I(A)MPERFECT | 10. MELINDUNGINYA

Panik. Hanya satu kata itu yang mewakili Shilla saat ini. Gadis itu berusaha membangunkan Galaksi, tetapi Galaksi tidak merespon. Rasa takut langsung menyerangnya. Dia mengingat kemungkinan yang menyebabkan Shilla tidak bisa melihat masa depan Galaksi. Apakah ini sudah waktunya? 

Karena panik, Shilla pun segera menghubungi rumah sakit dan meminta ambulans untuk datang ke sekolahnya. Dia juga melapor pada petugas perpustakaan bahwa ada salah satu siswa yang tak sadarkan diri di sana. Siswa-siswi lain yang mengunjungi perpustakaan bertanya-tanya apa yang terjadi. 

Begitulah. Rasanya kejadian itu sangat cepat. Shilla naik ke mobil ambulans, menemani Galaksi yang terbaring di atas brankar. Bu Mirna, wali kelas 12 IPA 1, yang kebetulan masih ada di sekolah juga turut ikut menemani Shilla yang hendak membawa anak didiknya ke rumah sakit. 

Sesampainya di rumah sakit, Shilla dan Bu Mirna mengikuti Galaksi yang diarahkan menuju ke unit gawat darurat. Namun, Shilla dan Bu Mirna terpaksa harus berhenti di depan pintu ruang unit gawat darurat tersebut. 

Shilla menyandarkan punggungnya ke dinding. Rasanya sekarang kakinya sudah berubah menjadi jelly saking lemasnya. 

“Nak, duduk dulu sini,” ujar Bu Mirna. Dia merangkul Shilla dengan lembut dan membimbingnya menuju kursi di depan ruang UGD.

Shilla pun duduk seraya memeluk tas milik Galaksi. Dia mengatur napasnya yang tak teratur seraya mengamati pintu unit gawat darurat. 

“Minum dulu.” Bu Mirna memberikan air mineral untuk Shilla. Shilla menerimanya dan meminum air mineral tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar. 

“Galaksi memang sejak pagi kelihatan lagi nggak enak badan. Waktu saya ngajar fisika juga dia sampat mimisan,” jelas Bu Mirna, memecah keheningan di antara mereka. 

Shilla menatap Bu Mirna dengan tampang terkejut. Kalau Galaksi memang sedang sakit, mengapa dia tidak bilang saja pada Shilla? Kalau tahu hal itu, mungkin Shilla akan mengatakan untuk bertemu lain kali saja.

Tidak lama kemudian, pintu itu dibuka. Shilla dan Bu Mirna langsung mengampiri dokter. Karena orang tua Galaksi sulit dihubungi, maka Bu Mirna menjadi wali untuk Galaksi. 

“Bagaimana keadaan siswa saya, Dok?” tanya Bu Mirna. Shilla agak tidak menyangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan yang sebelumnya hanya pernah dia saksikan di drama-drama.

“Pasien baik-baik saja. Dia hanya kelelahan dan keseringan begadang. Ditambah lagi pola makannya tidak sehat dan tidak teratur,” jelas dokter dengan singkat.

“Dia ada riwayat penyakit serius nggak? Misalnya, dia menderita kanker dan divonis hidupnya nggak lama lagi?” tanya Shilla. Bu Mirna sampai menyenggol lengannya karena pertanyaan tak terduga Shilla.

“Nak, jangan bicara sembarangan gitu,” tegur Bu Mirna.

“Saya ‘kan cuma tanya aja, Bu,” ujar Shilla dengan wajah cemberut. “Gimana, Dok?”

Dokter itu hanya tersenyum. “Tidak ada. Pasien hanya kelelahan dan tidak ada masalah medis yang serius.”

Setelah mengatakan itu, dokter tersebut membicarakan sesuatu dengan Bu Mirna. Mungkin terkait urusan biaya dan administrasi rumah sakit, Shilla tidak terlalu paham dan tidak mendengarkan dengan jelas. Pandangannya hanya tertuju pada Galaksi. 

