Ratu 3
Cuaca di luar pagi ini, masih turun hujan cukup deras. Ratu yang baru saja selesai mencuci, terlihat kesal kareena tidak bisa langsung menjemur. Rumah pu masih terlihat berantakan karena Amel lupa merapikan mainannya semalam. Ratu melirik jam di dinding, masih pukul setengah enam pagi dan hujan masih tak nampak akan segera berhenti dalam waktu dekat. Kakinya melangkah pelan ke dapur, membuka kulkas untuk melihat ada bahan makanan apa yang bisa ia oleh untuyk sarapan pagi ini, tersisa satu butir telur, dan sayur kol yang ada di dalam kulkasnya. Ratu menghela nafas kasar, kulkas saja yang besar, dua pintu, tetapi isinya kosong.
"Bu, sarapan apa kita hari ini?" tanya Amran saat menghampiri istrinya di dapur. Sang suami sudah rapi dengan seragam kerjanya dan terlihat tampan.
"Ganteng sekali suamiku," puji Ratu sambal merangkulkan lengannya di perut suaminya yang rata. Maklum saja, Amran adalah pria yang gemar berolah raga fitness dan juga lari, sehingga di usia yang menginjak tiga puluh lima tahun, postur tubuhnya masih terjaga dengan baik.
"Wangi lagi," lanjut Ratu masih dengan memeluk suaminya dengan manja.
"Siapa dulu yang belikan parfumnya, terimakasih, Sayang," ujar Amran pada Ratu.
"Mahal ya, parfumnya, Bu?" tanya Amran lagi.
"Hadiah dari teman ini yang baru pulang dari Malaysia, Pa," terang Ratu berbohong.
"Oh, papa kirain, beli sama teman Ibu," balas Amran. Kini lelaki itu duduk di ruang depan rumah mereka, sambal menikmati aroma hujan yang masuk melalui celah jendela.
"Nggak,Pa. Ibu dapat gratis dari teman. Oh, iya pa. Sarapannya lontong sayur saja, ya. Ibu biar beli di warung Bu Marni.
"Boleh, deh," sahut Amran, kini menyalakan televise. Masih ada waktu setengah jam lagi, sebelum ia berangkat ke kantor.
Ratu mengambil satu lembar uang serratus ribuan dari dompetnya, indera pendengarannya terusik dengan notifikasi group yang masuk di ponselnya. Dengan tergesa, ia membuka pesan apa kiranya yang sudah ramai di pagi hari ini. Matanya seketika berbinar, saat melihat Bu Tari mempromosikan macaroni shootel untuk menu sarapan ibu-ibu sekitar gang, dengan harga cukup terjangkau. Tanpa jeda lagi, Ratu langsung saja mengirimkan pesan pada Bu Tari, bahwa ia memesan makanan enak itu sebanyak enam pack. Untuk suaminya dua, untuk Amel dua, dan dirinya juga dua pack.
Ratu berjalan keluar kamar, lalu menghampiri suaminya yang tengah asik menonton acara berita.
"Bu Tari jualan Macaroni Shootel, Pa. Kita sarapan itu saja, ya?"
"Oh, boleh," sahut Amran tanpa menoleh pada suaminya.
Dalam keadaan hujan cukup deras, Bu Tari menggunakan paying, mengantar pesanan para tetangganya. Rumah Ratu yang paling awal ia kunjungi, karena memang lebih dekat dengan rumahnya. Sambil tersenyum, janda setengah baya itu melangkah ringan, masuk ke dalam rumah Ratu yang tidak terkunci pagar rumahnya.
"Assalamua'alaykum," sapa Bu Tari di depan pintu rumah Ratu.
"Wa,alaykumusslam," sahut Ratu dan Amran bersamaan. Ratu berjalan ke depan untuk membukakan pintu.
"Ini Bu Ratu, macaroninya." BU Tari menyerahkan bungkusan makanan kepada Ratu.
"Terimakasih ya, Bu. Nanti saya transfer ya. Kirimkan nomor rekeningnya saja," ujar Ratu sambal tersenyum.
