47. Obsesi
"Jangan ucapkan kata cerai. Aku enggak bisa hidup tanpamu Mika. Aku ... benar-benar mencintaimu. Aku sanggup kehilangan semuanya , tapi jangan dirimu. Jangan," ucap Mario dengan lirih. Bisa kudengar degup jantungnya berdetak kencang. Ia menangis.
Bisa kudengar walau pelan. Tubuhnya bergetar.
"I'm sorry. Semua perlakuanku di malam itu, lalu atas hilangnya anak kita. Aku minta maaf. Aku sungguh menyesal. Kamu bisa hukum aku , apapun itu. Tapi tidak dengan perpisahan."
"Let's fix this. Together."
"___"
"___"
"I can't lose you." Lanjutnya.
*
*
*
Satu bulan kemudian....
Hari ini aku mulai kembali ke rumah kami. Setelah kedatangan pertamaku sebulan yang lalu kesini , kami memutuskan tetap bersama untuk mempertahankan rumah tangga kami.
Toh , umur pernikahan kami masih sangat muda. Belum genap setahun kami menikah. Jadi rasanya tidak sangat bijaksana untuk memilih perpisahan.
Kami masih dalam tahap pembelajaran dalam mengatasi segala kerikil rumah tangga kami.
Beruntungnya aku memiliki suami dengan pola pikir yang dewasa. Walau terkadang , ia bisa saja bertindak kasar padaku. Tapi , kebaikannya melebihi sikap kasarnya. Jadi , kalau di kalkulasikan , tentu saja kebaikannya lebih banyak jumlahnya dibanding dengan sikap tidak baiknya.
Mengenai kebersamaan Mario dan Melda yang kuketahui , itu semua sudah diselesaikan oleh Mario dan Melda. Mereka bertemu direstoran dan aku ikut bersama Mario. Tapi aku tidak menampakkan diriku didepan Melda.
Maaf saja , itu tak akan terjadi.
Ya , aku membencinya. Ia dan ibunya. Dua orang yang sangat ku benci. Yang tak kuharapkan ada dalam lingkaran kehidupanku.
Aku hanya menunggu di mobil Mario , mengawasi mereka dari luar restoran.
Flashback
"Melda , aku mengajak bertemu hanya ingin menyampaikan , bahwa aku sudah tidak bisa menemani waktumu. Aku punya seorang istri yang sangat ku sayangi. Jadi kuharap kamu bisa menerima itu." Jelas Mario.
"Tidak Mario! Kumohon jangan tinggalin aku. Aku mencintaimu. Kamu tahu kan?" Melda frustrasi.
"Melda! Apa kamu sadar apa yang kamu ucapkan?!"
"Tentu Mario. Aku sangat sadar. Aku akan menunggu kamu menceraikan si Mikayla!" Mata Melda menyiratkan kebencian.
"Gila kamu ya?! Dia itu saudaramu , walau tidak sedarah dengan ayahnya , kau tetap masih saudaranya."
"Mario , kamu enggak kasihan sama aku? Aku lagi sakit , aku butuh kamu untuk mengisi hari-hari ku."
"Kuharap kamu menemukan lelaki yang mencintaimu dengan tulus. Kamu cantik Melda , kamu bisa mendapatkan lelaki yang baik." Mario menenangkannya.
"Kuharap ini pertemuan terakhir kita. Buka hatimu untuk menerima cinta yang lain. Kuharap kamu segera menemukan kebahagiaanmu. Jaga dirimu." Mario beranjak dari kursinya dan segera menuju pintu keluar restoran.
Melda masih diam , ia masih menatap punggung Mario sampai menghilang. Matanya menyiratkan kekecewaan dan kesedihan yang teramat. Namun dihatinya semakin bertambah rasa bencinya terhadap seseorang.
Aku bisa mengetahui percakapan keduanya melalui ponsel Mario yang sengaja sudah tersambung denganku.
Dari situ aku tahu semuanya.
Dan mengenai , Mario yang pernah ku pergoki sedang di bioskop bersama Melda. Ternyata itu adalah akal-akalan Melda agar bisa selalu bersama Mario. Ia beralasan terkena penyakit kanker rahim dan sudah stadium tiga. Ia mengharapkan , dalam sisa umurnya bisa bersama Mario.
Ya ampun , sungguh ironi sekali.
☘️☘️☘️☘️☘️
Aku sedang berdiri didekat jendela , memandangi peristirahatan putriku dari balik kaca ini. Tanganku dilipat berada diatas perutku. Aku menghela napas. Tidak dapat dipungkiri rasa kehilanganku masih membekas. Namun perlahan juga aku mulai menerima keadaan yang aku alami.
