●MAD TRIGGER CREW◇Ketika Mereka Pulang Bekerja

Hypmic Shortlisted Part
©King Record, Otomate, Idea Factory

.

.

.

.

一. Aohitsugi Samatoki

"Aku kesal sekali padamu."

Kau menekan kapas beralkohol sedikit lebih kencang. Samatoki mengaduh geram. Tangan yang lebih besar darimu itu berusaha menangkap tangan yang hendak mengobati luka pada wajah tegasnya dengan sedikit ringisan. Sesekali wajahnya menghindar.

"Sakit, Onna (女). Berperasaanlah sedikit," protes Samatoki yang masih berusaha menahan tanganmu yang hendak nekat menyentuh luka gores dalam di wajahnya.

"Makanya, kalau pulang itu bawa oleh-oleh. Bukan bawa luka!" Kau mencibir. Pria di hadapanmu hanya mendengus, membuat kau menghela nafas jengah. Tangan yang terangkat memegang kapas basah turun melemas dengan tangan Samatoki yang masih setia menggenggam erat tanganmu. "Baiklah, aku akan mengobatimu dengan pelan. Kali ini serius. Kau ... selalu membuatku khawatir." Kalimat terakhir terucap begitu pelan, namun sayang sang lawan bicara masih dapat mendengarnya. Dirimu hanya menunduk, merasakan suasana hati yang nampaknya tidak begitu baik.

Mata sewarna merah delima pria itu menatapmu lekat dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Kau terkejut―membolakan matamu ketika tangan Samatoki menepuk kepala bersurai [HairColour]. Seolah menyuarakan bahwa semua bukanlah masalah yang perlu dicemaskan.

"Aku baik-baik saja. Jangan merasa khawatir padaku. Ini biasa," Samatoki bersuara. Mau tidak mau kau menatap matanya secara langsung. Suasana hatimu menjadi sedikit lebih tenang ketika menatap pancaran kesungguhan dari pria berhelai putih itu.

Helaan nafas kembali kau lakukan demi melegakan rasa gundah. "Kau selalu saja begitu. Mungkin kau merasa ini biasa saja. Tapi, aku ini istrimu. Aku tidak mungkin santai saja ketika melihat suamiku pulang penuh luka. Apalagi, kalau tiba-tiba kau pulang tinggal nama." Raut wajahmu menekuk kesal, namun tidak se-khawatir tadi. "Cobalah untuk tidak main pukul dan kontrol emosimu itu."

Samatoki menyandar lelah pada sofa, kemudian menghela nafasnya. Tangan meraba saku celana guna mencari kotak rokok. Begitu ia menemukan benda itu, kemudian dibukanya. Sisa berapa batang rokok hari ini?

Emosi terasa naik di ujung. Kau meradang, "Aohitsugi Samatoki-sama! Sudah kukatakan berapa kali agar kau tidak merokok di dalam ruangan." Kau kembali dibuat kesal karena tingkahnya. Ekspresi wajahmu berkerut geram seakan ingin mencubitnya habis-habisan saat itu juga. "Aku tidak mau [Son's/Daughter'sName] menghirup asap pemicu kanker itu. Jauhkan benda laknat itu dariku dan anakku!" serumu emosi.

"Oii, aku hanya menghitung berapa sisa rokokku." Samatoki melempar kotak rokok ke atas meja. "Lagipula, anakmu? [Son's/Daughter'sName] itu anakku, Kuso Onna (クソ女)."

"Anak kita!" tegasmu pada akhirnya.

"Nah, itu baru benar," sahut Samatoki cuek.

Kau mengacak rambutmu frustasi. Berpikir dalam diam, bagaimana awalnya kau dan Samatoki bisa bersama menjalin rumah tangga. Padahal, ia kerjaannya hanya membuat perasaanmu gundah dan kesal, juga emosi bukan main. Tiba-tiba kau berkeinginan mempunyai suami yang kalem dan orang yang sikapnya damai-damai saja.

Ekhem―senggol salah satu mantan anggota Tentara Angkatan Laut, rekan satu tim Samatoki.

