48. Kenapa pergi lagi , Yah?

Original Song : Ayah (Rinto Harahap)
Cover by Fani Ellen on YouTube

Ayah dengarkanlah , aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam ... Mimpi

🌷🌷🌷🌷🌷

Hari ini , hari pertama Mario dirumah. Lebih tepatnya , hari ini Mario baru pulang dari rumah sakit. Ia tidak betah hanya berada di ranjang saja dan melihat pemandangan membosankan di rumah sakit.
Mario hanya bertahan empat hari di rumah sakit.

Baru juga kami mengistirahatkan diri kami di taman belakang , ayahku datang seorang diri.

"Bagaimana bahumu nak Rio?" Tanya Ayah saat menghampiri kami di taman.

"Sudah membaik Yah. Silakan duduk Yah." Mario.

"Aku ke depan dulu ya." Aku pamit pada Mario tanpa menoleh ke Ayah.

Aku bergegas ke dapur menghampiri Bu Jum yang sedang membuatkan kopi untuk Ayah. Dan aku mengambil buah di kulkas dan membawanya ke depan. Aku duduk di teras depan , melihat ke taman depan dan menikmati buah anggur seraya mendengarkan gemericik air dari kolam ikan. Sangat menenangkan.

Tanpa kuduga sudah sekitar empat puluh menitan aku berada disini. Aku tidak tertarik mendengar pembicaraan Ayah dan Mario. Aku yakin mereka membahas soal Melda.

"Kamu sendiri bagaimana Mika?" Tiba-tiba suara Ayah sudah berada tepat disampingku tanpa kusadari.

Aku menoleh sebentar dan melihat , beliau mendudukkan dirinya di kursi sebelahku.

"Mika sehat." Jawabanku dan langsung menatap ke arah kolam lagi.

"Maafkan Ayah perihal Melda. Ayah tidak tahu dia begitu terobsesi dengan Mario." Ayah memulai pembicaraan.

"Dan juga sangat membenci Mika." Aku tidak melakukan kontak mata dengan Ayah.

"Maafkan Ayah , Melda dan mama Linda. Ayah tahu , mereka sudah menyakiti kamu. Tapi Ayah lah yang patut di salahkan. Ayah orang utama yang paling menyakiti kalian."

Hatiku serasa patah.
Air mata kutahan agar tidak jatuh. Aku benci Ayah. Tapi aku juga sangat menyayanginya dan __ merindukannya.
Tak bisa ku elak perasaan itu.
Aku sakit hati dengan yang telah ia lakukan pada kami , aku dan ibuku.
Meninggalkan kami dengan mudahnya dan lebih bersama janda beranak satu itu , Linda.
Lebih memilih napsunya daripada memilih kami.
Dari pernikahan Ayah dan Linda , mereka tidak memiliki seorang anak. Entah. Memang sengaja tidak ingin memiliki anak atau memang mereka tidak bisa memiliki keturunan.

"Ya , Ayah tahu kan , Mika benci Melda dan Linda? Rasanya susah memaafkan mereka. Mereka mengambil Ayah dari kami dan Ayah lebih memilih mereka dan mengurus anak orang lain ketimbang mengurus Mika." Aku berusaha tenang mengeluarkan isi hatiku.

"Maaf" Ayah.

"Mika benci Ayah! Sangat benci! Tapi Mika juga kadang rindu Ayah. Mika benci perasaan ini. Mika benci Ayah Tapi ternyata Mika masih menyayangi Ayah." Aku sudah tidak bisa menahan laju air mataku , hatiku sesak , tenggorokanku sakit mengeluarkan kalimat itu.

"Maaf Mika." Ayah berdiri dan bersimpuh didepanku.

Ia genggam tanganku.

"Maaf , Ayah salah telah memilih jalan yang salah dan Ayah sungguh menyesal meninggalkan Mika dan Ibu. Ayah tahu , apa yang sudah ayah lakukan tidak termaafkan. Tapi Ayah cuma ingin satu , melihat Mika bahagia. Ayah harap , Mario lebih baik dari Ayah. Dan dia bisa memberikan kebahagiaan itu untuk Mika."

"Ayah selalu menyayangi Mika , hanya saja selama ini malu untuk menghadapi Mika. Ayah tidak bisa memutar waktu lagi , ampuni Ayah ya?" Lanjutnya dengan menatap manik ku dalam dan penuh penyesalan. Matanya sudah berkaca-kaca. Wajahnya sudah menua , baru kali ini aku bertatapan langsung melihat Ayahku.
Rambutnya pun sudah memutih walau tidak sepenuhnya.

