30. Married

Kami sudah selesai makan malam. Mario mengajakku ke ruang tengah dan menyuruhku duduk disampingnya. Kami duduk didepan piano besarnya berwarna hitam mengkilap. Piano lama , namun masih tetap terjaga dan terawat dengan baik.

Mario mulai menekan beberapa Tuts piano. Pemanasan.
Lalu ia memainkan sebuah lagu soundtrack film animasi terkenal.
Dia memainkannya dengan sangat indah. Jemarinya bergerak lincah dan tidak kaku.

Dia memainkan lagu ini dengan memejamkan matanya. Aku melihatnya. Akupun memejamkan mataku , merasakan setiap nada yang mengalun indah namun menyesakkan.
Air mataku ingin turun , namun aku langsung membuka mataku.
Jangan! Jangan menangis!

Lagu indah nan menyedihkan ini pun berakhir. Mario memiringkan tubuhnya sedikit mengarah ke diriku.
Dia menatapku. Menggenggam jemariku.

"Kamu tahu lagu ini kan?" Mario

Aku hanya mengangguk.

"Ini lagu favoritku. Dulu sebelum menikah , keinginan aku cuma satu. Aku ingin selalu bersama dengan istriku. Apapun keadaannya. Susah , senang, sakit, sehat, bahagia, sedih. Seperti tokoh Carl dan Ellie. Menua bersama sampai akhirnya si Ellie sang istri pergi duluan. " Mario

"Aku ingin kita seperti itu. Menua bersama. Berbagi rasa bersama. Apapun itu." Mario menatap ku lekat.

Aku tersenyum dan air mataku lolos dari pelupuk ku.
Manis dan ku terharu. Aku memeluknya.

"Tapi tentu saja aku tidak mau mati duluan meninggalkan kamu" Aku.
Dan kami berdua tertawa masih dalam posisi memeluk.

"Jadi __ ada apa sebenarnya?" Mario melepaskan pelukanku

Ah, sungguh pria ini tahu isi hatiku. Sebenarnya sudah berapa lama sih dia mengenalku?
Sebegitu pahamnya perasan yang sedang berkelumit di hatiku.

Akhirnya aku ceritakan perihal Tante Selvi dan Angel tadi sore.

Mario menghela napasnya panjang.

"Kamu enggak usah dengerin mereka. Aku dekat dengan Angel memang sudah lama sekali. Kami sangat dekat. Tapi ternyata dia berharap lain padaku. Sedangkan aku enggak ada perasaan apapun padanya.
Makanya perlahan aku sudah menjauh darinya sejak dua tahun lalu.

"Aku hanya minta kamu percaya sama aku. Akupun begitu , aku percaya sama kamu. Kita sudah berkomitmen , rasanya sudah sewajarnya begini kan?" Mario mencium kedua tanganku.

Kami naik ke kamar kami setelah mengobrol tadi.
Setelah selesai aku menggosok gigi , aku langsung duduk diranjang bersandar pada kepala ranjang. Kuperhatikan gerak gerik Mario. Dia memasuki kamar mandi. Sepertinya dia juga akan menggosok gigi. Lalu setelah selesai, ia keluar dari kamar mandi dan mengambil laptopnya.

Ia merangkak naik ke ranjang dan duduk bersebelahan denganku dengan laptop berada diatas pangkuannya.
Ia memeriksa beberapa email dan sesekali melihat foto-foto proyek dilapangan.

"Tadi siang sibuk banget ya?" Tanyaku.

"Lumayan. Aku sama Pak Rustam pergi ke pabrik , melihat kabel yang mau dikirim besok." Mario

"Enggak ada yang mau kamu omongin lagi?" Tanya Mario

"Apa? Enggak ada. Kenapa memangnya?" Aku bingung.

"Hmm...."

"Apa sih? Jangan bergumam." Aku

"Azka ___ mungkin??" Mario masih menatap laptopnya.

"Hah? Oh Azka. Iya tadi pagi dia datang kesini."
Tahu dari mana dia? Huh! Sudah tahu tapi masih bertanya.

"Pagi? Setelah aku berangkat?" Mario kini menoleh kearahku.

"Iya. Setelah hubby berangkat , mungkin sekitar 20 menit setelahnya , dia datang. Aku sedang dikamar , mengganti baju ku."

"Apa yang kalian bicarakan? Mengenang masa lalu huh?!" Mario mulai merapikan laptopnya. Dia beranjak dari kasur meletakkan laptop diatas meja baca kami yang tidak jauh dari jendela kamar.