Tidak, tidak. Itu hanya bercanda. Aohitsugi Samatoki tetap menempati posisi terdalam di relung hatimu. Pria yang disegani masyarakat Yokohama ini faktanya tidak seburuk yang dibayangkan. Dipandang dari sisi lain, sesungguhnya ia adalah sosok yang penyayang―terlebih pada adik perempuannya, sosok yang terlihat berambisi dengan segudang kebaikan hatinya yang tersimpan rapat, ia gigih dan bertanggung jawab. Meski masih banyak lagi yang dapat menjadi daya tariknya, kau memilih menyimpan kekaguman itu sendiri. Semua orang memiliki alasan masing-masing ketika ia menyukai seorang Samatoki.

"Jangan melamun." Samatoki membuka suara beratnya, menyadarkanmu yang sedang berpikir dalam dunia milik sendiri.

Kau tiba-tiba teringat kapas beralkohol di tangan yang mulai mengering. Dengan sigap, kembali menuangkan cairan sejuk itu. Tatapanmu melembut ke arah suamimu yang masih memasang wajah netralnya. "Mendekatlah ..." pintamu.

Tanpa ada bantahan lagi, ia memajukan wajahnya. Menyadari bahwa suasana sekarang begitu damai, Samatoki tidak ingin memecah keadaan dimana mereka tidak saling menyulut emosi satu sama lainnya. Meski saling diam, tidak ada rasa canggung di sana.

"Tahan kalau lukanya terasa sakit." Tangan terulur mendekat pada wajah tegasnya.

Mengangguk, meski ia menyangkal, "Aku tidak selemah itu, Onna (女)."

Mengabaikan perkataannya, tangan kirimu menyentuh rahangnya dan membuat Samatoki sedikit mendongak. Sedangkan tangan kanan mulai mengompres dengan handuk basah akan air hangat ke arah lebam akibat penggumpalan darah dari rusaknya pembuluh kecil. Kau meringis ngilu membayangkannya. Sekarang tangan kirimu beralih mengambil kapas beralkohol dan mulai membersihkan beberapa luka goresan maupun sayat, sesegera mungkin sebelum terjadi infeksi.

"[Name]."

Wajahmu hanya mengerut, terlalu fokus pada lukanya.

"[Name]." Samatoki kembali berucap, sambil mencekal kedua tanganmu. Ketika kamu hanya memasang ekspresi bingung tanpa bersuara, mata tajam sewarna merah delima itu menatap lekat padamu.

"Samatoki?" cicitmu kebingungan dengan intonasi rendah.

Jantungmu tanpa sadar berdetak semakin cepat ketika Samatoki mendekatkan wajahnya perlahan tepat di hadapanmu. Ia mengunci pergerakanmu dan membuat tubuhmu berbaring terlentang di sofa dengan ia berada di atasnya. Merasa panas-dingin. Hangat merambati wajah. Rasa itu semakin menjadi, ketika hembusan nafas kalian saling menyapa. Nafasmu memberat. Mata merah masih menatap lekat, tidak membiarkan pandangan netra [EyeColour] beralih selain kepada dirinya.

Ia berbisik parau,

"Jangan pernah pergi berpaling dariku sedikit pun, [Name]. Karena ore-sama (俺様) selalu membutuhkan wanita sepertimu."

▅▅▅▅▅


二. Iruma Jyuto

"Membuat apa, Darling?"

Di dapur, Jyuto tiba-tiba muncul di sisi. Mengalihkan fokusmu dari air panas yang belum memasuki tahap mendidih ke arah wajah tampan berbingkai lensa kacamata. Tersenyum singkat padanya, kemudian menuang serbuk kopi hitam ke dalam gelas. Kembali menutup wadah berisi bubuk hitam itu dan menyimpannya lagi di rak dapur.

Sejenak kau memilih mengabaikan kegiatanmu, dan menghadap sepenuhnya ke arah pria berjas hitam itu. "Okaeri (おかえり), Jyuto." Helaian rambut di sisi telingamu diselipkan olehnya. Kau balas menggenggam tangannya. "Hanya membuat kopi. Berniat terjaga sampai kau pulang. Hmm ... meski kau sekarang sudah ada di sini." Kau mengangkat bahu sekejap. "Duduklah dulu," ucapmu sambil menepuk punggungnya pelan, mengarahkan ia ke kursi dekat meja makan.