Aku berusaha menerima takdir ini. Ku yakin , ceritaku nanti akan lebih indah dari hari ini. Ku yakin pula , Tuhan tidak sekejam itu untuk membuatku bersedih atas kehilangan ini. Pasti ada suatu rencana hebat dibalik ini semua.
Iya , aku yakin sekali.
"Aku kangen Love. Sangat." Tiba-tiba sebuah tangan melingkar diperutku dari belakang. Dagunya menempel di pundakku. Suaranya yang berat , yang selalu kurindukan.
Tubuhku dibalikkan hingga menghadap kearahnya.
Netra kami saling bertubrukan. Tanpa mengucap kata , kami berdua tahu , kami saling merindu.
Mario mencium bibirku dengan lembut , penuh rindu dan hangat. Agak lama , kubalas ciumannya.
Ia semakin dalam menekan tengkukku.
Hingga ciuman ini berubah menjadi sebuah tuntutan.
Mario menuntunku ke ranjang tanpa melepas ciumannya.
Aku direbahkannya dengan perlahan. Hingga ia melepaskan ciumannya. Ia berada di atasku kini.
Ia mulai menyingkap bajuku keatas.
Sontak aku menepis tangannya. Ia kaget melihat penolakan ku.
"Love? Kamu enggak percaya sama aku?" Tanyanya.
"Please , bisakah kita tidak melakukannya dulu. Sungguh , a_aku masih..." Aku tak jadi melanjutkan ucapanku.
"Kenapa? Kamu masih takut?"
"Maaf." Jawabku lirih dengan membuang muka kesamping.
"Aku akan lakukan dengan perlahan. Maaf jika sudah membuatmu takut padaku. Tapi kumohon , kali ini jangan ada rasa takut."
"Tapi a__aku..."
"Please? Mungkin terdengar memaksa. Tapi jujur saja Mika , aku sudah hampir dua bulan menahan hasrat ku. Bisa kah hari ini?"
"Tapi , aku juga tidak akan memaksa jika kamu masih belum bisa menerimaku." Lanjutnya setelah tidak ada jawaban dariku.
Ia akan beranjak dari posisinya , namun aku segera menarik lehernya menghadap kearah ku.
"Maaf , a__aku akan mencobanya." Ucap ku.
Ia tersenyum dan mengusap lembut kepalaku. Ia mulai menciumku kembali. Aku menikmatinya kembali dan membalas ciumannya. Tangannya sudah menelusup kedalam bajuku. Ia meremas payu*daraku dengan lembut. Membuat gelenyar ditubuhku.
Tubuhku merespon baik semua sentuhannya , ia mulai melepaskan semua pakaianku dan juga pakaiannya. Ia sudah melepas celana panjangnya dan bukti gairahnya sudah terpampang nyata didepanku.
Juniornya ia dekatkan ke bibir intiku hingga menyentuh klitor*isku , tubuhku semakin bergerak tak keruan. Tangannya yang lain masih setia meremas payu*daraku.
Saat sentuhannya mengalihkan ku ia segera menyatukan juniornya ke intiku.
Aku tersentak sebentar , namun gerakan yang ia ciptakan dengan sangat lembut hingga dapat mengalihkan keterkejutan ku.
Aku mulai menikmatinya. Ia pun menikmatinya.
Ia menjilati leherku , aku semakin gila dengan rasa yang ditimbulkan.
"Ahh __ agak cepat" pintaku tanpa malu.
Ia tersenyum mendengar permintaanku.
"Yes , sure." Jawabnya dengan senyuman penuh arti.
Tak lama dengan gerakan cepatnya , aku sudah mencapai pelepasan pertamaku dalam dua bulan ini. Sungguh luar biasa rasanya.
Mario masih terus bergerak diatasku , lalu ia lepaskan penyatuannya dan merubah posisi ku , kini aku sudah tengkurap dan ia segera melakukan penyatuannya kembali.
Ia bergerak dengan lembut. Ia meracau menikmati pergulatan kami. Ranjang ini jadi saksi bisu kerinduan yang kami rasakan.
Hingga akhirnya ia merasakan pelepasannya.
Ia mengecup pundak ku sebelum akhirnya ia lepaskan juniornya dari intiku.
Ia menggendongku ke arah kamar mandi.
"Kita mandi bersama." Ucapnya.
Aku diam saja , tak ada niat untuk menolak dan membantahnya.
Ya , pada akhirnya memang bukan sekedar mandi. Namun lebih dari itu.
