I(A)MPERFECT | 24. RAHASIA TERKELAM
Setetes air mata jatuh ke atas kertas yang berada di genggaman tangan Shilla. Shilla tidak pernah membayangkan bahwa kejadian mengerikan pernah menimpa Galaksi bahkan sampai membuatnya membenci diri sendiri selama bertahun-tahun.
Namun, mengetahui kejadian sepuluh tahun lalu yang diceritakan Galaksi melalui suratnya mendadak membuat kepala Shilla pusing. Bayangan dentuman saat kecelakaan mobil, tangis, teriakan histeris, dan bau amis darah yang membasahi jalan beraspal kembali menyerang Shilla.
Membayangkan hal mengerikan itu, meskipun Shilla tak ingin, membuat napasnya tersengal-sengal, dadanya terasa sesak, dan keringat dingin membasahi pelipis serta telapak tangannya. Shilla hampir mengambil obat penenang yang ada di dalam tasnya, tetapi ujung matanya melihat jari Galaksi yang bergerak.
“Galaksi?” panggil Shilla seraya berusaha sekuat mungkin mengatur napasnya.
Shilla pun segera melupakan obat dan bayangan itu kala Galaksi yang terbaring lemah mulai membuka matanya perlahan.
***
Begitu Galaksi sadar, Shilla langsung menghubungi Bagas, dokter sekaligus paman yang bertanggung jawab atas kondisi Galaksi. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Bagas mengatakan kalau kondisi Galaksi baik-baik saja dan tidak lama lagi akan pulih.
Bagas pergi ketika sudah memastikan kondisi Galaksi baik. Sementara itu, Shilla segera menghubungi Aruna, Keanu, Rhea, dan June untuk mengabari kalau Galaksi sudah sadar.
Shilla tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi pasien yang baru saja sadar. Jadi, sambil menunggu teman-temannya datang, dia hanya duduk di samping tempat tidur yang ditempati Galaksi sambil meremas ujung kertas yang berada dalam genggamannya sejak tadi.
Sama halnya dengan Shilla, Galaksi juga tidak mengatakan sepatah kata apapun. Dia bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana. Namun, ketika menyadari bahwa kertas dengan tulisan tangan yang tidak asing di tangan Shilla itu ternyata adalah suratnya, wajah Galaksi memerah.
Shilla yang menyadari wajah Galaksi yang memerah langsung panik. “Lo kenapa? Perlu gue panggilin dokter?”
“Gak usah,” jawab Galaksi singkat seraya membuang wajah ke sisi yang berlainan, bersembunyi dari Shilla yang terus menatapnya dengan panik.
“Beneran? Muka lo merah banget takutnya lo–”
“Gapapa, Shilla,” ujar Galaksi menegaskan. Dia menghela napas. Daripada Shilla terus-terusan mengkhawatirkan dirinya, lebih baik dia jujur saja. “Gue cuma malu.”
“Malu?” Shilla kebingungan. “Malu kenapa?”
Galaksi pun menunjuk beberapa lembar kertas yang dipegang oleh Shilla. “Lo udah baca?”
“Oh,” Shilla menatap sekilas kertas-kertas itu. “Udah,” jawabnya dengan suara pelan.
“Ini dari paman lo,” jelas Shilla, takut Galaksi berpikir kalau Shilla mencurinya dari rumahnya mengingat bagaimana cara Shilla dan teman-temannya masuk ke rumah Galaksi dengan memecahkan kaca seperti maling.
“Gue tahu,” ucap Galaksi. Karena, pikirnya tidak mungkin kertas itu terbang sendiri kemari. Pamannya pasti mengurus sesuatu dan mampir ke rumahnya, kemudian tidak sengaja menemukan surat itu. “Tapi, gue nggak tahu kalau gue akan tahu surat itu sampai ke tangan lo.”
“Maksud lo?” tanya Shilla. Untuk beberapa saat dia mencoba mencerna kalimat Galaksi. Ketika menyadari apa maksudnya, dia memelototi Galaksi. “Jangan bilang lo pikir surat ini bakal nyampe ke gue setelah lo meninggal!”
Galaksi terkekeh. “Emang pantes lo ranking paralel satu.”
“Nggak ada hubungannya!” seru Shilla galak. Beberapa detik kemudian, dia baru sadar dia melakukan kesalahan. Tidak seharusnya dia berteriak pada pasien yang baru mulai pulih.
Shilla menghembuskan napas. Dia jadi teringat bagaimana dia tidak bisa membaca masa depan Galaksi dengan kemampuannya.
Kemampuan itu!
Shilla kembali memutar kejadian tiga bulan lalu di mana dia membuntuti Galaksi yang masuk ke rumah sakit, bertemu dokter, kemudian pergi ke atap dan nyaris melompat. Jika dihubungkan dengan isi surat itu, apakah artinya …
Seketika Shilla menangkup mulutnya yang menganga.
