46. Fix This

"Hello cutie pie." Sapa seseorang yang selalu aku buat repot akhir-akhir ini.
Siapa lagi?

Aku menoleh kearahnya. Ternyata si bule tidak datang sendiri. Ia bersama Kak Andri dan Kak Nathan. Mereka membawa banyak kue dan aneka cokelat.

"Apa ini?" Tanyaku heran sambil menunjuk boneka panda besar yang di pegang Nathan.

"Ini buat kamu." Nathan menyerahkan si panda itu padaku.

Aku menerimanya tanpa mengeluarkan ekspresi apapun.

"Kenapa? Enggak suka ya?" Tanyanya.

"Suka. Bingung aja tapinya." Aku.

"Bingung kenapa?" Nathan heran.

"Kenapa harus boneka? Ini seperti sedang memberi boneka pada wanita yang sedang disukai. Seperti Valentine day misalnya."

"Ooh__ itu __ aku bingung harus kasih apa buat wanita yang sedang sedih. Aku tanya temanku , katanya bunga , cokelat , uang atau boneka. Kalau bunga rasanya berlebihan. Cokelat , si Andri sudah beli duluan. Uang , kamu tidak membutuhkan , kamu masih pegang kartu kredit unlimited milik Mario. Jadi , pilihan terakhir lah yang kuambil. Membeli boneka." Jelas Nathan panjang seraya menggaruk rambutnya yang aku yakin tidak gatal itu.

"Hmm..." Aku hanya mengangguk. Agak kaku ternyata Nathan menyikapi seorang wanita.

"Terima kasih ya semuanya" Aku mengucapkan untuk semuanya.

Mereka duduk di ruang tamu dan sibuk mengeluarkan isi bawaan mereka. Si bule yang menyusun makanan tersebut ke dapur dan menyusunnya di kulkas.
Dia bersikap seolah-olah pemilik rumah ini.
Aku hanya menggeleng melihatnya. Dia bisa seperti kakakku yang bersedia mengurus dan membelikan suatu yang aku inginkan , bisa juga seperti seorang kekasih.
Dia terlalu baik.

"Masih belum mau pulang?" Andri mendekatiku dan duduk disamping ku.

"Entahlah kak. Rasanya __ sudah tidak sama." Aku menatap lurus.

"Hmm , Mario sangat menyesal. Dia juga kecewa dengan dirinya. Kamu sudah lihat keadaan dia sekarang?"

Aku menggeleng.

"Pulanglah. Atau paling tidak , bertemu lah dengannya sekali. Dia tampak sangat kacau."

"Aku mengatakan ini , bukan bermaksud membelanya. Hanya saja , masalah jangan sampai berlarut-larut. Kalau memang harus diakhiri , maka akhiri lah dengan cepat. Tapi , jika memang masih bisa diperbaiki , maka cepat berbaikan. Jangan sampai menyesal. Jangan saling menyakiti."

"Dan , si bule gila itu sudah memukul wajah Mario habis-habisan , saat kamu kesini hari pertama."

"Ah , kak Miko. Selalu saja. Terlalu baik dia untuk mengurusku." Aku tidak heran dengan tindakan Miko pada Mario.

"Siapa terlalu baik?" Miko muncul dari dapur seraya membawa buah alpukat yang sudah ia hancurkan dicampur dengan susu kental cokelat di dalam gelas.

"Hmm , ini enak kak." Aku menerima alpukat itu dan memakannya. Miko membuat empat gelas untuk yang lainnya termasuk aku.

"Kalian kalau mau makan , ambil sendiri saja ya di dapur. Maaf , aku malas dan lelah." Padahal aku tidak melakukan aktivitas berat disini. Semenjak sehabis operasi itu , aku sering merasa lelah walau tidak melakukan hal berat.

"Ya , tenang saja. Ku pastikan rumahmu kacau balau." Goda Miko.

Nathan langsung ke dapur dan mengambil piring.

"Kenapa?" Tanya Nathan polos saat kami serempak memandanginya.

"Kau berapa hari tidak makan?" Tanya Andri.

"Ini enak." Jawabnya enteng. Dia makan diruang tamu seraya menonton TV tanpa memedulikan kami.

"Padahal itu hanya tauge dan teri. Apa dia belum pernah makan itu seumur hidupnya?" Tanyaku heran melihat Nathan makan dengan nikmat dan __ terkesan rakus.