*
*
*
Empat hari ini , hari-hari ku penuh bahagia. Terkadang Mario mengundang Helen , Nissa dan Debby kerumah untuk melakukan hal konyol dan kami karaoke bersama. Aku tahu , Mario melakukan itu hanya agar aku tak bosan di rumah terus.
Keadaanku sudah mulai membaik.
Dua hari yang lalu , Kak Desi beserta suami dan Ale anaknya datang mengunjungi kami dan menginap disini. Sungguh seru suasana rumah dengan adanya Ale. Ale sekarang baru berumur empat tahun , sangat menggemaskan.
Ale senang sekali bermain dengan Mario. Mario pun terlihat menikmati kebersamaan itu.
Hari ini Mario tidak ke kantor. Tapi bukan berarti ia tidak bekerja , ia tetap bekerja dan sekarang sampai siang pun masih di ruang kerjanya. Setelah makan siang tadi , ia kembali lagi ke ruang kerja. Aku hanya menemaninya sebentar saja.
Aku sedang menonton TV di ruang tengah. Lalu terdengar suara ribut di luar. Saat aku akan beranjak melihat kesana , muncul lah sosok yang sangat aku benci.
"Maaf Non Mika , Nona ini memaksa masuk dan marah-marah." Bu Jum menunduk.
"Tidak apa Bu Jum. Biar saya yang tangani." Aku.
Bu Jum masuk ke dalam , meninggalkan kami berdua.
"Ada apa?!" Tanyaku dengan nada membentak.
"Huh , jangan sombong! Ini semua milik Mario. Jadi jangan berlagak seperti nyonya rumah ini!" Balasnya.
"Aku memang nyonya rumah ini , kalau kau lupa Melda!" Aku melipat kedua tanganku didepan dadaku.
"Akan aku rebut semuanya. Kamu enggak berhak bahagia, aku benci melihatnya!" teriaknya dan ia dengan cepat mendorongku.
Tubuhku tersungkur mengenai meja dan menjatuhkan vas bunga di atas meja.
Lalu entah bagaimana, Melda mendekat padaku dan ia sedang memegang pisau lipat di tangannya.
"Mario akan kembali padaku!" Ia menyeringai dan mengangkat tangan yang ada pisaunya kearahku.
"Mikaaa!" Teriak Mario , berlari dengan cepat mengarah ke tempatku.
Aku memejamkan mata melihat pisau itu sudah mendekat. Tapi , agak lama aku tidak merasakan apapun. Ku buka mataku.
"Aaarrrrgghhhhh, Mariooo!" Aku lihat pisaunya menancap tegak di belakang pundak Mario. Darah mengalir terus membasahi bajunya.
"Ma—mario?! Kenapa ... ada di ... sini?" Melda syok melihat Mario datang dan yang terluka malah Mario.
Aku menangis melihat Mario.
"Bu Jum!!! Pak Rustam!!!! Tolooong..." Aku tak peduli dengan pertanyaan Melda. Yang terpenting sekarang menolong Mario dulu.
Pak Rustam datang bersama Bu Jum dan langsung membopong Mario menuju Mobil.
"Usir dia! Suruh security!" ucapku pada Bu Jum dan menunjuk ke Melda dengan nyalang.
Aku segera memasuki mobil , mengantarkan Mario ke rumah sakit terdekat.
*
*
*
Beruntung Mario hanya menjalani operasi kecil. Kata Dokter , walau lukanya agak dalam dan hampir kehilangan banyak darah , beruntung masa kritisnya sudah berlalu.
Mario masih belum sadarkan diri.
Pagi ini sudah datang Mami dan Pak Dani , asisten keluarga Mario.
Mengenai penusukan yang di lakukan Melda , Pak Dani sedang mengurusnya ke polisi. Beruntung dirumah kami terpasang CCTV. Jadi bukti kuat yang kami punya akan mempermudah pemeriksaan selanjutnya.
"Mika , kamu sarapan dulu ya. Ini Mami sudah bawa bubur dan Dim Sum." Mami menawarkan.
"Nanti saja Mi. Belum lapar." Aku.
"Ayo , makan dulu. Kalau kamu sakit juga , nanti Mario lebih khawatir. Tenang saja , ia akan segera sadar." Mami menepuk punggungku dengan lembut.
Aku mengangguk dan beranjak ke sofa. Memakan Dim Sum buatan Mami. Mami nih jago masak makanan Chinese food.