"Nanti saya lebihkan, anggap saja ongkir BU Tari karena sudah mengantar ke rumah saya," ujar Ratu dengan suara lemah dan lembut.
"Oh, begitu. Baik deh, Bu Ratu. Setelah saya keliling, saya baru WA nomor rekening saya, ya," sahut Bu Tari dengan wjah senang, tentu saja ia senang, karena mendengar akan dilebihkan uangnya oleh Ratu.
Wanita setengah baya itu kemudian pamit, sedangkan Ratu, masuk kembali ke dalam rumahnya. Meletakkan bungkusan makanan di depan sang suami, lalu ia berjalan ke dapur untuk membawa the manis yang sudah ia siapkan di teko berukuran sedang, tak lupa saus sambal dan juga sendok.
Mereka makan dengan lahap, makanan buatan Bu Tari benar-benar enak. Bahkan Amran dan ratu makan dengan sangat cepat. Terlalu asik menikmati sarapan, Ratu mengabaikan ponselnya yang terus saja bergetar di nakas kamar. Seseorang meneleponnya berkali-kali, hingga sangat kesal menunggu panggilannya tak kunjung diangkat ole Ratu.
Setelah menghabiskan sarapannya, Amran bersiap untuk bekerja. Hujan juga sudah mulai reda, Amran menyalakan motor maticnya terlebih dahulu untuk dipanaskan. Ratu masih menunggui sang suami yang dengan perlahan memakai peralatannya untuk berkendara, seperti jaket, masker, sarung tangan, kemudian helem. ratu sempat menoleh ke arah kamarnya, karena getar ponselnya tak kunjung berhenti.
"Papa berangkat ya, Bu. Angkat tuh teleponnya! Siapa tahu penting," pesan Amran pada Ratu, lalu ia naik ke atas motor lalu menghilang dari pandangan Ratu.
Cepat Ratu menutup pintu lalu menguncinya. Dengan setengah berlari, Ratu menghampiri ponselnya yang sedari tadi bergetar.
MELISA
[Hallo, assalamua'alaykum]
[Wa'alaykumussalam, Mbak Ratu, baju yang disorder ke saya ada lima stel belum setoran ya. Sudah sebulan, Mbak. Saya perlu uangnya, tolong kerja samanya!]
[Iya, saya tahu Bu Mel, tapi customer saya belum pada bayar]
[Itu bukan urusan saya, saya mau duit saya segera kembali nanti siang!]
[Iya, nanti saya mintakan sama customer saya. Duit satu juta saja, khawatir sekali sih tidak saya bayar]
[Saya perlu buat modal, duit segitu besar buat pedagang seperti saya]
[Iya, ya. cerewet sekali sih, nanti juga saya bayar]
Ratu memutus panggilan telepon dari Melisa, ponselnya ia lemparkan ke atas kasur yang belum sempat ia rapikan tadi. Dengan wajah kesal, ia berjalan keluar kamar untuk membangunkan Amel di kamarnya. Anak kecil itu bangun dengan mengucek kedua matanya, Ratu masih mengusap kepala sang puteri dengan sayang. Sambil menunggu tenaga sang anak untuk beranjak dari kasurnya. Selama sepekan ini, jadwal sekolah Amel pukul sepuluh pagi, sehingga ia boleh bangun siang.
"Ayo, bangun! Sarapannya ada di meja depan ya, Kak. Ibu ke kamar dulu, beresin kasur," ujar Ratu pada sang puteri. Ia pun meninggalkan Amel di ruang depan, berjalan dengan malas ke kamarnya.
Pandangannya, kembali menatap ponsel yang menyala dan bergetar. Ternyata ada pesan dari Bu Lubis yang meminta uangnya yang dipinjam oleh Ratu segera dibayar. Sedangklan pesan dari Bu Tari yang memebrikan nomor rekening.
[Maaf, Bu Tari. Mbanking saya bermasalah nih kayaknya. Besok ya, Bu.]
[Oh, iya. Tidak apa-apa Bu Ratu.]
Ratu memasang bola mata jengah, baru tiga puluh ribu saja sudah repot. Ratu bermonolog.
****
Dasar Ratu Medit
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top