I(A)MPERFECT | 9. DARAH?
Tidak sampai lima menit Galaksi tiba di rumahnya setelah dia mengantarkan Shilla. Rumah mereka memang berdekatan dan Galaksi mengetahui itu sejak kelas X. Awal masuk SMA, dia dan ibunya memutuskan pindah ke rumah yang lebih dekat dengan sekolahnya. Meskipun ibunya mengatakan bahwa kepindahan mereka supaya Galaksi lebih dekat pergi ke sekolah, jauh di lubuk hatinya Galaksi tahu bahwa kepindahan rumahnya tidak serta merta karena alasan itu saja.
Galaksi memarkirkan motornya di garasi kemudian masuk ke dalam rumah. Dia hendak langsung masuk ke kamarnya tetapi dia melihat ibunya di dapur yang sedang menuangkan air ke gelas, tidak menyadari kehadiran Galaksi.
Galaksi pun menghampirinya. Dia menyadari bahwa gelas ibunya sudah penuh hingga airnya jatuh membasahi meja makan dan lantai. Tanpa kata, Galaksi pun meraih teko yang sedang dipegang oleh ibunya. Namun, aksinya ternyata sangat mengejutkan sang ibu hingga tak sengaja membuat gelasnya jatuh ke lantai dan pecah.
“Kenapa kamu di sini?” tanya ibunya dengan nada dan tatapan yang begitu dingin. Luna, namanya. Wanita berusia empat puluhan yang bagi Galaksi selalu menjadi wanita tercantik, meskipun rambut panjangnya selalu diikat longgar dan tampak berantakan. Meskipun wanita itu hanya memakai gaun tidur berwarna putih yang sudah agak menguning. Dan meskipun tatapan wanita itu selalu tampak kosong tetapi berubah menjadi sangat dingin saat menatapnya, Galaksi menyayangi ibunya melebihi apapun.
Galaksi menatap pecahan gelas di sekitar kaki ibunya. “Ibu jangan ke mana-mana dulu, saya bersihkan dulu pecahan gelasnya.”
“Kamu nggak jawab pertanyaan ibu?” tanya ibunya lagi, kali ini dengan nada yang meninggi.
“Saya pulang les dan lihat ibu di dapur. Saya nggak boleh sapa ibu?”
Luna hanya menatap Galaksi dengan tatapan tajam kemudian hendak pergi dari sana. Namun, Galaksi menahan tangannya. “Kaki ibu bisa kena pecahan gelasnya–”
“Jangan pedulikan saya. Urus saja urusanmu sendiri,” ujar Luna seraya menepis tangan Galaksi dengan keras. Dia berjalan menuju kamarnya, tak peduli jika kakinya menginjak serpihan kaca dari gelas yang dijatuhkannya.
“Dan kamu.” Luna berhenti sejenak. Kemudian berkata dengan nada yang begitu dingin. “Jangan muncul di hadapan saya lagi selama tinggal di rumah ini.” Setelah mengatakan itu, Luna masuk ke kamarnya dan menutup pintunya dengan sedikit bantingan.
Galaksi hanya menghela napas. Dia mengambil kantong plastik dan kain kecil untuk membungkus pecahan kaca itu. Kemudian dia berjongkok, memungut satu per satu pecahan kaca sebelum mengeringkan lantainya. Namun, ketika berjongkok dan membersihan pecahan kaca itu, kepalanya berdenyut. Pandangannya tiba-tiba buram.
Galaksi pun jatuh terduduk. Sayangnya, tangannya yang hendak menahan tubuhnya yang nyaris tumbang itu menjatuhkannya ke bagian lantai di mana pecahan kaca itu berada. Alhasil, darah menetes dari telapak tangannya.
Saat hendak membersihkan tangannya yang berdarah, ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Dia mengira itu pesan yang masuk dari Keanu dan Aruna, tetapi rasanya pesan itu masuk bertubi-tubi.
Galaksi pun meraih ponselnya. Ada nomor asing yang mengiriminya pesan.
+62-87xx-xxxx-xxxx : Halooo.
+62-87xx-xxxx-xxxx : Ini gue, Shilla.
+62-87xx-xxxx-xxxx : Besok kita ke perpus yaa buat bahas project klub sains.
