I(A)MPERFECT | 28. JALAN MENUJU MIMPI
Masalah di sekolah sudah usai. Setelah kebenaran itu terungkap, Laura mendapatkan sanksi baik dari klub sains, guru BK, bahkan sanksi sosial. Tidak hanya Laura, Fina dan Geisha yang menjadi teman terdekat sekaligus kaki tangan Laura dalam segala tindakan buruknya ikut mendapatkan sanksi.
Shilla tidak terlalu mempedulikan apa yang terjadi pada Laura. Hal terpenting saat ini adalah fokus belajar untuk menggapai tujuannya.
Sesekali Shilla masih memikirkan soal kemampuannya yang tidak bekerja pada Galaksi. Pertanyaan tentang apakah Galaksi benar-benar tidak memiliki masa depan dan apakah akan terjadi hal yang membahayakan Galaksi hingga mengancam nyawanya, hingga saat ini masih belum terjawab.
Omong-omong tentang Galaksi, Shilla sungguh merasa berterima kasih kepadanya, juga kepada Aruna dan Keanu. Berkat bantuan mereka, Shilla bebas dari tuduhan-tuduhan itu. Sejak saat itu juga, Shilla dan dua sahabatnya, Rhea dan June, bahkan menjadi lebih dekat dengan mereka. Terbukti saat istirahat hari ini mereka duduk berkumpul di meja yang sama.
“UTS susulan lo udah kelar semua?” tanya Aruna pada Galaksi yang sedang menyuapkan bakso ke mulutnya.
Galaksi mengangguk. “Kenapa?”
“Gapapa, sih. Cuma … berhubung ‘banyak banget hal’ terjadi akhir-akhir ini, sebelum kita fokus belajar lagi, gimana kalo kita main? Healing lah biar nggak stres,” usul Aruna.
“Mwain? Mwain kwe mwana?” June bertanya dengan mulut penuh.
“Telen dulu napa! Muncrat nih!” seru Rhea sambil memukul pundak June, kesal karena tangannya terkena cipratan air liur June.
“Ke gunung. Kita kemah, nginep satu malem aja. Gimana?”
“Ayo!” seru Keanu bersemangat mendengar rencana itu. “Kapan?”
“Berangkat sabtu pagi, pulang minggu siang atau sore sih. Nggak mungkin juga ‘kan gue ngajak sobat ambis ini bolos sekolah?” Aruna terkekeh menatap Galaksi dan Shilla secara bergantian.
“Sabtu ini?” tanya Shilla memastikan, mengingat hari ini adalah hari rabu.
“Yups.”
Menyadari Shilla yang tampak bimbang, Rhea pun berbisik pada Shilla.
“Kenapa, Shil? Ada masalah?”
Shilla menghela napas. Sebenarnya tidak bisa disebut sebagai masalah. Hanya saja dia akan keluar rumah, menginap semalam di luar, tentu dia perlu izin kepada mama dan ayahnya. Namun, hingga saat ini, Shilla masih belum bicara lagi dengan mama-nya. Mama dan ayahnya juga cukup sibuk, mereka pulang ketika Shilla sudah tidur.
“Shil?” tanya Rhea, menarik Shilla dari lamunan singkatnya.
“Eh, nggak. Gapapa,” ucapnya, berbohong.
***
Shilla cukup terkejut saat dia tiba di depan rumahnya sekitar pukul tujuh malam, lampu-lampu di rumah sudah menyala. Itu berarti, orang tuanya sudah pulang kerja.
“Tumben banget pulang awal,” batin Shilla seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Langkah Shilla terhenti seketika sesaat setelah membuka pintu, mama berdiri di sana, seolah sedang menunggunya.
Kedua netra Shilla menatap langsung netra mama-nya yang sorotnya tampak begitu dingin dan terselip perasaan marah.
“Kita perlu bicara,” ujar Mama singkat tetapi tegas. “Ikut Mama!”
Mama pasti akan bicara hal serius, itu dugaan Shilla. Dia mengikuti langkah mama-nya yang menuju ke ruang tamu.
Shilla menghela napas. Apalagi sekarang?
