I(A)MPERFECT | 17. TRAP

Shilla telah masuk perangkap. Itulah yang Shilla pikirkan ketika mengalami kejadian tak terduga yang berlangsung dengan begitu cepat. Dimulai dari Fina dan Geisha yang memanggilnya, menemui Laura dan berdebat dengannya di kelas 12 IPA 2, hingga disalahpahami oleh siswa-siswi dan guru BK yang mencatat sikap buruknya.

Dua tahun tiga bulan menjadi siswa di SMA Garda Citya, Shilla dikenal sebagai siswa yang baik. Namun, hari ini nama baiknya rusak begitu saja. Semuanya seolah telah direncanakan. Fina dan Geisha memberikan bukti pendukung kepada guru BK kalau Shilla sudah melakukan hal yang tidak pantas pada Laura sampai gadis itu menangis dan menjadi orang yang paling tersakiti. Padahal, Laura yang lebih dulu menampar wajahnya.

Shilla berusaha membela diri tetapi dia bahkan tidak punya bukti yang bisa mendukung argumennya. Karena hal itulah, dengan berat hati Shilla menerima hukuman skors dua hari.

Shilla ingin menangis tetapi rasa takutnya lebih besar dibandingkan kesedihannya. Entah bagaimana dia mengatakan hal yang terjadi di sekolah pada ibunya. Maka dari itu, setelah pulang les, Shilla tidak langsung pulang ke rumah. Meskipun searah dengan Galaksi, Shilla memilih pulang sendiri kemudian duduk di sebuah ayunan yang berada di taman kompleks perumahannya. 

Tak lama, seekor kucing menghampirinya. Shilla segera mengeluarkan makanan kucing yang selalu dia bawa kemana-mana. Kucing itu tampak senang dan makan dengan lahap. Melihat kucing itu, rasanya Shilla sedikit terhibur.

Malam ini taman sepi, tetapi terasa hangat dan tidak begitu menakutkan karena lampu-lampu yang menyala di setiap penjurunya. Langit malam juga tampak lebih hidup dengan kerlap-kerlip bintang dan bulan purnama yang menghiasinya bak sebuah lukisan. Seolah semesta pun tidak berempati dengan rasa sedih dan takut yang sedang Shilla alami. Seolah semuanya tetap berjalan baik-baik saja meskipun dia sedang jatuh dan terluka. Apakah memang begitu cara kerja semesta?

Shilla menatap langit Kota Bandung dengan tatapan hampa. Gadis itu baru mengalihkan atensinya kala suara decit besi ayunan yang berkarat disampingnya terdengar. Seseorang duduk di sana, menyimpan ransel dengan gantungan kepala tengkorak di atas pangkuan, menarik resletingnya dan mengambil sesuatu dari ransel itu.

“Kali ini bukan Keanu yang beli,” ujar Galaksi seraya memberikan dua bungkus jelly bintang kesukaan Shilla. 

Selain menjadi teman Shilla kalau sedang belajar, jelly bintang juga selalu menjadi teman Shilla saat sedang sedih atau marah karena dengan hal itu dirinya bisa pulih dan kembali baik-baik saja. Namun, dia tidak pernah mengatakannya pada siapapun. Seingatnya, Shilla juga mengatakan pada Galaksi kalau jelly bintang ini cocok dimakan saat pusing mengerjakan latihan soal fisika. Bagaimana Galaksi bisa tahu? 

Jika kebetulan, itu cukup menyenangkan.

Shilla menerima dua bungkus jelly bintang itu dan menggumamkan kata terima kasih. Sepuluh menit berlalu, tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara jangkrik, deru kendaraan bermotor dari jalan raya yang terdengar samar, suara decit ayunan berkarat yang menemani mereka.

“Gue takut pulang,” ujar Shilla setelah hening yang cukup lama. “Gue nggak bisa bilang yang terjadi di sekolah ke Mama. Mama pasti kecewa, marah, dan nggak suka sama tindakan gue.”

Shilla menghela napas. Dia membuka salah satu jelly bintang berwarna hijau dan memakannya dalam satu kali suapan. 

“Gue tahu, tindakan gue nggak bisa dibenarkan. Gue juga terlalu terbawa emosi karena terprovokasi Laura. Tapi, di sini gue nggak sepenuhnya salah,” ujar Shilla setelah selesai mengunyah dan menelan agar-agar itu. “Lo percaya nggak kalau Laura yang duluan nampar gue?” 

