I(A)MPERFECT | 14. ARE YOU OKAY?
Bagi Shilla, satu minggu ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Terlebih lagi dia harus belajar materi IPS sesuai dengan anjuran ibunya, tetapi gadis itu tetap belajar materi IPA karena dia juga bersikeras tidak ingin merelakan mimpinya dengan mudah. Maka dari itu, pada saat akan melakukan kegiatan mini riset minggu lalu, dia bangun kesiangan sampai tidak sempat sarapan. Beruntung sekali Galaksi membawa roti dan susu UHT untuk Shilla.
Perlu waktu satu minggu bagi Shilla dan Galaksi untuk mempersiapkan kegiatan mini riset selanjutnya. Kali ini saatnya Galaksi membantu Shilla. Mereka kembali bertemu di hari minggu karena pada hari-hari sebelumnya mereka disibukkan dengan berbagai tugas sekolah dan tentu saja les.
Namun, sebelum itu Shilla dan Galaksi sudah mempersiapkan alat dan bahan apa saja yang diperlukan. Shilla hanya memerlukan petak kuadrat dari bambu dengan ukuran 1 x 1 meter yang kemudian dibagi menjadi 25 petak kecil, alat tulis, sticky note, handphone, dan kantung plastik.
Sesuai dengan petunjuk dari Kak Nilam, pengamatan dan percobaan menggunakan petak kuadrat harus dilakukan pada lokasi titik sampling yang berbeda untuk dapat menganalisis dan membandingkan kerapatan vegetasi dalam suatu ekosistem. Shilla sudah menentukan dua lokasi untuk melakukan sampling tumbuhan. Pertama, di kebun dekat sawah kakek June yang sebelumnya menjadi lokasi pengamatan Galaksi untuk menganalisis kerapatan populasi capung. Kedua, di kebun yang berada di belakang rumah saudaranya.
Jadi, pagi hari sekitar pukul delapan, Shilla dan Galaksi sudah berangkat ke lokasi. Kali ini mereka tidak perlu terburu-buru karena dalam prosedur riset ini waktu identifikasi tumbuhan tidak ditentukan.
Lima belas menit perjalanan, Shilla dan Galaksi tiba di lokasi pertama. Begitu turun dari motor, Galaksi mengambil alih petak kuadrat dari bambu yang selama perjalanan dipegang oleh Shilla. Setelah itu, Shilla berjalan lebih dulu untuk mencari lokasi yang menurutnya sesuai.
“Di sini bagus, coba lempar petak kuadratnya di sebelah sini.”
Sesuai dengan arahan Shilla, Galaksi pun melempar petak kuadrat secara sembarang pada lahan yang sudah ditentukan. Setelah itu, Shilla mengeluarkan alat tulis dan sticky note untuk menulis tanda masing-masing petak kecil dengan simbol K1 sampai K25. Selesai menuliskan simbol untuk petak kecil, Shilla dan Galaksi pun mulai mengidentifikasi.
Supaya lebih mengefektifkan waktu, Galaksi mengusulkan supaya dia yang bertugas mencabut tumbuhan per petak, sementara Shilla yang bertugas men-scan tumbuhan untuk diidentifikasi. Shilla pun menyetujui itu.
Namun, ternyata kecepatan mengidentifikasi dan mencabut tumbuhan berlangsung lebih lama karena membutuhkan ketelitian supaya tidak salah mengidentifikasi. Ketika Galaksi sudah selesai mencabut seluruh tumbuhan liar dalam 25 petak kecil, Shilla baru selesai mengidentifikasi tumbuhan dari 10 petak.
“Ini yang belum diidentifikasi?” tanya Galaksi sambil menunjuk tumpukan-tumpukan tumbuhan liar yang ditandai dengan simbol K11 sampai K25 dengan sticky note.
“Iya,” jawab Shilla. Dia meringis melihat masih banyak tumbuhan yang belum diidentifikasi. “Sorry ya, masih banyak.”
“Gapapa.” Galaksi pun duduk di sebelah Shilla, mengeluarkan alat tulis, buku catatan, dan ponselnya untuk mengidentifikasi.
Di sebuah pondok yang terletak di antara rimbunnya pepohonan, mereka mengidentifikasi satu per satu tumbuhan yang berada pada petak kuadrat. Seperti biasa, Galaksi tidak mengatakan apapun dan hanya fokus mengidentifikasi. Begitu juga Shilla. Namun, seperti minggu sebelumnya, rasanya terlalu canggung jika mereka terus saling diam. Maka dari itu, Shilla menjadi pihak yang akan membuka pembicaraan.
