[9] Human! Saburo x Elf! Reader
"Kenapa kau tidak punya telinga runcing?"
Sepasang mata heterochromia mengedip beberapa kali guna memastikan apakah yang ditangkap oleh indra penglihatan sudah benar apa belum. Saburo, sang empunya merasakan debar jantung yang berpacu cepat. Entah apa yang menghantui, dirinya terlalu susah memikirkan logika. Bagaimana bisa? Netra mendapati sosok seorang gadis terlihat seumuran mempunyai dua telinga runcing, iris berwarna hijau, pakaian seperti cosplay.
"Kenapa kau punya telinga runcing?" Bukannya menjawab, Saburo membalas tanya dengan pertanyaan yang berkebalikan. Dia sendiri berada di ambang bingung, mengapa ada spesies lain seperti [Name] di dunia ini. Meskipun Saburo berumur 14 tahun, pengetahuan umum tidaklah minim sampai tidak mengetahui bahwa kaum elf ada di bumi. Atau ... hal itu memang ada dan ... misteri?
"Karena aku kaum elf," jawab [Name], memiringkan kepala sedikit, membiarkan helaian rambut jatuh lembut ke arah samping. Kedua mata mengerjap dua kali, kemudian bertanya lagi, "Kenapa warna matamu bisa berbeda? Apakah kau pengguna sihir kuat?"
Jawaban [Name] sukses membuat sang lelaki membelalakkan kedua mata, mulut terbuka menunjukkan ekspresi tak percaya akan apa saja yang baru dia dengar. Lidah terlalu keluh hingga tak mampu mengeluarkan suara, Aku sedang bermimpi.
"Benar, haha, aku sedang bermimp---"
Belum selesai ucapan Saburo, layangan jitakan tertuju ke arah kepala membuatnya memekik sakit. Refleks tangan digunakan untuk mengusap kepala, menoleh ke arah sang gadis, melempar tatapan tajam. Emosi memuncak seketika turun ketika menyadari rasa sakit yang dialami. "Ini sakit ...," gumam Saburo.
"Kata Ibu, membuktikan mimpi atau tidak itu dengan menyakiti diri sendiri atau orang lain! Jadi ini bukan mimpi. Apakah kau kaum langka yang tidak berkuping runcing? Oh! Jangan-jangan kau orang utan dengan mata dua---maksudku warna?"
.
Hypnosis Mic (c) KINGS RECORD; Otomate; IDEA Factory
Plot (c) Swanrovstte_11
Request by Eina_Yuuki
.
.
.
Dua tahun semenjak kekalahan perebutan teritorial, anggota terkecil pada Buster Bros mengalami koma. Tidak ada tanda-tanda menunjukkan sang lelaki akan terbangun. Wajah dan bibir yang pucat pasi, berat badan menurun sehari demi sehari, seperti mayat yang masih memiliki detak jantung. Yamada Saburo, lelaki dengan umur 16 tahun tersebut tak kunjung sadar diri membuat kedua kakak menaruh penyesalan telah membawa adik terkecil untuk perebutan teritorial.
Ichiro, kakak tertua Saburo tersebut menaruh atensi pada sang adik yang tengah tidur pulas. Tatapan sayu dilempar, menyirati penyesalan serta kesedihan terdalam. Dia tahu, segala penyesalan tidak akan melemparnya kembali ke masa lalu dan melarang kedua adik mengikuti pertarungan itu.
"Maafkan aku, Saburo," gumam Ichiro, melepas senyuman masam, "seharusnya aku tetap melarang kalian."
Andai waktu dapat kembali, dia akan melarang. Andai dapat meramal masa depan, dia akan tetap melarang dan menyerah jauh lebih cepat. Andai semua dapat diaturkan sesuai rencana, maka dia akan menghapus segala kekejaman dunia dan membahagiakan kedua adiknya. Tetapi, pengandai-andaian tak akanlah nyapa. Mengingat manusia tetap mempunyai batasan.
Suara pendeteksi detak jantung kini mendominasi ruangan putih. Tak ada gunanya bagi Ichiro berkata apapun, mengulangi ucapan selama 730 hari. Helaan napas lolos dari bibir sang lelaki berkepala dua tersebut, bangkit berdiri hendak meninggalkan ruangan untuk melanjutkan pekerjaan yang ditinggalkan. "Kakak akan kembali lagi nanti. Cepatlah bangun ... Saburo," ucap sang kakak, melangkah kaki meninggalkan teritorial ruangan putih milik Yamada Saburo.