Ya tentu saja Mami asli Tionghoa. Papinya Mario seorang muslim. Dan Mario memilih menjadi muslim sejak aku masih SMP. Begitu cerita Mario.
Setelah selesai sarapan dan mencuci wajahku , ku duduk kembali disamping ranjang Mario.
"Kenapa Melda bisa seperti itu?" Mami bertanya , ia duduk di sebrang ku , disamping kanan Mario.
"Maaf Mi. Karena ulah Melda jadi begini." Aku menunduk.
"Kenapa harus kamu yang minta maaf? Ini murni salahnya. Dia terlalu terobsesi dengan Mario." Mami.
"Tapi karena rasa benci dia ke aku Mi , Melda jadi seperti itu." Aku mengeratkan genggaman ku di jemari Mario.
"Sudah , jangan menyalahkan diri kamu. Beruntung Mario tidak terluka parah." Mami mengusap rambut Mario lembut.
Tiba-tiba kurasakan jemariku digenggam erat oleh Mario. Aku kaget. Aku lihat ke arah tangan kami , ku pastikan itu bukan halusinasi ku. Ternyata benar , jemarinya bergerak-gerak membalas genggaman ku.
"Mi , tangan Mario bergerak!" Aku berteriak antusias memberitahu Mami.
Dengan sigap Mami menekan Nurse Call Bell yang berada di atas ranjang pasien. Mata Mario belum sepenuhnya terbuka.
Ia hanya bergumam "Mi__ka" dengan lirih.
Aku menangis.
"Aku disini." Ucap ku seraya mengeratkan genggaman ku padanya.
Mami tersenyum lega melihat Mario berangsur sadar.
*
*
*
Hari ini Miko and the gank datang mengacaukan ruang rawat Mario. Setelah Ibuku pulang sehabis menjenguk Mario , mereka tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan.
Dengan maksud ingin memberikan kejutan pada Mario dan aku.
Tentu saja itu berhasil membuat kami terkejut. Karena tingkah laku mereka yang ajaib.
Saat ini saja , Miko dan Andri sedang mengolok-olok Mario karena memiliki mantan kekasih yang 'gila'.
Malangnya nasibmu Mario. Memang memprihatinkan memiliki mantan yang terobsesi.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkah laku mereka.
Ruang rawat sudah tidak berbentuk lagi. Berantakan dengan bungkusan makanan ringan , bahkan Miko membawa wine dan meminum disini bersama Andri. Memang tidak akhlaknya.
"Hey kak Bule , tolong tahu diri lah. Masa minum wine disini? Nanti Dokter datang , pasti ditegur. Memangnya ini club malam?" Aku memprotes sikap Miko.
"Santai cutie pie , kita sedang merayakan kesembuhan Mario dari mantan gilanya itu." Miko terkekeh.
Mario hanya geleng-geleng kepala saja.
"Tetap saja , ini masih siang. Kak Andri juga kenapa ikut-ikutan ajaib begini sih?"
"Kasihan Miko , biar enggak gila sendiri dia." Andri.
"Bangke Lo!" Miko melempar kunci mobil kearah Andri.
Mario dan Nathan hanya terkekeh.
"Gimana bahu Lo ?" Tanya Nathan , ia sedang mengupas buah jeruk yang ada di meja untuk dimakan sendiri.
"Ya lumayanlah." Mario.
"Kak Bule , kesini kok enggak bawa buah buat Mario?" Aku.
"Ah , terlalu biasa bawa buah buat orang sakit. Elo mau apa Mar?" Tanya Miko.
"Mar-Mar. Emang nama gue Mariyani!" protes Mario.
"Motor sport dong," lanjut Mario.
"Hmm, lihat nanti ya." Miko menenggak wine nya santai dengan posisi kaki kanannya dinaikkan keatas paha kaki kirinya.
"Halah Kak Bule nih banyak gaya," ejek ku.
"Ih, cutie pie. Jangan nyinyir dong. Makin sexy tahu." Miko memandangku dengan genitnya.
Aku memutar bola mataku dengan malas dan bersidekap.
"Elo godain dia , tambah jam tangan Rolex!" Protes Mario.
"Ha...Ha...Ha... Iya iya, santai Mar. Godain dia itu, mood booster gue, lagipula jam Rolex doang buat cutie pie gampang itu sih." Miko tertawa lepas.
Andri dan Nathan hanya tertawa geli melihat pertengkaran Mario dan Miko.
Yang satu masih merasa takut istrinya berpaling ke Miko. Dan yang satunya masih saja tidak tahu malu terus menggoda istri orang.
❤️❤️❤️❤️❤️
* All pict taken from pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top