Kalau Mama hanya akan memarahinya, kembali menyuruhnya untuk mundur dari mimpinya yang ‘terlalu’ tinggi itu, dan menyarankannya untuk mendalami ilmu pengetahuan sosial supaya nanti diterima di jurusan dan bekerja hingga memiliki karir seperti kakaknya, Shilla enggan.
Shilla sudah muak.
Masalah yang baru-baru ini terjadi di sekolah sudah cukup membuat Shilla lelah. Biarkan Shilla bernapas dengan tenang untuk sejenak.
Jadi, Shilla pun menghentikan langkahnya, kemudian mengepalkan tangannya, mengumpulkan keberanian untuk menolak perintah mama-nya.
“Ma,” panggil Shilla, berhasil menghentikan langkah mama-nya dan berbalik badan, menghadapnya.
“Kalau Mama lagi-lagi mau marahin aku, jangan hari ini. Aku masih perlu belajar mapel IPA. Hari ini aku udah belajar IPS dengan baik di tempat les, sesuai permintaan Mama. Tapi, aku masih belum bisa lepasin impian aku.” Tangan Shilla semakin terkepal dengan kuat. “Oh, ya. Aku juga nggak berbuat buruk di sekolah jadi–”
Ucapan Shilla terhenti karena Mama tiba-tiba berjalan ke arahnya. Jarak di antara mereka hanya tiga langkah, jadi Shilla sangat terkejut ketika Mama menghampirinya kemudian memeluknya dengan erat. Kepalan tangan Shilla di samping tubuhnya yang semula terkepal kuat, perlahan merenggang.
“Ma?”
“Kamu baik-baik aja?”
Pertanyaan sederhana itu.
Namun, ini pertama kalinya Shilla mendapatkan pertanyaan itu dari mamanya. Saat itu juga air matanya jatuh. Shilla menangis tanpa suara.
“Hm. Aku baik-baik aja,” ucap Shilla dengan nada bergetar.
Mendengar itu, Mama langsung melepas pelukannya. Tanpa Shilla duga, air mata Mama juga jatuh membasahi wajahnya yang lelah selepas seharian bekerja.
“Kenapa kamu bilang baik-baik aja?” teriak Mama, cukup membuat Shilla terkejut dan air matanya jatuh semakin deras.
“Harusnya kamu bilang, kalau kamu nggak baik-baik aja,” lirih Mama dengan mata berkaca-kaca. “Gimana bisa kamu diam aja selama ini setelah kamu mendapatkan ketidakadilan dari sekolah?”
Mama menyibak rambutnya ke belakang seraya memejamkan matanya sejenak. “Dan lagi, kenapa Mama harus tahu apa yang terjadi sama kamu lewat orang lain? Lagi-lagi, kalau bukan karena guru BK kamu yang minta maaf langsung sama Mama dan menceritakan hal-hal apa yang menimpa kamu di sekolah dan kejadian yang sebenarnya, Mama nggak akan pernah tahu apa yang terjadi sama kamu Shilla. Apa sesulit itu kamu cerita sama Mama? Apa seenggak percaya itu kamu sama Mama? Apa karena Mama nggak setuju kamu mau masuk FK, kamu benci sama Mama dan berakhir nyembunyiin semuanya sendirian?”
“Nggak gitu, Ma.” Shilla menggeleng. Matanya tampak memerah dan sembab. “Maafin Shilla. Aku nggak bermaksud gitu.”
“Aku memang kesel sama Mama, tapi aku nggak pernah benci Mama,” ujar Shilla. “Kenapa Mama nggak dukung impianku sama sekali? Apa karena biayanya mahal? Aku bisa coba cari beasiswa, aku mungkin nanti bisa kerja sambil kuliah buat meringankan beban mama dan ayah. Tapi kenapa Mama pengen aku nyerah bahkan sebelum aku mencoba. Aku benci itu. Aku benci kalau aku kalah sebelum aku mencoba berjuang sebisaku.”
“Dan aku, aku bukan nggak percaya sama Mama. Aku nggak mau ngerepotin Mama sama masalahku sendiri,” ujar Shilla. Kepalanya tertunduk. “Maaf, Ma.”