"Dia belum pernah makan sayur itu. Makanya norak. Dia selalu terpaku dengan capcay dan sup." Jelas Miko.

"Padahal di restoran pun ada menu itu." Aku.

"Aku yang tidak pernah mencobanya. Karena ragu dengan rasanya." Jelas Nathan yang mendengar ucapanku.

"Lalu , kenapa sekarang mencobanya?" Aku.

"Karena tidak ada pilihan lain , mau tak mau aku coba. Dan ternyata enak sekali ini." Jelasnya.

Dan ia pun kembali ke dapur.
Mengambil dua sendok nasi dan sayur tauge tersebut.
Sepertinya sayur itu akan jadi menu favorit terbarunya.

*

*

*

Setiap malam yah seperti inilah aku. Merasa kesepian dan aku merasa menjadi orang yang sangat menyedihkan.

Drrrtttt.....Drrrttt

Kulirik ponselku.
Itu kakakku yang menelpon.

"Halo?" Aku.

"Dek , gimana keadaan kamu? Sudah enggak sakit lagi kan kalau berjalan?"

"Enggak Kak , sudah lumayan bisa berjalan dengan lancar. Sudah tidak ngilu lagi perutku."

"Maafin kakak ya Dek. Belum bisa jenguk ke sana. Suami kakak belum dapat jatah libur. Ale juga sedang demam sekarang. Jadi Kakak benar-benar belum bisa ke Jakarta." Jelas Kak Desi.

"Iya enggak apa-apa Kak. Adek ngerti kok. Kak Desi yang penting sehat-sehat disana , jagain Ale aja biar cepat sehat lagi. Adek kangen sama Ale , Ibu juga. Nanti kirim video Ale ya Kak."

"Baiklah. Kamu juga cepat sehat ya dan salam buat Mario ya. Sampaikan maaf kakak yang belum bisa ke sana. Jaga Ibu ya Dek." Kak Desi mengakhiri panggilannya.

Kak Desi tidak tahu menahu masalah rumah tanggaku dengan Mario. Ku tatap lama ponselku.
Ku baca semua chat Mario.
Isinya penuh dengan permintaan maaf , menyesal , rindu , menanyakan kabar , menanyakan sudah makan belum? , Menanyakan soal buket bunga mawar kemarin.
Dan semua chatnya tidak ada satupun yang kubalas. Aku hanya membacanya.

Lalu ada chat baru yang masuk.

"Love , please. Aku harus bagaimana? Kamu enggak mau mengunjungi makam putri kita?" Isi chat dari Mario.

Aku berpikir sejenak.
Ya , anakku yang di surga itu seorang anak perempuan. Aku yakin , jika ia masih terselamatkan , pasti ia akan jadi gadis manis yang hebat.
Ya Tuhan , sesak dadaku mengingatnya.
Padahal dulu Mario yang selalu mengalami morning sick. Aku yakin , anakku akan dekat dan manja sekali dengan papanya.
Kenapa Engkau ambil dia dariku?
Kenapa cintaku tidak sebesar cintaMu?

Tak terasa air mataku keluar lagi setelah dua hari ini aku mulai tidak menangis.
Aku menjenguknya saat aku baru pulang dari rumah sakit.
Makamnya tepat di halaman belakang dan aku bisa melihatnya dari kamar atasku lewat jendela. Setiap pagi , siang , sore aku melihat tempat peristirahatan terakhirnya.
Aku sering bertanya dalam hati , apa anakku tidak kedinginan disana sendirian?
Sedangkan aku , dengan nyamannya tidur di kasur yang empuk.
Anakku disana sendirian.
Tidak ada yang menjaganya , memeluknya.
Sungguh , aku ingin bertukar tempat dengannya.
Aku bersedia sendirian dan kedinginan , asalkan anakku hidup.

Akhirnya aku membalas chat Mario.

"Bisa kita bertemu?"

Tanpa menunggu lama , Mario langsung menelpon ku.

"Love , besok aku jemput kamu saja ya?" Mario berkata setelah telponnya ku angkat.

"Enggak usah. Aku diantar Pak Yanto saja."

"Love?"

"Please , aku diantar Pak Yanto saja."

