendiri? Ini kan kantin anak IPA, jauh banget mainnya malah ke sini padahal kamu anak Bahasa,” balas Ester pada pacarnya.

Niatnya, Ester ingin menghindari semua pacarnya. Namun, saat salah satu pacarnya menampakkan diri, Ester seperti tak punya tenaga untuk bersikap tak acuh padanya.

Iqbal menatap mata Ester lalu berkata, “Kan pacar aku anak IPA.” Ester mengangguk diiringi senyuman kecil. “Makan bareng aku, ya?”

Ester melirik Risa yang mengamati interaksi dirinya dan Iqbal. Gadis itu bergumam kecil lalu menatap Iqbal. “Jangan sekarang, ya! Aku mau makan sama temen-temen aku,” ujarnya dengan raut wajah pura-pura kecewa.

“Ya udah, kalo gitu, makan yang banyak, ya!” Setelah mengatakan itu, tangan Iqbal bergerak mengacak-acak pucuk kepala Ester. Ester berontak karena rambutnya sedikit kusut, lalu setelahnya Iqbal berderap pergi.

“Punya pacar supaya ada yang acak-acak rambut, ya?” sindir Risa yang membuat Ester mengangkat bahunya singkat.

Ester tak memedulikan Risa yang kini mengoceh tentang pacar. Ia malah berjalan meninggalkan Risa yang tengah bercerita ria.


***


Ester izin ke toilet pada guru di depannya. Dia menatap sekilas pada Risa yang mencatat di buku tulisnya lalu kembali berjalan.
Mata Ester memicing saat melihat orang yang dikenalnya. Dia semakin mendekat pada sosok itu. Saat hendak bersuara, sosok itu menoleh ke arahnya.

“Kamu ngapain di sini?” Mereka bertanya hampir bersamaan, lalu sama-sama terkekeh pelan.

“Aku mau ke toilet,” jelas Ester yang membuat Tony mengangguk. “Kamu sendiri ngapain?” Masalahnya, Tony itu anak IPS. Jarak IPS dan IPA juga cukup jauh.

Tony bergumam pelan. “Hm, lagi nggak ada jadwal pelajaran. Makanya aku keluyuran, sekalian apelin pacar,” ungkapannya yang membuat Ester terkekeh.

“Kamu bisa aja. Aku ke toilet dulu ya!” Tony mengangguk lalu Ester berlalu dari hadapannya.


***


Suara yang berasal dari benda pipih miliknya berdering. Dengan malas Ester memutar tas yang dikenakannya. Dia melihat ponselnya yang menunjukkan nama Ethan. Ester berdecak lalu menerima telepon itu.

Aku tunggu kamu di gerbang!”

Tenang, aku publish dua bab kok
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote part ini sebagai apresiasi. Vote nggak bayar kok :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top