“Gue boleh tanya satu hal nggak sama lo?” tanya Shilla, tetapi tangan gadis itu masih sibuk meng-scan tumbuhan dan menuliskan nama spesies yang teridentifikasi dalam buku catatannya.
“Tanya apa?” tanya balik Galaksi sambil mencatat jumlah spesies Cyperus rotundus dari petak K15.
“Gue selalu penasaran sama satu hal ini.” Shilla membenahi posisi duduknya menjadi sedikit menyerong pada Galaksi. “Motivasi tiap orang buat mencapai sesuatu tuh tentunya beda-beda, kan?”
Galaksi mengangguk setuju. “So?”
“Gue mau tanya, apa motivasi terbesar lo selama ini?”
Tangan Galaksi yang hendak mengambil tumbuhan selanjutnya untuk diidentifikasi refleks berhenti. Cowok itu kemudian menoleh, menemukan Shilla yang ternyata sedang menatapnya.
Melihat raut wajah terkejut Galaksi, Shilla jadi merasa dia telah salah bicara dan malah menciptakan suasana yang semakin canggung. “Hehe, nggak usah dijawab deh kalo privasi.”
Galaksi pun benar-benar tidak menjawab. Atmosfer di antara mereka semakin tidak nyaman saja. Untuk memperbaiki suasana yang mendadak jadi lebih canggung, akhirnya Shilla bersuara lagi.
“Ya, karena gue udah tanya sama lo, sekarang giliran lo. Lo mau tanya apa sama gue?”
Setelah mengatakan itu, Shilla kemudian mengutuk dirinya sendiri. Cowok cuek semacam Galaksi ini mana mungkin penasaran dengan kehidupan orang lain yang tidak penting baginya. Benar-benar tindakan bodoh. Shilla memang introvert yang sangat tidak berbakat soal urusan basa-basi.
Jeda beberapa saat. Shilla nyaris menjatuhkan ponselnya yang sedang men-scan tumbuhan ketika Galaksi bertanya, “Are you okay?”
“Hah?” Shilla mengerjap. Pertanyaan macam apa itu?
Galaksi menghela napas. “Gue ganti. Kenapa lo belajar IPS juga?”
“HAH?”
Bagaimana bisa Galaksi tahu? Shilla bahkan merahasiakannya dari Rhea dan June supaya mereka tidak mengkhawatirkannya.
“Kok lo bisa tahu?” tanya Shilla yang masih syok.
“Nggak sengaja denger waktu mau ke ruangan Miss Vira,” jawab Galaksi.
Shilla ingat hari itu. Saat hari pertama dia pindah les ke Ace Academy dan tidak sengaja bertemu dengan Galaksi di ruangan Miss Vira.
“Oh.” Shilla tertawa dengan nada sumbang. “Gapapa, sih. Nyokap gue nggak mau gue belajar sains dan nggak dukung gue masuk FK karena waktu studinya lama, biayanya juga nggak bisa dibilang murah, kan? Jadi, ya, gitu. Haha.”
Sesaat setelah menjelaskan itu Shilla tersadar. Ini sebenarnya ranah pribadinya dan dia tidak ingin siapapun tahu sisi lain dirinya yang bisa dibilang tidak baik-baik saja, tetapi entah mengapa dia berani menceritakannya pada Galaksi. Anehnya juga, dia merasa lega setelah mengatakannya.
“Gue nggak mau nyerah sama mimpi gue. Jadi, gue tetap bekerja keras, kali aja ‘kan lolos FK terus dapat beasiswa?” Shilla tersenyum. Dia selalu berusaha optimis meskipun rasanya dia sangat lelah dan ingin menangis.
“Ya. Semoga aja,” sahut Galaksi. Kemudian cowok itu menatap Shilla dan tersenyum tulus. “Thanks.”
“Buat?” tanya Shilla, bingung dengan ucapan terima kasih dari Galaksi.
“Your answer,” ujar Galaksi.
“Oh. Okay. My pleasure. Jujur aja rasanya aneh gue cerita sama lo. Tapi, di sisi lain, rasanya gue lega dan agak terharu sama pertanyaan pertama lo, meski syok sih. Ya, sejauh ini gue juga masih baik-baik aja, sih. Oh, ya. Lo juga boleh, kok, kalo mau cerita sama gue.”
Galaksi mengangguk seraya mencatat spesies baru dari tanaman yang telah teridentifikasi. “Hm. Kapan-kapan gue cerita.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top