Shilla menatap Galaksi yang tampak berpikir sejenak, tidak langsung memberikan jawaban. Shilla mendecih. “Nggak mungkin, sih. Karena gue nggak punya bukti. Hal yang sama juga terjadi waktu kita SMP. Laura pinjam buku gue yang berisi banyak hal, termasuk ide-ide dan tulisan random gue. Tahu nggak yang dia lakuin?”

Galaksi hanya menatap Shilla, menunggu gadis itu melanjutkan. 

“Dia nyuri tulisan gue, ide gue, cuma karena dia iri sama gue dan capek dibandingin terus sama gue. Padahal gue anggap Laura sahabat sejati gue. Waktu itu gue bilang ke guru Bahasa Indonesia gue kalau artikel atas nama Laura yang udah dimuat di koran itu sebenarnya karya milik gue, tapi gue nggak percaya. Bukti satu-satunya cuma catatan gue, tapi Laura buang catatan itu.” Shilla membuka jelly bintang berwarna merah untuk meredam rasa sedih dan kesalnya saat menceritakan itu. “Makanya, tadi gue bilang Laura niru ide project gue dan gue tahu itu salah karena gue cuma bilang gitu berdasarkan apa yang udah terjadi di masa lalu, tanpa bukti.”

“Gue benci berpikiran buruk sama orang, tapi gue terus bertanya-tanya tentang kejadian tadi. Apa maksud rencana Laura? Apa dia dan temen-temennya sengaja pengen jatuhin gue? Tapi kenapa? Masa karena gue sekelompok sih sama lo?” tanya Shilla seraya menyuapkan dua jelly bintang sekaligus, mulutnya jadi penuh dengan pipinya yang mengembung, tetapi sorot matanya jelas menyiratkan amarah.

“Gue yakin bukan karena pertanyaan terakhir. Konyol banget,” sahut Galaksi seraya menendang kerikil di dekat kakinya.

“Dih. Bisa aja, kan? Kali aja Laura suka sama lo terus ngerasa gue udah rebut lo dari dia, apalagi dia temen lo dari kecil. Udah biasa tuh cerita cowok cewek temenan dari kecil salah satunya suka,” ujar Shilla, teringat berbagai novel rekomendasi Rhea yang memiliki premis demikian.

“Gue nggak temenan sama Laura dari kecil,” ucap Galaksi, merasa perlu mengoreksi ucapan Shilla. 

“Oh, ya? Terus foto yang diposting Laura itu?” 

“Sepupu gue ulang tahun. Paman gue undang rekan-rekan kerjanya, termasuk anak-anaknya buat rayain ulang tahun sepupu gue. Gue juga diundang. Tapi gue nggak inget foto itu diambil siapa dan nggak kenal siapa yang difoto sama gue,” jelas Galaksi. “Gue baru kenal Laura karena dia anak pindahan yang sebangku sama gue pas SMP. Terus dia bilang kita pernah ketemu waktu sepupu gue ulang tahun yang ketujuh.”

Shilla mengangguk-angguk menyimak penjelasan Galaksi. Untuk pertama kalinya cowok itu berkata panjang lebar selain menjelaskan sesuatu yang terkait dengan project klub sains. 

Tiba-tiba Shilla teringat. “Di foto itu lo kelihatan seneng banget, vibes-nya ceria gitu. Kayak bukan lo.”

Galaksi yang selalu berekspresi datar itu tersenyum tipis. “Itu hari terakhir gue tahu rasanya bahagia.”

“Hah? Kenapa?” tanya Shilla penasaran. Galaksi hanya menggeleng, enggan menjelaskan lebih lanjut, setidaknya untuk saat ini.

“Gapapa. Lain kali aja gue cerita.” Galaksi pun berdiri dari ayunan di samping Shilla. “Udah malem, mendingan lo pulang.”

“Tapi gue takut Mama marahin gue,” ujar Shilla. Kepalanya tertunduk lesu.

“Ya udah kalau gitu nggak usah bilang.”

Shilla yang masih duduk di ayunan dengan kepala tertunduk, langsung mendongak dan menatap sinis Galaksi. Cowok itu seenaknya saja menyarankan hal seperti itu dengan ekspresi datar dan tanpa beban.

“Besok lo bangun, berangkat sekolah kayak biasa. Kita ketemu di sini dan belajar mandiri di Sunsetz.”

***

Sesuai yang disarankan oleh Galaksi, Shilla tidak mengatakan kejadian kemarin kepada ibunya karena dia belum siap dan masih merasa sangat takut. Meskipun begitu, Shilla yakin hanya soal waktu ibunya dapat mengetahui masalah yang dia dapatkan di sekolah. Namun, setidaknya dia mendapatkan waktu untuk bisa siap menghadapi itu.