Aku lepas genggamannya. Kusapukan tanganku di wajahnya. Aku masih menangis.
Aku akhirnya memeluknya masih dengan posisi ia bersimpuh. Tubuhnya ternyata kurus sekali.
Sungguh tak tahan aku menyimpan perasaan benci pada ayahku bertahun-tahun ini. Rasa kecewa , benci dan rindu , semua melebur jadi satu.
Berdosa kah aku?

"Maafkan Mika Yah. Selama hidup Mika , hanya bisa membenci Ayah. Sesak dada Mika rasanya. Maaf Yah." Aku memeluknya dan beliau pun semakin mengeratkan pelukannya. Aku menangis kencang , kukeluarkan semua ganjalan dihatiku. Ayah juga menangis , tubuhnya bergetar. Bisa kurasakan itu.

*

*

*

Semenjak aku dan Ayah sudah berdamai , Ayah rajin mengunjungiku. Ini sudah seminggu ia selalu kesini. Kami hanya mengobrol , makan bersama. Anggap saja ini mengembalikan masa-masa kehilanganku saat aku masih kecil . Walaupun kenyataannya , waktu tidak bisa diputar ulang. Tapi aku cukup bahagia dengan keterlambatan ini.

Masalah Melda , sudah diurus oleh Pak Dani dan dapat di pastikan Melda benar-benar mendapat hukuman setimpal. Ia akan menjadi seorang tahanan dan mendekam di penjara. Ayah tidak pernah membahas masalah Melda.

Dan ini hari kedelapan , Ayah tidak datang. Mungkin sibuk mengurusi tanah-tanahnya. Ayahku banyak memiliki tanah dan kontrakan. Ia hidup dari sana.

"Ayah kenapa tidak datang lagi ya? Apa dia sibuk?" Aku bertanya dan menjawab sendiri.

"Kamu coba telepon saja." Mario memberikan solusi.

"Aku tidak punya nomornya." Jawabku.

Mario menggelengkan kepalanya.

Aku melanjutkan membuka baju Mario , aku akan mengganti perban dibahu Mario.
Setelah selesai mengganti perban , aku ingin memakaikan baju Mario kembali , namun ia menolaknya.

"Sini" ia menepuk sisi ranjang disebelahnya , menyuruhku untuk mendekat padanya.
Aku menurutinya.
Aku duduk disebelah kirinya dan bersandar di bahu kirinya yang tidak luka. Ia mengelus rambutku dengan lembut.

"Aku senang kamu berdamai dengan Ayah. Dia sangat menyesal selama ini." Mario mulai bicara.

"Ya , aku juga merasa tidak ada beban dihatiku." Aku berkata pelan dan tenang.

Mario mengusap rambutku lembut , penuh kasih sayang.
Aku anggap ini adalah hadiah dari Tuhan. Mario pengganti Ayahku. Aku menerima kasih sayang dari pria dewasa ini banyak sekali.
Tidak apa terlambat , daripada tidak sama sekali.

*

*

*

Ini sudah tiga hari Ayah tidak datang menemuiku. Mario mengajakku ke rumah Ayah untuk melihat keadaannya. Ia resah melihat ku yang selalu bertanya , 'Ayah kenapa tidak datang lagi?'
Kami sudah bersiap di mobil , Mario mengendarai mobil keluar pagar.
Sesampainya di pagar , ada mobil sedan hitam berhenti tepat didepan mobil kami. Orang tersebut turun dari mobilnya.
Aku sepertinya mengenali pria paruh baya tersebut.

"Om Hasan?" Tanyaku memastikan , setelah aku keluar dari mobil dan Mario mengikuti ku.

"Halo Mika. Apa kabar?" Tanyanya dengan senyum ramah kebapak-annya.

"Baik Om. Ada apa tumben kesini?" Tanyaku.

Om Hasan bersalaman dengan Mario setelah Mario mendekat.

"Begini , kamu ke rumah Ayah ya sekarang? Penting soalnya."

"Oh , iya Om. Ini memang kami akan kesana , karena sudah tiga hari Ayah tidak datang." Jelasku.

Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Ayah. Mobil Om Hasan mengikuti kami dari belakang. Setibanya di halaman rumah Ayah , suasananya ramai sekali. Dengan mereka memakai baju dominan berwarna hitam. Walau ada beberapa yang dengan warna berbeda juga.
Aku dan Mario turun dari Mobil. Om Hasan menghampiri kami.

"Ayo masuk." Om Hasan.

"Ada apa ini Om? Kok ramai?" Tanyaku.