"Baiklah. Aku tunggu dirumah. Kamu hati-hati besok dan __ terima kasih sudah mau menjawab pesanku. Means a lot to me. I love you." Mario menghela napas panjang di sebrang sana.

Kututup sambungan tanpa membalas ucapannya.

*

*

*

Aku sudah sampai dirumah Mario. Ya kemarin-kemarin ini masih rumah kami.
Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. Ku beranikan diri untuk memasuki rumah ini.

"Non Mika?" Sapa Bu Jum setelah membukakan aku pintu.

"Ya ampun Non , udah sehat? Boleh ibu peluk?" Tanyanya sembari minta ijin.

Aku segera memeluknya terlebih dulu. Bagaimanapun ia sangat baik padaku.
Ia menangis saat kami berpelukan.

"Bu Jum kangen Non. Tuan Mario masih tidur." Ucapnya.

Ia melepas pelukan kami.

"Saya juga kangen Bu Jum. Saya mau lihat anak saya dulu Bu." Aku langsung masuk dan berjalan menuju halaman belakang.

Sesampainya di tempat peristirahatan anakku , aku langsung bersimpuh dan menatap tanah itu. Aku taruh bunga yang ku bawa. Ku berdoa sebentar.

Lalu aku segera menuju kamar Mario. Aku masuk ke kamarnya dan pemandangan yang langsung ku tangkap adalah kamar yang sangat berantakan. Semua barang letaknya tak beraturan. Laptop ada di lantai dan handuk ada di sofa.
Mario masih tidur dengan kaos hitamnya dan celana pendek.
Kudekati ia , aku duduk di tepi ranjang dan ku pandangi wajahnya.
Bulu-bulu halus di wajahnya yang mulai tumbuh. Terlihat wajahnya sangat lelah. Rambutnya juga sudah panjang.
Ia benar-benar tidak mengurus dirinya dengan baik.

Mario menggeliat. Perlahan ia membuka matanya. Ia melihatku dan tersenyum , segera ia bangun dan akan memelukku. Namun aku sontak langsung menghindarinya.
Bukan gengsi , bukan pula amarah.
Aku takut.
Takut ia menyakitiku __ sekali lagi.

"Love?" Tanyanya dengan wajah sedih.

"Maaf , jangan terlalu dekat. Aku __ takut." Aku langsung bangun dan berjalan menuju sofa , aku duduk disana.

Mario berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Kurasa ia mencuci wajahnya.

Mario duduk di sofa kecil di sebrang aku duduk.

"Kamu hari ini kembali ke sini lagi kan?" Tanyanya.

"Entahlah. Aku __ aku belum tahu." Jawabku tanpa melihat wajahnya.

"Love , aku mohon tatap aku. Kamu cinta kan sama aku?"

Aku diam.

Mario mendekat dan bersimpuh didepanku. Ia genggam jemariku.

"Mika , lihat aku." Mohonnya.

Aku gelagapan. Takut. Aku masih tidak berani melihat wajahnya.

"Tolong , menjauh lah." Aku.

Ia semakin erat menggenggam jemari ku.

"Mika , aku mohon tatap mataku , katakan kamu masih mencintai aku." Desaknya.

"Aku __ aku __ takut kamu sakiti lagi!!" Aku berteriak tanpa bisa menguasai emosiku.

"Aku __ enggak mau __ kamu sakiti lagi __ seperti malam itu. Aku takut __ aku sungguh takut Mario. Kita lebih baik cerai."

Mario tertegun mendengar ucapan ku. Aku masih menunduk. Ia langsung menarikku ke dekapannya. Ia memelukku erat. Aku mencoba melepaskan pelukannya. Namun tenagaku tidak sebanding dengannya.

"Jangan ucapkan kata cerai. Aku enggak bisa hidup tanpamu Mika. Aku __ benar-benar mencintaimu. Aku sanggup kehilangan semuanya , tapi jangan dirimu. Jangan." Ucap Mario dengan lirih. Bisa kudengar degup jantungnya berdetak kencang. Ia menangis.
Bisa kudengar walau pelan. Tubuhnya bergetar.

"I'm sorry. Semua perlakuanku di malam itu , lalu atas hilangnya anak kita. Aku minta maaf. Aku sungguh menyesal. Kamu bisa hukum aku , apapun itu. Tapi tidak dengan perpisahan."

"Let's fix this. Together."

"___"

"___"

"I can't lose you." Lanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top