Pagi hari, seolah segalanya berjalan seperti biasa, Shilla bangun dan bersiap berangkat sekolah. Dia pergi dari rumah lengkap dengan peralatan sekolah dan seragamnya. Hanya saja, dia tidak pergi menuju ke sekolah. Tujuannya pagi ini ke kafe Sunsetz. 

Kafe Sunsetz sebenarnya buka pukul 08.00, Shilla dan Galaksi tahu itu. Jadi, awalnya mereka berencana untuk bertemu di tempat lain dulu. Namun, saat Shilla menceritakan apa yang akan dilakukannya hari ini pada Rhea, Rhea meminta kakaknya untuk membuka kafe lebih awal. Maka dari itu, Shilla langsung berangkat sendiri ke kafe Sunsetz dan sudah berjanji dengan Galaksi untuk langsung bertemu di sana.

“Maksud lo kita belajar mandiri di kafe Sunsetz? Lo mau bolos gitu ngikut gue yang lagi dihukum ini?” 

“Izin. Bukan bolos. Bolos juga gue mau belajar ‘kan sama lo?”

Entah bagaimana tiba-tiba Galaksi menjadi sangat baik. Shilla pun masih tidak menduga. Bagaimana bisa Galaksi merelakan tidak ikut jam pelajaran di sekolah dan memilih belajar bersama Shilla?

“Lo yakin nggak akan nyesel? Ntar lo ketinggalan pelajaran,” ujar Shilla yang malam itu masih syok dengan niat Galaksi yang hendak menemaninya belajar mandiri.

“Nggak akan, otak genius gue bisa ngejar pelajaran yang tertinggal.”

Seketika Shilla merasa menyesal sempat mengkhawatirkan ketertinggalan Galaksi. Namun, akhirnya dia tertawa juga mendengar kalimat Galaksi yang begitu percaya diri.

Shilla sampai di kafe Sunsetz tepat pukul 07.00. Benar saja, kakaknya Rhea buka lebih awal. Karena biasa buka lebih siang, Shilla menjadi pengunjung pertama yang datang sekaligus menjadi yang paling awal tiba daripada Galaksi. 

Shilla menunggu Galaksi tiba. Selagi menunggu, dia memesan roti dan matcha kesukaannya. Namun, sampai pesanan itu tiba, Galaksi belum juga tiba. Shilla pun memilih membaca buku biologi, tetapi Galaksi juga belum tiba bahkan setelah Shilla hampir menyelesaikan seluruh bab yang dibaca dan pesanannya sudah hampir habis.

Tidak seperti biasanya, Galaksi selalu tepat waktu. Namun, satu jam berlalu, Galaksi belum tiba di kafe Sunsetz. Beberapa pengunjung mulai berdatangan, ada yang sekadar memesan minuman dan pergi, ada juga yang memilih makan dan minum di tempat. 

Khawatir, Shilla pun mencoba menghubungi Galaksi. Ponsel Galaksi aktif tetapi dia tidak membalas. Shilla mencoba berpikir positif, mungkin Galaksi sedang dalam perjalanan. 

Namun, hati kecilnya tidak bisa bohong. Mendadak dia bertanya pada dirinya sendiri, apakah Galaksi akan benar-benar datang? Shilla tidak sepenting itu bagi Galaksi, mereka tiba-tiba dekat karena Shilla ingin memastikan penyebab dirinya tidak bisa menggunakan kemampuannya pada Galaksi dengan segala cara, termasuk menyeret Galaksi menjadi partner untuk project klub sains.

Jadi, Shilla hanya bisa menunggu dan menunggu. Barangkali Galaksi harus mengerjakan sesuatu dulu sebelum ke sini. Barangkali Galaksi terjebak kemacetan. Namun, hingga tiga jam berlalu Galaksi tidak kunjung tiba. Shilla ingin mencoba menelepon Galaksi, tetapi dia merasa sungkan. Shilla pun mengurungkan niatnya.

Ketika Shilla kembali fokus membaca buku, ponselnya berdering, menandakan ada telepon yang masuk. Shilla langsung mengangkat telepon itu begitu tahu Galaksi yang menelepon.

“Galaksi, lo di mana? Gue tungguin dari tadi kok nggak nyampe-nyampe?”

“Teteh kenal sama yang punya HP? Tadi saya lihat ada kecelakaan dan nemu HP ini di jalan.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top