Om Hasan tidak menjawabku. Kami berjalan dan memasuki ruangan depan. Terdengar suara Idak tangis yang kencang diselingi teriakan dari seorang wanita yang sangat kubenci.

Kulihat wanita tersebut sedang memeluk sesosok jenazah.

Jenazah?

Mario menggenggam tanganku tanpa kusadari. Aku mendekat ke tubuh yang sudah terselimuti kain kafan itu.

Itu wajah Ayah. Dia bahkan tersenyum.

Aku diam. Dan duduk disebelahnya bersebrangan dengan wanita itu. Aku sudah tidak ingat lagi untuk menyapa si wanita itu.

"Ayah? Ayah kenapa pergi?" Tanyaku tanpa air mata.

"Mika menunggu ayah selama tiga hari. Mika pikir Ayah sibuk. Kenapa tersenyum Yah? Apa sebahagia itu Ayah ingin pergi .... lagi dari Mika?" Air mataku jatuh , dadaku sesak mengingat ia akan pergi. Lagi!

"Baru seminggu Yah , Mika makan bersama Ayah. Mika mau lebih lama lagi." Aku sudah tidak tahan lagi.
Aku tumpahkan semua rasa didada ku. Sesak.
Aku menangis kencang sekali. Aku mencium pipinya untuk pertama dan terakhir kalinya dalam hidupku.

*
*
*

Pemakaman Ayah sudah selesai. Ibuku tadi datang sebelum pemakaman. Kami sempat mengantarkan Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Kami masih dirumah Ayah.
Om Hasan ingin memberitahu kami sesuatu.
Kami berkumpul diruang tamu. Masih dengan wajah sembab kami , karena menangis.

"Saya disini ingin menyampaikan amanat dari Almarhum." Om Hasan memulai pembicaraan dengan mengeluarkan beberapa lembar kertas.

Om Hasan ini seorang pengacara , ia sahabat Ayah juga.

"Linda , kamu sudah tahu ya , semua tanah di Bekasi dan kontrakan disana , lalu rumah ini yang sekarang kamu tempati beserta isi dan mobilnya , semua sudah menjadi hak kamu dan Melda." Om Hasan berbicara pada wanita itu , Linda , istri Ayahku.

"Lalu , sapi-sapi yang ada di Depok beserta tanah lainnya itu akan dikemanakan?" Tanya Linda.

"Kontrakan yang di Depok ada tiga tanah dengan total kamar ada lima belas , lalu tanah untuk tempat perawatan sapi-sapi dan satu tanah kosong seluas satu hektare , itu semua diserahkan untuk Mikayla Azzalea." Jelas Om Hasan.

Linda terkejut mendengar itu , terlihat dari ekspresi matanya.

"Ini sah secara hukum. Ini wasiatnya , silakan kalian baca." Om Hasan menyerahkan kertas itu kepada Linda lalu Aku.

Aku tidak berniat membacanya. Mario yang membacanya.
Ibu hanya diam saja tanpa ekspresi.

Setelah perbincangan lainnya , kami pamit pulang pada Om Hasan. Aku tidak menyapa sama sekali ke wanita itu.

Sebelum kami masuk mobil , Om Hasan menghampiriku kembali.

"Mika , kata Almarhum , tolong kamu lanjutkan sedekah tiap hari Jumat itu. Beliau selalu menyumbang makanan untuk anak yatim atau orang tak mampu. Beliau yang selalu memesan makanan kalian tiap hari Jumat." Jelas Om Hasan.

Aku dan Ibu kaget mendengarnya. Kulihat Ibu menangis juga akhirnya. Sedari kedatangannya , Ibu sama sekali tidak menangis. Aku tidak mau berasumsi apapun. Hatinya yang tahu hanya ia dan Tuhan.

Ternyata selama ini yang memesan makanan di kedai Ibu adalah Ayah sendiri. Aku selalu berdoa untuk orang tersebut agar selalu dilimpahkan berkat oleh Tuhan. Ternyata yang selalu ku doakan adalah Ayahku sendiri.

Dan , sudah dua tahun ini Ayah terkena kanker paru-paru. Namun Ayah menolak melakukan kemoterapi. Ternyata , tiga hari ia tak datang berkunjung , adalah disaat kondisinya sudah sangat menurun..
Itulah fakta-fakta yang baru kuketahui melalui Om Hasan.

Akhirnya kami pulang , Ibu pulang dengan supirnya. Aku dan Mario.
Selama di perjalanan , kami tak saling bicara. Mario selalu menggenggam tanganku saat sedang menyetir.

💙💙💙💙💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top