“Lo!” tunjuk Shilla pada Galaksi. “Waktu gue narik lo di atap rumah sakit. Waktu itu beneran ‘kan lo mau … hilang dari dunia ini?”
“Nggak,” jawab Galaksi. “Gue cuma cari angin doang.”
“Bohong! Gue lihat tuh satu kaki lo udah naik ke tembok pembatas,” ujar Shilla, mengingat dengan jelas kejadian malam itu.
“Itu gue lagi benerin tali sepatu,” jelas Galaksi, membuat wajah Shilla cengo. “Beneran. Ya, walaupun rasa pengen jatuhin diri sempat lewat di pikiran gue.”
“TUH KAN!” seru Shilla heboh. “UNTUNG GUE NARIK LO, KALAU ENGGAK LO KEBURU DIHASUT SETAN.”
Lagi-lagi Galaksi terkekeh melihat Shilla yang nyolot dengan mata melotot seperti itu. “Iya, untung ada lo.”
Galaksi tersenyum penuh arti. “Makasih. Makasih buat malam itu di atap rumah sakit. Makasih juga buat hari itu di rumah gue.”
Shilla berdeham, melunakkan ekspresi wajahnya yang tadi tampak galak.
“Sama-sama. Maaf gue pecahin kaca rumah lo–eh, June deh yang pecahin.”
“Gapapa,” ujar Galaksi.
Mengingat rumah Galaksi, Shilla teringat wanita yang menyerang Galaksi. Ibunya Galaksi. Entah apa yang terjadi padanya, Shilla tidak tahu.
Shilla memperhatikan sejenak perubahan ekspresi wajah Galaksi yang mendadak sendu. Apakah Galaksi juga memikirkan hal yang sama dengannya?
“Btw, gue baru tahu paman lo dokter. Dia dokter yang sama ‘kan yang lo temui malam itu?” tanya Shilla, hendak berbasa-basi dan mengalihkan fokus Galaksi dari pikiran tentang ibunya.
“Iya,” jawab Galaksi singkat.
“Oh, okay.” Shilla mengangguk-angguk. “Gue pikir lo sakit.”
“Nyokap gue yang sakit.”
Sia-sia Shilla mencoba mengalihkan fokus Galaksi, rupanya hal itupun masih berkaitan dengan ibunya Galaksi?
“Om Bagas berkali-kali bilang, bahkan dari sejak gue masih kecil, buat bawa nyokap gue ke rumah sakit jiwa. Nyokap gue perlu perawatan khusus dari seorang yang profesional. Tapi gue nggak mau pisah sama nyokap,” jelas Galaksi tanpa Shilla minta.
“Jadi, selama sepuluh tahun ini Om Bagas bantu pemulihan nyokap gue dengan rutin mendatangkan psikiater ke rumah buat cek keadaan nyokap gue. Kadang kalau gue capek, gue ngobrol sama paman.”
Galaksi menghela napasnya dengan berat. “Lo pasti bertanya-tanya, kenapa gue memilih repot sendiri daripada biarin nyokap gue masuk RSJ aja?”
Benar. Pertanyaan itu yang muncul di kepala Shilla setelah mendengarkan sepenggal cerita Galaksi.
Tanpa Shilla jawab terlebih dahulu, Galaksi pun menjelaskan.
“Karena gue nggak bisa bayangin gimana caranya gue bertahan hidup tanpa nyokap gue. Meskipun gue diperlakukan sedemikian nggak baiknya selama sepuluh tahun terakhir, nyokap gue tetap ibu kandung gue.”
Rasanya sesak sekali menceritakan rahasia yang tidak pernah Galaksi bagi dengan siapapun. Namun, tanpa Galaksi katakan hal itu, Shilla mengerti.
“Cukup dulu buat hari ini,” ucapnya lembut. “Nanti lagi gue dengerin. Makasih ya. Makasih udah percaya cerita sama gue.”
Shilla tersenyum tulus. Hari ini dia mengetahui banyak hal tentang Galaksi. Galaksi benar-benar menepati ucapannya untuk ‘cerita kapan-kapan’. Padahal, saat itu Shilla tidak menceritakan banyak hal pada Galaksi.
Ketika Galaksi menceritakan rahasia terkelamnya, Shilla masih banyak menyembunyikan rahasia darinya, termasuk rahasia tentang kemampuannya dan kejadian traumatis yang membuatnya berakhir mendekati Galaksi demi melindunginya dari hal-hal yang membahayakan nyawanya.
“Galaksi,” panggil Shilla.
“Hm?”
Shilla menghela napas. Tidak ada salahnya dia mencoba bertanya.
“Kalau gue bilang gue bisa lihat masa depan orang lain dengan nyentuh tangannya, lo percaya nggak?”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top