+62-87xx-xxxx-xxxx : Kita baca referensi dulu sebelum riset, okay?
+62-87xx-xxxx-xxxx : Btw, gue dapat nomor lo dari June.
+62-87xx-xxxx-xxxx : June nggak tau dapat dari siapa sih. Nanti gue tanyain.
+62-87xx-xxxx-xxxx : Pokoknya jangan lupa besok di perpus pulang sekolah!
+62-87xx-xxxx-xxxx : Jelly bintangnya juga jangan lupa dimakan hehehehe.
+62-87xx-xxxx-xxxx : Selamat beristirahat. Lo nggak usah belajar sampe begadang, udah ranking satu juga -_-
+62-87xx-xxxx-xxxx : Candaaaa deng hehehehe :D
Membaca pesan yang beruntun itu, tanpa sadar Galaksi tersenyum hingga untuk sesaat dia melupakan rasa sakit. Entah itu rasa sakit di telapak tangannya ataupun … hatinya.
***
Pelajaran terakhir berakhir pada pukul 13.30 WIB. Galaksi langsung merapikan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas begitu guru fisika sudah mengakhiri pembelajarannya bersamaan dengan bel tanda pulang yang berbunyi. Ketika guru fisika itu sudah keluar kelas, siswa-siswi di kelas 12 IPA 1 langsung berhamburan keluar, tak terkecuali Galaksi.
“Parkiran ke arah sini, lo mau ke mana dah?” tanya Keanu yang melihat Galaksi mengambil arah yang berbeda dengannya.
“Perpus,” jawab Galaksi singkat.
“Anjay!” seru Keanu dan Aruna, kompak.
“Pulang sekolah bukannya ngopi malah ngambis,” celetuk Aruna. “Udah kali. Di kelas tadi lo udah ngerjain soal fisika sampe mimisan.”
“Tau tuh.” Keanu menyetujui. “Kalau nggak enak badan lo ke dokter sana, istirahat. Kita berdua mau balik, lo kalau pingsan siapa yang mau angkut?”
“Berisik. Sana balik!” usir Galaksi kemudian berjalan menjauhi mereka, terus lurus ke arah perpustakaan.
Perpustakaan di SMA Garda Citya memiliki jam operasional sampai pukul 16.00 WIB meskipun kegiatan pembelajaran mereka berakhir pukul 13.30 WIB. Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah supaya siswa-siswi SMA Garda Citya yang ingin melakukan belajar mandiri, kerja kelompok, atau hanya sekadar mencari dan membaca buku bisa terfasilitasi di sekolah.
Galaksi tiba di perpustakaan. Perpustakaan itu tampak nyaman. Di bagian luar disediakan beberapa meja dan kursi yang cukup banyak. Biasanya bagian tersebut dimanfaatkan para siswa sebagai ruang diskusi. Sedangkan di bagian dalam, disediakan buku yang disusun berdasarkan bidang keilmuan. Di bagian dalam juga disediakan meja dan kursi khusus untuk membaca dengan bagian tengah ruangan terdapat sebuah pohon buatan yang di dasarnya dibentuk semacam meja.
Galaksi sudah masuk ke dalam perpustakaan dan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jendela. Meskipun sudah pulang sekolah, perpustakaan sekolah masih cukup ramai. Namun, dia tidak menemukan Shilla di sana. Lima belas menit berlalu, setelah Galaksi mencari buku dan membacanya, Shilla baru datang dengan napas terengah-engah. Tampaknya gadis itu berlarian ke mari.
“Sorry. Tadi gue piket dulu,” ujar Shilla. Dia duduk di samping Galaksi dan melihat buku yang dibaca Galaksi. “Ini buku apa?”
“Dasar-dasar ekologi,” ucap Galaksi seraya memperlihatkan cover buku itu.
“Wow,” ucap Shilla. Namun, netranya tak hanya fokus melihat cover buku yang ditunjukkan Galaksi. Gadis itu juga melihat tangan yang memegang buku itu dibalut menggunakan kain kasa. “Tangan lo,” tunjuk Shilla.
Galaksi langsung menyembunyikan tangan kirinya dan berdeham. “Bukan apa-apa.”
Shilla melihat sejenak tangan kiri yang disembunyikan Galaksi ke bawah meja. Merasa Galaksi mungkin tidak nyaman jika Shilla terus bertanya tentang tangan kirinya yang sepertinya terluka, Shilla pun mengubah topik pembicaraan.
