chapter 4
Yang lebih membuat Kurama nekat, orang yang ditentukan itu berumur 43 tahun. Seorang duda beranak dua.
Hanya itu informasi yang dia ketahui. Ayahnya segera pergi keluar negeri demi mencoba peruntungan apakah orang itu mau menikah dengan Kurama.
Beruntung atau sial, dari kabar yang didengar, rupanya sang calon suami merupakan kenalan ayahnya. Mereka pun setuju menjalin hubungan pernikahan.
Setelah itu Kurama mencari segala informasi mengenai cara berkomunikasi dengan dunia bawah.
Berharap dia bisa menarik 'tunangannya' untuk segera muncul. Tidak rela menikah dengan 'orang' yang tak dikenal, apalagi bukan yang ia sukai.
Setelah membayar mahal informasi yang berharga. Kurama mengambil kesempatan ketika ibunya menyusul sang ayah. Ia pun bersiap.
Ritual yang didapat merupakan legenda dari negara bernama Shion, di mana seorang yang terikat dengan makhluk pencabut nyawa, dapat bertemu saat ia berada di ambang kematian.
Ritual yang mudah, hanya dengan menenggelamkan diri di dalam air es. Saat kesadaran mulai menghilang dia harus mengatakan, "Kumohon datanglah." Berulang kali.
Sangat ekstrem.
Tapi, Kurama benar-benar melakukannya.
Hingga akhirnya di sinilah Naruto.
Ia menghela napas. Pantas saja roh dari tubuh ini tampak seperti orang yang kasmaran tadi.
Mungkin Namikaze Kurama itu mengira Gabriel sebagai 'tunangannya'.
Egois sekali dia, memilih bersama dengan sesuatu yang tidak pasti dan meninggalkan orang yang menyayanginya.
Jika Naruto tidak datang, tubuh ini pasti sudah mati.
Tunggu.
Hahaha, bukankah ia sama saja?
Ia memilih membungkam mulut demi melindungi Sasuke yang tidak diketahui, lalu meninggalkan teman-teman yang sayang padanya.
Rupanya benar, ia pun seorang idiot.
Suara ketukan pintu mengangetkan Naruto.
"Kurama?"
Ia tak menjawab karena tertegun dengan suara yang membuatnya bernostalgia.
Pintu yang tertutup pun dibuka. Naruto yang masih dalam posisi tertidur, menatap ke arah sana dengan penuh antisipasi.
Benar saja. Wajah yang sudah belasan tahun tak dilihat, kini muncul dengan senyum yang sama persis seperti dulu.
Mata Naruto terasa perih kembali.
Melihat putranya yang menangis, Namikaze Kushina jadi panik. Ia pikir Kurama masih tidak terima dirinya dijodohkan dan kini dia marah.
"Kurama." Kushina langsung duduk di samping putranya. Memeluk penuh kehati-hatian. "Maaf."
Bagi Naruto ucapan maaf tadi ia asumsikan dengan rasa bersalah mendiang orangtuanya yang pergi meninggalkan ia seorang diri selama belasan tahun.
Menjadi yatim piatu itu menyakitkan.
Sangat menyakitkan.
Dengan tak sabar Naruto memeluk sang ibu. Wajah ia tenggelamkan pada pundak berbalut kemeja putih. Bulir hangat air mata membasahi, namun ia enggan bergerak.
Kedua tangan memeluk erat. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara.
"Hei, sudah Kurama, sudah." Tangan hangat menepuk punggung Naruto dengan kasih sayang.
"Kau sudah membuat ibumu nyaris mati mendengar kau mencoba bunuh diri."
Tangan yang menepuk-nepuk kini berganti mencengkeram kaus yang Naruto kenakan.
Betapa takutnya Kushina saat orang rumah mengabari putranya dalam keadaan tak sadarkan setelah mencoba menenggelamkan diri dalam bathtub yang berisi penuh potongan es batu.
Sebelum menuju bandara dengan tergesa-gesa, ia menyempatkan diri menghubungi kontak emergensi dari orang pintar yang sering mengurus Kurama. Ia takut jiwa putranya dibawa ke alam bawah saat mereka lengah seperti ini.
Tapi, kini beruntunglah. Kurama masih hidup. Putranya masih sehat.
"Jangan lagi," bisik parau Kushina. Ia ingin sekali menampar putranya sampai sadar, bahwa hidupnya sangat berarti bagi mereka. Tapi, karena kasih sayang yang berlebih, ia mana tega mengangkat tangan dan melukai Kurama.
"Jangan lagi melakukan hal bodoh seperti ini. Jangan membuang hidupmu, kami melakukan sebisanya agar kau tetap hidup, Kurama. Jangan membuat ibu sedih."
Naruto memejamkan mata, tak kuasa mendengar permohonan sang ibu, juga suara yang sangat parau.
"Hmm."
Jawaban Naruto hanya anggukan saat ini. Ia terus memeluk. Mengobati kerinduan yang ditahan selama belasan tahun.
Puas dengan sikap Kurama yang menurut, Kushina kembali membujuk, "Fugaku bukan orang buruk. Dia akan menjagamu dan memastikan kau baik-baik saja. Jangan kau lihat umurnya, dia bahkan bisa bersaing dengan idolamu jika dalam hal ketampanan."
Kushina mencoba menggoda sekaligus membuka pikiran putranya.
Tapi, yang terjadi justru Naruto membeku dalam pelukan. Air mata masih di pipi, namun ekspresinya sangatlah kaku.
Fuck, ia lupa hal penting.
Kurama bunuh diri karena tak ingin dinikahkan dengan om-om.
Kini setelah Kurama pergi. Bukankah yang harus menikahi om-om itu adalah Naruto?!
Fuck, no!
"Kaudengar ucapan ibu, bukan, Kurama?"
Naruto mengusap air matanya dengan belakang tangan, lalu menjauhkan diri.
"Bisakah .... Bisakah kita menundanya?"
Kushina merengut, ia mengusap puncak kepala putranya, lalu berkata, "Kau tahu mereka bilang semakin ditunda, kesehatanmu bisa memburuk."
Naruto pun mulai panik. Ia bukan master Kuku. Ia tak akan mati karena tidak menikah dengan tubuh berenergi 'Yang'.
Ia harus menunda hal ini sampai mereka membatalkannya.
Oh!
Ia teringat si tukang tampar mulut!
"Tapi, aku sudah sehat. Orang yang mengobatiku tadi meminta Jashin-sama untuk memutuskan belenggu keburukan yang mengikatku."
Tukang tampar itu adalah orang yang mengobatinya dulu. Ia bisa memanfaatkannya.
Kushina tampak ragu. "Itu .... Bagaimana jika kau berkenalan dulu dengan Fugaku? Ibu akan bertanya pada Hidan-san, apakah kau baik-baik saja."
Ok, baby step.
Jangan terburu-buru. Ia harus mengurus mengenai Fugaku dan Hidan lebih dulu. Perlahan membuat mereka membatalkan ide pernikahan ini.
Sekarang terpenting semua diulur.
"Aku mengerti, ibu."
"Baiklah, ibu akan coba menghubungi ayahmu. Sekarang kau istirahat, ibu akan membawakan sup dan bubur nanti."
Naruto segera mengangguk antusias.
Setelah melihat sang ibu pergi. Ia langsung berpikir keras menyusun rencana agar ia tak jadi menikah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top