Iruma Jyuto membuka jas formal berbahan savana, menggantung asal di sandaran kursi sebelum terduduk di sana. Samar tercium aroma maskulin dengan perpaduan tembakau yang menguar pekat. Derit kayu ditarik menghasilkan bunyi. Bersandar lelah. Bingkai kacamata dilepas. Sarung tangan ditarik dan menaruh asal di atas meja.

Ketika aroma kopi menyerbak selepas dituang air panas, kau mengaduknya pelan. Membawa cangkir ke atas meja dan memilih duduk di kursi serong pria itu. Ketika kamu baru saja hendak menikmati segelas kafein, Jyuto menahan tanganmu.

"Kau tidak akan dapat tidur kalau kau meminumnya," sergahnya menggema di dapur beraroma kopi sampai ke langit-langitnya.

"Tidak apa. Aku juga berniat menuntaskan hutang naskahku malam ini." Langsung saja kau minum perlahan kafein tersebut. Hangat mendekati panas memenuhi rongga mulut, membuatmu menghembus nafas. "Oh iya, kau mau sesuatu? Dapur kita sedang lengkap. Teh, kopi, jus, susu, soda, bir?" tawarmu sambil mengabsen stok dapur.

Tawa singkat meluncur dari pita suara Jyuto, mengalun husky. Kepalanya bertopang pada sebelah tangan. Ia menarik sudut bibir ketika menghadapmu. "Berikan kopimu," ujarnya.

Kau menghela nafas. "Padahal aku bisa membuatkanmu yang baru." Meski begitu, cangkir kopi tetap digeser ke arahnya.

Jyuto langsung meneguknya tanpa ragu. Matamu beralih memandangnya lekat. Dalam diam memerhatikan raut kelelahan atas kerjanya seharian sebagai seorang Perwira Tinggi Kepolisisan. Kadang sesekali ia meminta cuti, sekedar menghabiskan waktu seharian di rumah hanya untuk berdua denganmu. Sebelum itu, kalian saling mengosongkan jadwal agar benar-benar mendapatkan quality time yang sempurna. Sungguh sibuk, kau menyayangkan hal itu.

"Seperti biasa, ya. Kopimu selalu manis." Jyuto meletakkan cangkir.

Kamu bertopang dagu, nampak berpikir. "Rasanya aku tidak memasukkan gula―"

"Bibirmu."

"Apa?"

Jyuto tertawa singkat. Ia menyeringai.

"Bibirmu manis sekali, Darling. Mau lakukan satu ciuman panas untuk malam ini?"

▅▅▅▅▅

三. Busujima Mason Rio

Tangan gemetar ketika mengakhiri panggilan melalui ponsel. Air mata yang sepenuhnya berusaha kau tahan mati-matian saat berkomunikasi tadi tumpah membanjiri wajah. Bersandar pada sofa ruang tamu. Meraung. Membiarkan emosi melimpah tercurah. Lemas bercampur gemetar. Sungguh merasa tidak sanggup berdiri menopang tubuh. 

Benar-benar membutuhkan waktu untukmu menenangkan diri. Tangan menyentuh dada yang diliputi sesak. Beberapa kali menghirup banyak udara dan menghembusnya perlahan, guna menenangkan diri. Bantal sofa kau ambil, menjadi sasaran peluk erat. Menghapus jejak air mata haru.

"Akhirnya ..." ucapmu masih sibuk dengan mengelap bulir bening di mata.

Seorang batita berjalan ragu, sedikit tertatih menjaga keseimbangan. Kedua tangan mungil bertumpu pada benda sekitar, setidaknya berusaha menggapai yang ia tuju. Melangkah menggemaskan ke arah sang Ibunda. Ketika ia berhasil berjalan hingga ke sofa dimana wanita itu terduduk, mata biru bulat menangkap sosok tersayang yang belum menyadari kehadirannya, sebab wajah tenggelam dalam bantal sofa.