Sebagaimana yang dokter sampaikan, karena tidak ada masalah medis yang serius, Galaksi dipindahkan ke ruangan lain. Shilla tidak tahu apa itu, dia hanya mengikuti kemanapun Galaksi pergi kemudian duduk di kursi yang berada di samping tempat tidurnya. 

Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Shilla menoleh ke belakang. Dia pun berdiri dan menghampiri Bu Mirna. “Orang tuanya Galaksi udah bisa dihubungi, Bu?”

Bu Mirna hanya menggeleng. “Belum. Mungkin sibuk,” jawabnya. “Galaksi hanya punya ibunya. Tapi, selama dua tahun saya menjadi wali kelas Galaksi, ibunya tidak pernah muncul. Entah itu menghadiri rapat atau mengambilkan rapor Galaksi. Semoga kali ini ibunya mau datang.”

Shilla termenung mendengar penuturan Bu Mirna. Gadis itu kemudian beralih menatap Galaksi yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Entah mengapa, untuk pertama kalinya dia merasa sedih untuk Galaksi yang selama ini Shilla anggap sebagai saingan yang ingin sekali dia kalahkan.

***

Sekitar pukul empat sore, kesadaran Galaksi kembali. Tubuh dan kepalanya terasa berat. Setelah beberapa saat yang terasa seperti abad, penglihatannya yang buram mulai jelas kembali. Netranya berusaha menyesuaikan terangnya lampu di langit-langit kamar rumah sakit sedangkan telinganya mendengar bunyi mesin monitor dan suara seseorang yang memanggil namanya berulang kali.

“Galaksi? Galaksi lo udah sadar? Lo gapapa–eh, bodoh. Dia jelas kenapa-napa.”

Itu suara Shilla. 

Galaksi tidak ingat bagaimana dirinya tidak sadarkan diri. Tentu saja dia tidak tahu bagaimana caranya dia terbaring di kasur rumah sakit. Apakah gadis itu yang membawanya kemari?

“Bu, Galaksi udah sadar, Bu!” seru Shilla. “Galaksi, tadi lo dianter ke sini bareng gue dan Bu Mirna. Bentar gue panggilin dulu Bu Mirna.”

Gadis itu baru saja hendak pergi tetapi Galaksi menahan tangannya. “Diem. Jangan berisik,” ujar Galaksi dengan suara berat yang sedikit serak. Dia pun melepaskan tangan Shilla.

Shilla mengambil gelas dan mengisinya dengan air kemudian memberikannya pada Galaksi tanpa mengatakan apapun lagi. Galaksi juga menerimanya tanpa kata. Setelah menghabiskan segelas air, Galaksi pun mencabut jarum infus dari punggung tangannya.

“Galaksi!” seru Shilla yang syok melihat apa yang dilakukan Galaksi. “Jangan sembarangan gitu. Lo mau ke mana?” 

“Pulang.”

“Nggak boleh! Lo baru sadar,” tegas Shilla. Dia menghadang langkah Galaksi yang hendak keluar dari kamarnya.

“Kok lo ngatur?” tanya Galaksi.

“Kok lo batu?” tanya balik Shilla sambil melotot. “Lo tuh, tahu nggak sih gimana paniknya gue waktu nemuin lo pingsan dan berdarah-darah di perpus? Lo tahu nggak sih selama naik mobil ambulans gue takut banget lihat lo yang tiba-tiba pingsan? Terus tadi kata Bu Mirna dari pagi lo udah kelihatan nggak enak badan, kenapa lo nggak bilang aja ke gue? Tolak ajakan gue buat diskusi project itu. Kan bisa nanti. Gue juga nggak akan se-maksa itu kok.”