Mama mengusap pipinya yang dibasahi air mata. Dia lantas kembali memeluk Shilla dengan hangat. “Harusnya Mama yang minta maaf. Maaf, selama ini Mama mencoba mematahkan sayapmu karena sikap egois Mama. Mama tahu, kamu pintar, sangat pintar. Mama juga percaya kamu bisa diterima di jurusan dan perguruan tinggi yang kamu impikan. Tapi, Mama terlalu takut kalau suatu hari kamu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dengan penghasilan orang tuamu yang nggak bisa dibilang tinggi ini, Mama takut nggak bisa mendukung kamu dan membuat kamu kesulitan. Gimana kalau kamu kecapekan kalau harus kuliah sambil kerja? Gimana kalau kita nggak sanggup biayain kamu, kamu berhenti di tengah jalan?”
“Mama nggak mau itu terjadi. Makanya Mama mencoba merencanakan masa depan, menghitung tabungan Mama dan Ayah yang sekiranya masih bisa menjangkau pendidikan kamu di jenjang selanjutnya.”
Mama melepas pelukannya sejenak dan menatap Shilla dengan sorot mata sedih, tetapi terasa hangat.
“Maaf Mama selama ini bertindak tanpa bertanya dulu sama kamu. Karena ketakutan Mama, Mama nggak bisa dukung kamu. Tapi, kali ini nggak lagi. Mama sadar, ada banyak jalan menuju mimpi, selagi kita berusaha sekuat tenaga, semampu kita. Selalu ada jalan keluar dalam setiap permasalahan. Jadi, mulai hari ini, Mama akan dukung kamu. Nggak perlu belajar rumpun IPS buat ngejar ketertinggalan. Kamu nggak perlu menuruti keinginan Mama lagi. Fokus aja sama tujuanmu, ya?”
“Ma…” Kali ini Shilla yang memeluk Mama lebih dulu. Dia rindu pelukan mama-nya yang hangat. Sejak masuk SMA dan memilih jurusan sesuai minatnya tanpa memedulikan pendapat mama, berakhir konflik, hingga hubungan mereka merenggang. Shilla tidak dekat lagi dengan mama-nya. Namun, kini Shilla yakin semuanya akan kembali seperti semula.
“Makasih ya, Ma,” ujar Shilla. “Makasih udah percaya sama aku. Makasih udah mau dukung aku. Aku janji nggak akan ngecewain Mama dan Ayah. Kakak juga.”
Mama membelai rambut Shilla. “Biar bagaimanapun, saya masih ibu kandungmu, Shilla. Mungkin akan berat, tapi Mama akan berusaha. Bagaimana bisa Mama biarin kamu nanggung semuanya selama ini sendirian?”
Shilla semakin mengeratkan pelukannya pada Mama. Hatinya luar biasa lega. Dengan dukungan mama-nya, sesulit apapun medan pertempuran yang akan Shilla hadapi, semuanya akan baik-baik saja.
“Nah, gitu dong akur. Adem ‘kan lihatnya.” Entah dari mana Satya muncul. Dia merusak suasana yang penuh haru. Shilla merenggangkan pelukan pada mama-nya dan mendelik galak pada kakaknya.
“Udah. Udah cukup ‘kan maaf-maafannya? Nanti terusin lagi pas lebaran, ya. Kita makan malam dulu. Ayah udah lapar,” ujar Ayah seraya memegang perutnya yang buncit.
Mama berdecak. Dia pun pergi ke dapur. Shilla, Satya, dan ayahnya mengekor.
Malam ini, di rumahnya Shilla kembali nyaman seperti sedia kala. Dua tahun terakhir, Shilla selalu makan malam sebelum pulang karena menghindari berlama-lama berkumpul bersama keluarga. Shilla tidak mau pilihannya lagi-lagi disinggung dan disalahkan.
Namun, mulai malam ini hal itu tidak akan terjadi lagi.
“Oh, ya. Kamu balas lebih keras, kan?” tanya Mama disela-sela makan malam.
Shilla menatap Mama dengan kening berkerut. Bingung dengan maksud dan konteks pertanyaan mama-nya.
“Laura. Temen kecil kamu itu. Berani-beraninya dia mukul wajah anak Mama yang cantik ini. Dia duluan ‘kan yang mukul kamu. Nah, kamu balas dia lebih keras, kan? Awas aja kalau enggak.”
Shilla tertawa. Dia sangat bahagia telah kembali pulang ke ‘rumahnya’.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top