Suara lucu menyapa, "Ma-Mama ... kenapa?" Sekarang ia bertumpu pegangan pada lutut sang Mama. Mendongak sedikit, penasaran dengan raut wajah seorang wanita yang telah melahirkannya.

Kau terkejut begitu menyadari kehadiran si buah hati. "Ah, Sayang." Buru-buru menyingkirkan bantal dalam genggaman. Beralih mengangkat, kemudian memangku batita bersurai jingga tua dengan lensa mata berwarna biru yang indah. Sungguh seperti salinan dari suami tentaramu.

Berdehem sekali, berusaha menghilangkan serak selepas menangis. Kembali menghembus nafas. "Kau tahu, Sayang? Papamu, Busujima Mason Rio, akan bertemu denganmu untuk yang pertama kalinya setelah selama ini mengemban tugas negara selama 4 tahun tanpa pulang," ucapmu disertai senyuman lembut.

Sayang sekali, respon kebingungan menyertai wajah polosnya. Belum paham benar dengan kata-kata yang kau ucapkan. "Papa?" tanyanya tidak mengerti.

Tawa getir ingin meluncur dari mulutmu, menyadari bahwa seorang Busujima Mason [Son's/DaughterName] sama sekali belum mengenal sosok 'papa', bahkan sedari kandungan. Kali ini, dalam hati kau ingin menanamkan ego. Bisakah suamimu berhenti mengemban tugas bela negara? Kau sudah lelah.

Tapi, hari ini, kau tidak bisa berkata apapun lagi ketika ia datang dari kejauhan dengan tegapnya berjalan ke arahmu. Postur tubuh tinggi memukau, dibalut seragam tentara dengan lambang bendera Jepang terselip di lengan kirinya. Senyum teduh membuat matamu tidak bisa lepas menatap kehadirannya. Ketika jarak yang sungguh jauh kian lama semakin terkikis oleh langkahnya, sementara kau hanya mampu terdiam di tempat lapang ini, membuatmu merasakan ledakan emosi kerinduan bercampur haru berulang kali. Buah hati dalam gendongan semakin kebingungan saat kamu mengeratkan dekapannya tanpa sadar. Air mata tumpah ruah tanpa memedulikan rasa malu.

Lihat, tidak hanya dirimu. Bahkan, orang-orang asing yang sengaja berada di tanah lapang untuk menanti kepulangan orang terkasih turut menumpahkan emosi mereka. Begitu bahagia. Sang pejuang yang telah menuntaskan tugasnya kembali menampakkan diri setelah sekian lama. Jujur dalam hati, mengutuk tugas yang diemban perwira karena berani memisahkan jarak bukan main dalam kurun waktu yang tidak singkat. Kamu adalah salah satunya.

"Papa...?" [Son's/Daughter'sName] menunjuk asal orang di sekitarnya. Sampai ketika tangannya berhenti pada pria half-American yang berjarak sekitar tiga meter di hadapanmu. Mata bulatnya kebingungan sendiri menatap sosoknya.

Kau hampir tidak percaya dengan penglihatanmu. Rio tersenyum teduh. Ia kini benar-benar di depanmu! Jarak ribuan kilometer yang menyebalkan itu lenyap. Sekarang, menampilkan sosoknya yang tidak banyak berubah.

"R-Rio ..." Ketika berusaha melangkah, kakimu tersendat kendati masih belum percaya dengan kenyataan.

Alih-alih menghampirimu, Rio malah menegapkan badan. Gestur tegas dan tangan yang hormat diberikannya. Mata biru langitnya sebagai perwira menatapmu dalam, penuh kesungguhan.

"Hormat. Diperuntukkan kepada wanita gigih di hadapan Perwira. Terimakasih atas kesungguhan dalam mengemban tugas berat tak kasat mata, Busujima Mason [Name]."

▅▅▅▅▅

Note: Sebenarnya chapter ini banyak banget yang bikin saya merasa ragu. Jadi kalau misalnya ada sesuatu yang salah, jangan sungkan untuk bilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top