"Bukan seperti itu. Kami enggak bahas masa lalu. Dia meminta maaf mengenai pertemuan kita terakhir. Dan aku juga sudah mengembalikan cincin yang pernah dia kasih ke aku." Aku menjelaskan.

"Lalu?" Mario

"Sudah tidak ada lagi. Hanya itu" Aku

"Hanya itu?"

"Iya"

Lalu Mario mencium punggung tanganku.

"Dia mengecup kedua tangan ini kan?" Mario menatapku

"Emm, iya. Tapi cuma sekedar dalam perpisahan saja."

"Apapun itu , akan aku hapus semua jejak darinya. Walau hanya mengecup tangan. Aku pun akan melakukan yang sama."

Aku diam saja.

"Ayo tidur" ajaknya.
Dia mematikan lampu utama dan mengambil selimut untuk menyelimuti tubuh kami.

Dia memelukku dari belakang dengan erat.
Hembusan napasnya yang hangat menyentuh leherku.

"Kamu marah?" Aku bertanya

"Untuk apa?" Tanyanya

"Karena aku enggak bilang sama kamu mengenai Azka. Kamu tahu kan kenapa aku enggak bilang? Karena memang tidak ada apapun dan kurasa itu bukan hal yang ingin kamu dengar."

"Aku akan selalu mendengarkan ceritamu. Apapun itu. Tidak ada cerita yang tidak mau aku dengar kalau cerita itu keluar dari mulutmu." Mario.
Ah iya, aku ingat. Dulu sewaktu masih baru-baru bekerja dikantornya , dia selalu mendengarkan ceritaku saat kami sedang menunggu klien diluar kantor.

Aku membalikkan tubuhku menghadap dia. Aku usap rambut hingga pipinya.

"Terima kasih sudah percaya sama aku. Entah kebaikan apa yang telah aku lakukan di masa lalu , sehingga aku bisa mendapatkan kamu."

"I love you my hubby" Aku mencium bibirnya lembut.

Dia tersenyum mendengar pernyataan cintaku padanya.

"Tuhan yang sudah berbaik hati padaku , karena Dia menciptakanmu untukku" Mario memelukku erat.

Malam ini bagiku sangat romantis. Ya romantis itu tidak perlu beradegan ranjang kan?
Saling mendekap erat , mengecup kening , mengusap pipi , itu semua kurasa sudah cukup.

Malam ini akan aku ingat selalu , akan aku simpan didalam memori terdalam ku. Memori tentang begitu besarnya rasa sayang suamiku padaku.
Mungkin pernikahan kami masih terbilang baru.
Jadi masih masa-masa indah.
Tapi seandainya rumah tangga ini menemui masalah , aku yakin , kami bisa mengatasinya.
Aku yang masih kekanakan dan selalu tak bisa memendam perasaan bersatu dengan pria matang yang dewasa dan tegas tak lupa juga , ia memiliki jiwa kepemimpinan.

Tidak ada manusia sempurna. Rumah tangga pun tidak ada yang sempurna. Kami saling mengisi kekurangan.

Semoga kami bisa berjalan beriringan dengan takdir yang Tuhan tentukan untuk kami.
Selamat tidur suamiku.
Selamat malam semesta.

***

Saat ini kami sudah berada di kantor. Sudah tiga hari berlalu sejak malam romantis kami itu. Rumah tangga kami sudah naik level. Kami sudah semakin dekat.

Aku selalu berusaha berkunjung kerumah ibu , bahkan mengajaknya sekedar refreshing.
Bahkan,jika aku tidak sempat menemui ibu , Mario selalu menyuruh asistennya , Pak Dani , membawakan makanan atau kebutuhan ibu.

Ya , ibu sudah tahu akhirnya kalau Mario lah yang selama ini membiayai sekolah dan kuliahku.

Mario mulai menyarankan agar aku berhenti kerja saja. Agar aku lebih fokus menyelesaikan kuliahku.

Aku masih bimbang. Karena aku sudah terbiasa bekerja , rasanya jika seharian aku dirumah saja. Pasti akan sangat membosankan.

Ya, masalah pekerjaan masih dalam tahap pikir-pikir dulu. Helen dan Nissa menyarankan agar aku berhenti saja dan menikmati uang suamiku dan menjadi nyonya saja yang duduk manis diranjang menunggu suaminya pulang.
Ya, aku salah orang untuk meminta saran. Mereka kan wanita absurd.

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top