“Btw, lo udah ada gambaran nggak mau riset tentang apa? Botani? Zoologi?”
“Zoologi,” jawab Galaksi. “Lo ingat cerita guru PLP semester lalu?”
Shilla mengerutkan keningnya. Berpikir sebentar. Semester lalu ada guru biologi yang sedang PLP di sekolah mereka. Klub sains berkesempatan berbincang-bincang dengannya dan guru tersebut pernah menceritakan pengalaman tak terlupakan selama kuliah.
“Oh, yang nyeritain ada temennya nyusruk waktu mereka praktikum nangkap capung di sawah, ya?” tebak Shilla. Galaksi tersenyum tipis. Dari sekian panjang cerita guru PLP itu, bisa-bisanya Shilla mengingat bagian konyol itu.
“Wah, lo bisa senyum juga, ya?” tanya Shilla. Galaksi langsung berdeham dan mengembalikan ekspresi wajahnya yang datar seperti biasa. Shilla yang melihat itu hanya berdecih. Shilla pun mengembalikan arah pembicaraan ke topik penting mereka. “Bener ‘kan yang itu?”
Galaksi mengangguk. “Gue tertarik nyoba itu.”
“Seru juga, tuh. Tapi gue lebih tertarik ke botani,” ujar Shilla sambil menopang dagunya dengan tangan kanan. “Tau nggak? Cerita kakak satu lagi yang identifikasi tumbuhan pakai petak kuadrat satu kali satu meter itu?”
Galaksi mengangguk. “Tau, tapi kayaknya ribet bikin petak kuadratnya. Nanti gue bantu.”
“Beneran?” tanya Shilla dengan antusias. Galaksi pun mengangguk.
“Asyik! Nanti gue juga pasti bantu lo,” ujar Shilla.
“Ok.”
Shilla tersenyum. Senang, ternyata Galaksi cukup nyaman diajak kerja sama. Meskipun sebenarnya project ini adalah tugas individu, Reynaldi mengarahkan mereka berkelompok serta mengatakan tema dan project mereka boleh sama tetapi untuk out put-nya yaitu berupa karya tulis, harus berbeda dan dikerjakan masing-masing. Namun, yang terjadi antara Shilla dan Galaksi justru mereka berbeda dalam segala hal, mulai dari ide hingga minat mereka. Rasanya Shilla senang sekali mengetahui justru mereka akan saling membantu.
“Makasih, ya,” ucap Shilla dengan tulus. “Karena udah kelas 12, ini bakalan jadi project terakhir kita di klub sains. Semoga lancar, ya. Semangat!” seru Shilla seraya mengepalkan tangannya ke udara. Namun, Shilla yang terbakar api semangat itu hanya direspons oleh anggukan singkat Galaksi yang sedang fokus membaca bukunya.
“Cih, nggak asyik,” gerutu Shilla. Dia pun berdiri dari tempat duduknya. “Gue cari buku dulu, ya.”
Merasa Galaksi tidak menanggapi, Shilla pun pergi menuju rak buku biologi. Perpustakaan di SMA Garda Citya terbilang sangat lengkap. Gedung perpustakaan juga tidak tersedia satu saja melainkan dua. Antara gedung perpustakaan jurusan IPA dan IPS dibuat terpisah sehingga Shilla pun lebih leluasa mencari buku-buku yang diperlukannya.
Shilla cukup lama berkeliling perpustakaan untuk mencari buku yang cocok. Mungkin sekitar dua puluh menit kemudian gadis itu baru kembali ke tempat duduknya. Namun, saat kembali dia tidak menemukan Galaksi yang tadi duduk dan fokus membaca buku. Gadis itu justru menemukan Galaksi yang tertidur. Kepalanya menelungkup di antara lipatan tangan yang menyilang di atas meja.
Shilla mungkin akan bereaksi biasa saja ketika melihat Galaksi yang tertidur di perpustakaan dengan posisi tidak nyaman begitu. Namun, dia langsung berteriak histeris begitu melihat ada cairan berwarna merah yang jatuh di atas lantai, tepat di antara sepatu Galaksi.
Apa yang terjadi pada Galaksi?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top