Galaksi menatap Shilla yang bicara dengan nada marah sekaligus khawatir. Galaksi tidak sempat merespon perkataan Shilla karena Bu Mirna masuk. Cowok itu pun segera berkata pada Bu Mirna bahwa dirinya sudah baik-baik saja dan tidak perlu dirawat. Dengan sedikit paksaan, akhirnya Bu Mirna pun mengizinkan Galaksi pulang dan menyampaikannya ke dokter. Mereka bertiga pun kembali ke sekolah atas permintaan Galaksi karena motornya tertinggal di sana.

Selama itu, Shilla tidak mengatakan apapun lagi pada Galaksi. Bahkan saat di dalam mobil yang dipesan Bu Mirna secara online, Shilla yang duduk bersisian dengan Galaksi hanya memandang ke arah jendela, enggan bicara lagi dengan Galaksi.

“Hati-hati ya pulangnya,” pesan Bu Mirna begitu mereka bertiga sudah sampai di sekolah. 

Shilla pun berjalan duluan setelah berpamitan dengan Bu Mirna, meninggalkan Galaksi yang dinasehati sejenak oleh wali kelasnya. Namun, selesai bicara dengan Bu Mirna, Galaksi langsung mengejar Shilla.

“Shil,” panggilnya. Melihat Shilla tidak berhenti berjalan, Galaksi pun akhirnya memilih untuk menyusul dan menghadang langkahnya. 

Berhasill! Kini Galaksi berdiri berhadapan dengan Shilla.

“Maaf,” ucapnya.

Shilla hanya bergeming menatap Galaksi yang 25 cm lebih tinggi darinya. Gadis itu menunduk, menatap pergelangan tangannya yang tadi disentuh oleh Galaksi yang menahannya. Ya, bahkan saat itu Shilla juga tetap tidak bisa melihat masa depan Galaksi. 

Shilla pun masih berasumsi bahwa penyebab dirinya tidak bisa melihat masa depan Galaksi karena cowok itu tidak punya masa depan. Namun, satu hal yang telah dipastikan. Galaksi tidak memiliki penyakit serius yang dapat merenggut nyawanya. Jadi, hal apa yang membuatnya tidak memiliki masa depan?

“Maaf buat apa?” tanya Shilla.

“Maaf hari ini gue udah bikin lo panik dan takut,” ujar Galaksi, menjelaskan singkat. “Dan … maaf. Gue nggak balas chat dari lo buat bilang kalau gue lagi nggak enak badan.”

Rekor! Itu kalimat terpanjang yang pernah Shilla dengar dari mulut Galaksi.

“Gimana? Lo maafin gue?” tanya Galaksi yang menatapnya dengan wajah cukup pucat.

Melihatnya yang seperti itu membuat Shilla kembali memikirkan hal lain. Jika bukan penyakit yang membuatnya tidak memiliki masa depan, lantas … apakah itu artinya ada kemungkinan kedua? Kejadian tak terduga seperti kecelakaan … mungkinkah itu yang menimpa Galaksi?

Ya. Bisa saja hal itu terjadi. Bagaimana kalau kejadiannya juga hari ini? Apalagi Galaksi akan mengendarai motornya dengan kondisi yang baru sadar dari pingsan. 

Tidak, hal seperti 10 tahun yang lalu tidak boleh terulang lagi.

“Shil?” panggil Galaksi.

Jika memang kemungkinan kedua yang menjadi penyebabnya, maka Shilla pun membuat keputusan. 

“Lo dengar gue?” 

Shilla menatap Galaksi dengan keyakinan penuh atas keputusannya.

“Gue maafin lo. Tapi ada syaratnya!” seru Shilla.

“Apa?”

“Hari ini, gue yang bawa motor lo,” ucap Shilla tanpa ragu.

Ya. Shilla telah memutuskan. Karena kemungkinan pertama sudah terbukti salah, maka sekarang tersisa kemungkinan yang kedua. Oleh karena itu, Shilla memutuskan. Apapun yang terjadi, mulai hari ini Shilla akan melindungi Galaksi.

Catat, melindunginya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top