"Sabu, sabu! Sabu-sabu!" seru gadis bermahkota [Hair Colour], menyirati ejekan. Sudah menjadi kebiasaan sang gadis mencandai sang lelaki heterochromia itu. Sebuah hobi yang unik ketika bertemu dengan Saburo.
Saburo mengerang pelan, perempatan muncul di kening. Perasaan kesal menyelimuti setiap mendengar kebising [Name] tak henti di samping kuping. Memijit kening, sang lelaki kemudian mengapit kepala gadis itu, memberi tekanan pada tiap jari hingga membuat [Name] memekik sakit. "Kau berisik sekali, [Name]. Aku sedang memikirkan cara untuk kembali ke duniaku, tahu tidak, sih. Ichinii dan Baka-Jiro pasti sangat mengkhawatirkanku," ucap Saburo, tanpa sadar semakin menekan ujung jari membuat sang gadis semakin berteriak.
"S-sakit, Bodoh!"
"Oh, maaf." Dengan segera Saburo melepaskan tangan, akan tetapi sesuatu membuatnya berhenti sejenak. Apa yang telah merasukinya sampai dia mampu mengucapkan kata 'maaf' dengan mudah kepada [Name]? Sudah jelas bahwa sifat keras tak pernah membuatnya meminta maaf kepada orang, terkecuali kakak tertua.
[Name] mengusap kepalanya, kuping runcing bergerak pelan. Sekilas, raut wajah menunjukkan siratan masam. Tak ingin Saburo menyadari, sang gadis dengan segera kembali melepas senyuman lembut. "Saburo, apa kita akan terus berteman saat kau akan kembali ke dunia manusia?" tanyanya.
Yang ditanya sukses mengernyit, "Itu sudah pasti, kan?" Saburo mengalihkan pandangan, menaruh atensi pada taman bunga yang bermekaran. Indah seperti biasanya. Pasti, dia akan rindu dengan tempat ini ketika dia kembali ke dunianya sendiri. Lain dari taman bunga, setiap seluk beluk yang dikunjungi, pasti akan menjadi kenangan termanis. Apalagi saat menghabiskan waktu dengan gadis itu, [Full Name].
"Apa aku boleh memelukmu untuk terakhir kalinya?"
"Apa maksudmu---" Belum selesai sang lelaki berucap, dia merasakan sepasang tangan memeluk tubuhnya. Hangat dia rasakan, enggan untuk protes pada sang gadis, Saburo juga membalas pelukan tersebut dengan lembut. Seolah-olah pelukan ini akan menjadi yang terakhir, akan tetapi Saburo tidak mengerti, kenapa dia merasa tidak rela meninggalkan gadis ini?
"Sejak dulu, Saburo tidak pernah melihat ke arahku. Selalu sendiri, tidak punya teman, kadang aku selalu berpikir kita sama. Tetapi yang kusadari, kita berbeda, kau punya keluarga. Ingin aku menjadi temanmu ...," gumam [Name] lembut, jemari bergerak mengusap kepala Saburo. "Bangunlah ... Saburo."
"Saburo!" Seruan menyapa gendang telinga Saburo secara kencang, terdengar siratan panik yang jelas. Suara gadis menyapa itu tampak diselipkan sedikit suara isakan. Permukaan kulit bergesek di tangan terasa amat jelas pada indra peraba sang lelaki.
Kedua kelopak mata terasa berat seperti sudah lama tak menggunakan bagian tersebut. Jemari kembali bergerak sesuai dengan kemauan, mencoba kembali menggunakan tiap-tiap bagian tubuh secara totalitas. Lantas saat mata terbuka perlahan, dia dapati wajah seorang gadis yang tidak lagi asing dengannya. Tangan dia arahkan ke belakang gadis itu, [Name], kemudian memberi tekanan hingga gadis itu jatuh ke atas dada bidangnya. Raut wajah sedih dengan tangisan didapati oleh Saburo saat awal terbangun membuat lelaki itu cukup murka tanpa alasan yang jelas.
"Kenapa kau menangis, [Name]?" Pertayaan itu sukses keluar dari bibir Saburo. Rasanya dia baru bangun dari mimpi panjang. Tubuh terasa kaku, menemukan [Name] ketika membuka mata terasa jauh lebih meringankan diri.
"... Sa--Yamada-san mengenalku?"
Sang lelaki melepas jeda, membuka matanya perlahan menaruh atensi pada langit-langit putih. Senyuman samar terulas, "[Full Name], temanku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top